Sunday, January 1, 2012

Bab 1 I’M SINGLE BUT NOT HAPPY

Posted by Jason Abdul at 9:07 PM 1 comments

Setiap kali ingin menghilangkan stress, Rasti ngidam makan es krim. Biasanya dia membeli es krim vanila dengan topping coklat dengan hazelnut. Biasanya tiga scoop, kadang memesan dua kali. Dia tidak peduli dengan berapa kalori yang dikonsumsinya. Untung saja dia Gemini yang biasanya beruntung memiliki badan yang jarang bermasalah. Berat badannya mungkin bertambah, tapi sedikit sekali, setiap makan kuliner yang dihindari kala wanita diet.
    Sebagai penggemar es krim itu pula dia mengenal sebuah toko roti yang berada di salah satu kompleks pertokoan. Toko itu menempati sebuah ruangan mungil dengan kaca transparan yang memajang roti-roti penggugah selera serta gambar-gambar yang menempel memperlihatkan apa saja yang bisa diperoleh dari sana. Roti, cake, coklat, es krim, yoghurt, dan yang manis-manis lainnya, seperti permen. Menitikkan air liur pun tak cukup jika tak membeli. Harganya tak terlalu mahal karena lokasinya memang bukan wilayah elit.
    Saat kita memasuki toko, pintu dibuka tanpa memerlukan tenaga yang besar. Gemerincing bel yang tergantung di atas pintu akan memberitahu pelayan di toko mengenai kedatangan kita. Sapaan hangat dari pelayan, senyuman penuh, akan memberi kita pada suasana pelayanan ekstra, sesuatu yang sewajibnya juga dimiliki layanan pemerintah. Pelayan akan bertanya apa yang kita butuhkan, memberi saran-saran dan dengan sabar menanti apa pun pilihan kita. Permintaan pun dilaksanakan dalam waktu yang tak perlu menunggu lama. Menunggu pun tak masalah, karena wangi semerbak roti dan kue menguar kemana-mana di sana. Membuat kita betah berlama-lama.
    Toko Roti Paradissa. Dimiliki seorang yang masih muda. Dia mewarisi toko itu dari sang kakek. Dan pengelolaannya semakin prima karena pria itu memang sangat mencintai apa yang dilakukannya. Bahkan tak jarang dia mempunyai jadwal shift sendiri. Dia menjadi pelayan bagi tokonya.
    Suatu kali, dia bertemu dengan takdir hidupnya saat dia sedang melayani.

“BISA kan kamu nggak marah-marah terus?”
    Mata Rasti langsung membesar setelah mendengar kata-kata yang terlontar dari pacarnya. Mulutnya merapat dan melebar menjadi senyuman. Sinis. Salah satu ujungnya lebih tinggi daripada yang lain. Kemudian dia tertawa.
    “Apa aku nggak punya alasan kuat buat marah?” balasnya dengan teriakan tak kalah kuat.
    Dani, pria dihadapan Rasti, benci sekali jika harus menghadapi cewek yang berani padanya. Baginya sosok wanita itu harus tunduk. Marah boleh, tapi jangan melawan dia. Ingin rasanya Dani menghapus senyuman itu.
    Apalagi setelah Rasti melakukan hal yang sangat buruk. Dia menampar seorang perempuan yang telah menghina dirinya. Rasti lebih kesal karena cewek itu mengaku sebagai pacar Dani pula.
    “Kamu cewek tapi kasar!” desis Dani.
    Suasana di mobil itu menjadi panas meski AC mobil tak henti memberi nuansa dingin.
    “Dan kamu cowok bajingan yang sama banjingannya dengan cewek itu. Tukang selingkuh!”
    “Udah dibilang jangan menuduh sembarangan.”
    Kini Rasti membuka mulutnya. Mengangga. Dia benar tak habis pikir kenapa bisa jadi pacar cowok ini. Dani ahli sekali memutarbalikkan fakta dan membuat dia sebagai korban. Hebat!
“Aku udah lihat dengan mata kepalaku sendiri dodol! Kalian pelukan itu apa? Ganti cara salaman? Mesra amat!”
“Dear, please….,” sekarang kayaknya Dani melancarkan senjata lain. “Setiap kali kamu berbicara seperti itu kayaknya aku udah lakuin hal buruk banget. Ayolah…, Kami Cuma teman. She need a hug to make her feel better. Dia baru aja kemalangan…”
“Nice reason, Dan. Kamu juga ngasi kesempatan buat dirimu untuk menikmati. Aku tahu itu.”
Keduanya saling menatap. Menilai dalam pikiran masing masing petimbangan apa yang akan mereka lakukan. Pilihan menjadi dilema saat diri merasa benci tapi juga sayang, dalam waktu bersamaan.
Hanya logika bahwa kancil pun tak mau jatuh untuk yang ketiga kali menjalar di otak Rasti. Dia lelah. Tak hanya kali ini saja Dani tertangkap basah sedang bermesraan dengan cewek lain. Belum lagi gosip sana sini dari teman-temannya yang sempat tanpa sengaja melihat Dani menggandeng cewek lain.
Dasar playboy, hati cewek dia kira apa? Mainan?
“Aku udah selesai marahnya.”
Secercah senyum menyeruak di wajah Dani. Dia hendak memberi pelukan pada Rasti. Tuh, kan, cowok itu “ramah” banget, rajin menjamah!!
“Aku juga udah selesai berhubungan sama kamu, Dan.”
Oke, Rasti merasa dia masih kelas dua SMA. Duduk bersebelahan dan bilang kalau mereka putus, dengan kosakata yang disesuaikan.
“Dearest…, jangan coba—…” Dani ingin meraih tengkuk Rasti, tapi cewek itu menepis tangannya.
Rasti menggeleng. “Aku nggak mau lagi main-main. Aku udah nggak remaja lagi untuk lakuin hal-hal yang nggak ada gunanya, hanya biar kamu nggak melirik cewek lain. Komitmen, Dan. Itu yang kamu belum pelajari.”
“Aku bilang kamu nggak punya hak buat mutusin kita secara sepihak.”
“Ya, aku bisa. Aku nggak selemah yang kamu bayangkan. Aku juga baru tahu dari teman lamamu apa yang kamu lakukan pada mantan-mantanmu. Kamu cepat melupakan mereka. Aku harap kamu bisa melupakan aku dalam hitungan hari… atau mungkin detik.”
Rasti mengambil tas kerjanya, kemudian keluar dari mobil yang menyesakkan dadanya itu.
Tak lama, jendela pintu mobil terbuka.
“Kamu bakal menyesal, Rasti.”
Rasti tersenyum. “Mungkin. Tapi aku nyaranin aja, Dan. Kamu memang menarik dan bisa dapetin cewek mana saja. Tapi kami para cewek bisa belajar bahwa indahnya rupamu tidak menjamin hatimu juga baik. Aku nggak tahu sampai kapan kamu bakal mempermainkan hati para wanita… aku harap kamu jera suatu saat nanti.”
Rasti melangkah ke trotoar, di sana dia menghentikan sebuah taksi dan pergi pulang.
Dibelakangnya dia sempat mendengar Dani meneriaki dia dengan kata-kata yang sangat merendahkan kaum perempuan.
Hati Rasti teriris.

Bab 2 Wedding is A Complicated Event

Posted by Jason Abdul at 8:09 PM 0 comments
“Sudah saya bilang kan, kalau undangan yang dipesan itu bewarna kuning dengan gradasi warna yang lebih lembut. Kalau seperti ini kelihatan murahan. Terus kertasnya kok lengket di bagian ujungnya. Lemnya malah nggak erat! Ini lagi tulisan arabnya nggak usah terlalu seni, jadinya malah nggak terbaca.”
            Rasti menghapus keringat di dahinya. Kenapa tempat ini tidak ada AC? Kipas angin di sudut ruangan tak mampu memberikan kesejukan yang dibutuhkan Rasti dan hatinya.
            “Mbak ini, kan contoh,” kata pegawai di percetakan undangan ini.
            Rasti ingin mendebat, tapi ponselnya berdering.
            “Kak, ada kabar dari gedung dan penginapan nih. Katanya gedung nggak bisa dipakai tanggal segitu gara-gara ada pejabat yang mau pakai hari itu juga. Duh. Sebel banget deh kalau jasa kayak gini, pejabat itu juga seenaknya aja nggeser-geser jadwal orang!” Suara Riana dari seberang telepon terdengar sangat kesal.
            Lihat, adiknya sendiri yang bantu dia mengurus pernikahan ini juga ikutan stress. Rasti menghela nafas. Dia ingin semuanya sempurna di hari H, tapi sebulan makin dekat saja sudah memakan banyak tenaga dan pikiran seperti ini.
            “Nanti biar aku protes sama pemilik gedungnya. Nggak mau hari lain. Aku inginnya pernikahan itu di hari ulang tahunku. Dan gedung itu satu-satunya yang oke buat konsep yang dirancang decorator.”
            “Aku bilang dulu sama pengelola gedung,” kata Riana. Kemudian terdengar dia sedang berbincang sama seseorang. “Kak, besok secepatnya aja ke sini.”
            “Oke. Trus, masalah penginapan?”
            “Mama bilang kurang cukup buat keluarga kita. Tahu ajalah, mama mau mengundang semua keluarga yang di daerah. Padahal keluarga kita besar banget!”
            “Nggak ada yang lebih besar tapi masih dekat gedung, Na?”
            “Aku lagi nyari. Masih belum ada yang bisa.”
            “Coba lagi ya, Dek?”
            “Iya. Aku cuma mau kasih tahu perkembangannya. Pernikahanmu bakalan jad hal tak terlupakan, Kak. Percaya aja. Paling nggak, kamu beruntung dapat Mas Junio.”
            Hati Rasti berbunga, “Makasi, Na!”
            Telepon di matikan. Rasti menghela nafas panjang. Dirinya sudah terlalu lelah hari ini dan jam makan siang sudah hampir berakhir. Terasa perut yang mulai minta makan.
            Walau bagaimana pun ini semua untuk pernikahannya dengan Junio. Jodohnya yang dia temukan di malam itu.pertetmuan selanjutnya mereka lakukan beberapa kali. Sebulan... dua bulan... kecocokan itu menjadi semakin terlihat. Junio akhirnya melamar Rasti. Namun, mereka sepakat untuk langsung menikah tanpa harus tuangan dulu.
            Rasti mengenal Junio sebagai pria yang pendiam, pendengar yang baik, setia, dan menurut teman Junio dan karyawan mereka Junio jarang terlihat dengan banyak wanita, dia setia dan penganut monogami. Rasti sempat memberi syarat saat Junio melamar. Dia tidak ingin Junio berada di dalam mobil berdua saja dengan seorang wanita, kecuali anggota keluarga. Selain itu, Junio harus berada di sisinya sampai kapan pun.
            Junio menyanggupi. Mudah baginya.
            Rasti memang sempat tak yakin dengan keputusannya menerima Junio. Kadang saat dia berpikir kembali tentang hubungan mereka yang baru dua bulan saling mengenal, perasaan ragu menyusup ke dadanya. Dia hanya pernah membayangkan bahwa suaminya adalah seorang yang dia kenal luar dalam selama bertahun-tahun. Nyatanya, dia ada di sini memulai sebuah keularga dengan orang yang belum dikenalnya luar dalam.
            Rio menasihati Rasti tentang pendapatnya itu. “Pacaran memang proses untuk saling mengenal, tapi kalau salah satu atau keduanya nggak punya niat untuk saling menunjukkan diri sebenarnya tetap saja kita nggak bisa mengenal pasangan luar dalam. Kalo pacaran, kan, yang dikasi lihat hanya yang bagus-bagus saja, biar di mata pacar kita tetap berharga.
            “Trus kalo menikah, mau dia ketahuan suka ngorok juga nggak masalah. Pandai-pandai kita nerima pasangan apa adanya. Tugas kita untuk menjaga komitmen dan mengatasi masalah yang ada.”
            Iya, iya! Rasti jadi bingung sendiri.
            Pokoknya dia tidak boleh ragu lagi dengan Junio. Semua bilang kalau Junio sangat pantas jadi pendampingnya. Gagah, mapan, santun, dan sayang keluarga. Buktinya dia masih peduli dengan ibunya walau pun sang mama tinggal di sebuah panti jompo. Selain itu, Junio rela menjalani usaha toko roti keluarga di samping tugasnya yang cukup banyak sebagai seorang brand manager.
            Rasti melirik foto Junio saat dia membuka dompet untuk membayar tagihan pencetakan undangan, dia tersenyum.
            Junio... kuharap kamu memang Sang Mr. Right.

Junio mendapatkan email dari Rasti, dengan antusias dia membaca email tersebut.
            “Dearest Junio, aku mungkin kecapekan sampai telat bangun buat pergi ke kantor. Persiapan pernikahan memang menyita waktu. Tapi, aku udah berkeputusan untuk mengaturnya sendiri bareng keluargaku.
            Kamu kerjakan saja tugasmu di sana. Don’t worry... aku tangguh kok.
            Salam sayang, Rasti.”
            Junio tahu kalau Rasti pasti menulis email beberapa kali sebelum dia mengirimkan yang ini. Wanita itu dikenalnya ekspresif dan sering panik berlebihan. Tapi, makin hari Rasti sudah berubah untuk dapat melihat semua sedikit lebih rasional. Lihat saja, sekarang dia bukan sosok wanita dewasa yang manja, tapi tangguh.
            “Dearest, I wish I was there. Aku selalu memikirkanmu. Tak sabar ingin berjumpa dan membantu mengurangi kelelahanmu...
            Dikirimnya email balasan itu.
            Junio sedang berada d Jepang untuk melakukan pekerjaannya. Perjalanan ke luar negeri ini dilakukan setiap empat bulan sekali. Kebetulan kali ini Junio bertugas selagi persiapan pesta pernikahan harus dilakukan. Rasti memilih sendiri tanggalnya... tanggal ulang tahun wanita itu saat dia beranjak menjadi dua puluh sembilan tahun. Junio setuju saja dan malah senang bisa memberikan kehidupan baru bagi Rasti saat wanita itu bertambah umur.
            Kemudian dia teringat sesuatu, dikirmnya sebuah email lagi. “Ayo kita pakai Skype malam ini. Aku ingin ngobrol banyak.”
            Inilah mereka, saling berhadapan. Junio di Jepang sedangkan Rasti di Indonesia. Dari balik webcam masing-masing mereka mengobrol. Rasti menceritakan kepanikannya tentang segala persiapan dan tetek bengek pernikahan. Junio mendengarkan dengan tenang, kadang menanggapi di saat yang tepat. Dia melihat wajah calon istrinya yang kecapekan namun rela melakukan semua.
            Junio mengatakan seuatu.
            “Ras... kamu yakin, kan?”
            Seharusnya Junio tak perlu menanyakan hal itu, tapi bibirnya gatal untuk meluncurkan kata-kata tadi.
            “Kamu kan nggak perlu tanya lagi, Jun. Aku nggak mau plin plan terus. Aku pernah gagal berhubungan dengan cowok beberapa kali karena sikapku yang berubah setiap lima menit. Kekanakan jika mengingat aku sering banyak permintaan dan harapan soal pasangan. Kamu pilihanku, Jun. Aku nggak tahu lagi harus bagaimana selain yakin kamulah The One.”
            Junio tersenyum. “Aku juga yakin kamu orangnya. Ibuku juga yakin... kita jodoh, sayang.”
            Kemudian keduanya saling mendekatkan tangan ke layar komputer, berharap seandainya kulit mereka memang bisa saling menyentuh.

Bab 3 Newlywed, everything is new for them

Posted by Jason Abdul at 7:10 PM 0 comments
Pernikahan bagaikan sebuah ending di cerita dongeng. Happy ending. Ingat saja bagaimana gembiranya Cinderella yang berubah dari upik abu menjadi seorang putri karena ditemukan sang pangeran, kemudian mereka menikah dan bahagia. Bagi para wanita yang baru menikah, suami mereka laksana sang pangeran berkuda putih yang menjemput dan memperlakukan mereka selayaknya putri kerajaan.
            Walaupun kenyataan tidak sama dengan dongeng.
            Kalau dibanding-bandingkan, Rasti merasa dia seperti Cinderella, hanya saja dia bukan upik abu, tapi seorang wanita yang menderita dalam perjalanan cinta dan menjalin hubungan dengan pria. Dia dikecewakan para mantannya. Sedangkan Junio, mencari pasangannya—seperi pangeran mencari pemilik sepatu kaca—yang sesuai dengan hatinya. Mereka bertemu dalam waktu yang tak pernah dibayangkan... pertemuan cinta. Kemudian menikah dalam waktu yang cepat.
            Bukankah Pangeran segera mengajak Cinderella menikah setelah dia tahu satu-satunya wanita yang kakinya cocok pada sepatu kaca adalah gadis ini? Padahal karakter atau sifat perempuan itu belum diketahuinya luar dalam? Mungkin cinta mereka kembang dalam satu malam.
            Itu sempat Rasti pikirkan saat dia masih larut dalam kebahagiaan di pesta pernikahan. Melihat semua pesiapan yang melelahkan dan hasil yang setimpal, Rasti bahagia. Sangat bahagia.
            Siang hari dia tampak menikmati, tapi masalahnya dia malah ketakutan saat hari berganti malam dan pesta berakhir! Dia kangen dengan huru hara saat persiapan pernikahan. Meski pun kekesalan, kekacauan dan panik juga mewarnai, dia puas memberikan itu semua. Rasti merasa energinya disalurkan untuk hal yang bernilai.
            Kini dia akan berada di kehidupan semula. Hanya saja sekarang dia tidak sendiri. Ada seorang yang mendampinginya.
            Dia sangat yakin saat pernikahan itu berlangsung...
            Namun, semakin malam... semakin sedikti orang di sekitar mereka, saat hanya keluarga dan kerabat dekat yang berada di penginapan itu... dia tidak seyakin itu. Imannya turun. Dia ketakutan setengah mati.
            Apa dia telah memilih orang yang salah? Bayangkan, baru dua bulan sudah menikah? Seorang penasihat hubungan di radio pernah meledek wanita yang menikahi pria yang baru dikenal lima bulan.
“Kamu takut kesepian, ya?” tanya penasihat hubungan itu.
Si penanya sempat ragu dalam menjawab. “Mungkin... ya. Aku memang takut kesepian.”
“Tapi kamu tahu hal yang lebih menakutkan dari kesepian? Yaitu saat kamu kesepian karena hidup dengan pria yang salah sepanjang hidupmu...”
            Rasti memandang wajahnya yang terpantul kaca kamar mandi. Dia memilih Junio. Siapa Junio?
            Dia seorang pemilik toko roti dimana Rasti sangat menyukai es krimnya, dan juga seorang manajer toko pakaian pria. Junio memakai kacamata dan sangat peduli dangan penampilan, yang membei nilai tambah. Dia sopan dan sayang dengan keluarga—caranya memperlakukan ibunya sangat menyentuh. Junio suka menonton berita, membaca koran, dan buku karena ingin selalu update informasi dan berita. TV One dan Metro TV adalah stasiun favoritnya. Dia tidak terlalu tahan dengan pedas dan sangat menyukai yang manis, seperti Rasti. Selain itu Junio memiliki selera musik yang bagus, balada, orkestra dan jazz.
            Dan masih banyak lagi.
            Namun, masih banyak lagi yang tidak dia ketahui perihal Junio. Asing.
            Dari balik telepon, mama Rasti menasihati anaknya. Rasti begitu pusing di malam itu sehingga perlu menelpon mamanya.
            “Post wedding blues,” kata mamanya tentang gejala pada diri Rasti. “Begini Rasti, pikirkan tentang bagaimana kamu menjalani proses mengenal pasanganmu. Lewat pernikahanlah dua hati di satukan. Kamu ingat kan, temanmu yang menikah dengan pacar lima tahunnya, ternyata banyak hal yang disembunyikan pacarnya itu. Dia suka ngutang tapi nggak dibayar. Jadi, apa kamu yakin dengan pacaran bertahun-tahun kalian sudah kenal luar dalam. Rahasia kamu saja nggak semua mama tahu, pasti ada yang kamu sembunyikan.”
            “Tapi, ma... kenapa perasaan ini datang lagi. Rasti ketakutan!” Mata Rasti berkaca-kaca.
            “Kalau kamu percaya padanya dia akan mempercayaimu untuk berbagi rahasia. Suatu masa kalian akan saling mengerti, saling spontan saja.”
            “Ma...”
            “Mama tahu suamimu sudah menunggu. Jangan kecewakan dia. Buat dia bergairah malam ini, sayang!”
            Rasti menghela nafas panjang. Jika sikapnya tetap plin-plan seperti ini, apa yang berubah pada dirinya? Tidak. Rati tidak mau dia masih bersikap seperti remaja yang labil.
            Dia yakin... dia bisa mempercayai Juno sebagai suaminya.
            Pasangan yang salah? Sepertinya itu tidak ada. Yang ada hanya suami baru yang perlu dimengerti.

Sejam sebelumnya.
            Junio menggendong Rasti dari lobi penginapan, disambut terikan dan tepuk tangan dari semua keluarga dan kerabat yang hadir melihat mereka. Binar kebahagiaan pada wajah pria itu. Diberikannya pula satu kecupan dalam dikening Rasti, yang pasti membuat istrinya melayang ke langit ke tujuh. Kemudian mereka menuju kamar mereka di lantai tiga.
            Semakin mendekati kamar, dia deg-degan... inilah malam pertama yang dinantikannya. Sekaligus hal yang membuatnya cemas.
            Rasti menutup mata bahkan hingga sampai di dalam.
            “Aku mau mandi dulu,” kata Rasti.
            Junio tertegun, apakah dia harus meminta mereka mandi bersama?
            “Kamu mau aku ikut?” tanya Junio. Kemudian dia menyesali pilihan katanya. Seharusnya dia mulai merayu dan memeluk Rasti, mengajak istrinya ke kamar mandi.
            Rasti menggelang. “Kita mandinya setelah itu saja..., oke?”
            Tanpa protes Junio mengiyakan. Dia duduk sebentar di atas kasur kamar pengantin yang didekorasi indah serta bergaya etnik itu.
Kemudian mengambil ponsel yang ada di nakas. Dia ingin menelpon seseorang. Fiki. Junio berjalan menuju balkon agar suaranya tak terdengar oleh Rasti. Pintu kaca balkon pun ditutupnya.
Angin malam bertiup ke tengkuk Junio.
“Halo, Fik. Lu lagi dimana? Gue nggak ganggu, kan?” tanya junio segera.
Fiki malah tertawa di seberang. “Harusnya gue yang tanya lo. Kenapa malah nelpon gue di malam pertama? Bukannya malam ini milik kalian berdua?”
Junio mengabaikan tawa mengejek Fiki.
“Gawat!”
“Gawat kenapa?” tanya Fiki jadi ikut serius.
“Gue ketakutan. Sumpah!”
Fiki berusaha menenangkan sahabatnya. “Kita udah bicarakan ini berulang kali, Jun. Lo hanya perlu beri hak pada diri lo untuk mencintai perempuan. Rasti orangnya. Lo nggak perlu takut lagi kalau semua kacau. ada hal yang bisa diperbaiki, lo berada dalam proses itu. Nikmati saja.”
Junio mencengkeram rambatnya. Pusing.
“Junio? Lo masih hidup, kan?”
“Masih!”
“Lo kuat, jantan, macho. Lu pasti bisa, Jun.”
Junio masih belum tahu harus bicara apa. Dia harus jujur pada Fiki. Dia mengatur kata-kata dalam pikirannya.
“Fiki,” panggil Junio. “Gue masih mikirin ‘dia’.”
Tanpa dijelaskan, Fiki paham siapa yang dimaksud
Junio melanjutkan. “Tiba-tiba aja gue merasa dia hadir di pesta tadi. Wajahnya ada di sana, tapi gue nggak yakin. Semua seperti khayalan saja. Gue mikirin dia sepanjang sore ini.”
“Lo suami Rasti, lho, Junio. Jangan mikirin yang lain, oke?”
Fiki membuat Junio kesal. Ini masalah serius dan jawaban tadi membuat Junio kecewa.
“Ini datang begitu aja,” bela Junio tentang perasaannya.
“Setan yang goda lo. Setan yang nyuruh lo peduli lagi dengan masa lalu itu.”
“Sialan lo, Fik. Sekarang lo ngomong gue tersesat?”
Junio menjadi semakin panik. Dia mencuri-curi lihat ke dalam kamar, dilihatnya sosok Rasti masih belum tampak. Untunglah.
“Sabar, bro. Lo tahu kalau malam pertama adalah penantian semua pria. Termasuk lo! Lo pria yang malam ini akan membehagiakan istri karena permainan yang mantap! Dunia serasa milik berdua karena yang lain ngontrak!”
Junio tertawa juga mendengar lelucon payah sahabatnya.
“Jadi, fokus ke permainan sama Rasti aja, nih?”
“Yup. Never regret. Besok-besok jangan lupa cerita gimana malam ini, oke?” goda Fiki.
“Uh, enak saja.”
“Tutup telpon ini, kalau perlu buang ke tong sampah. Rasti pasti sudah menunggu, kan?”
Junio masih merasa ketakutan.
“Tarik nafas, Jun. Bernafas itu cara paling dasar untuk menenangkan jiwa. Coba teknik 4-7-8
Junio melakukannya. Caranya adalah dengan menghirup napas dari hidung selama 4 hitungan, tahan napas selama 7 hitungan, dan hembuskan napas dari mulut selama 8 hitungan. Nikmati rasa rileks yang hadir di tubuh dan pikiran.
“Udah rileks?” tanya Fiki.
“Dikit.”
“Coba lagi bernafas entar. Tapi tutup dulu telpon ini! Dan selamat menghangatkan malam!”
Sambungan teputus. Junio memasukkan ponselnya ke saku pakaian pernikahannya.
Junio melihat ke ruangan dan Rasti  belum keluar.

Bab 4 After The Paty: It’s Life

Posted by Jason Abdul at 6:11 PM 0 comments
Setelah cukup lama cuti karena disibukkan urusan pernikahan, Rasti akhirnya kembali ke kantor. Dia di sambut dengan meriah oleh para karyawan di sana. Kejutan besar bagi penganting baru! Untung saja Rasti sudah berniat membawa beberapa kue dan  makanan untuk rekan di kantor. Sebagian memang tidak hadir saat pesta pernikahannya.   
            “Selain ucapan jadi pengantin baru, saya juga mengucapkan selamat atas terpilihnya ibu sebagai nominasi karyawan terbaik tahun ini.”
            Rasti menatap tak percaya pada sekretarisnya. Sekretarisnya mengangguk. Rasti menggeleng.
            “Lihat di papan pengumuman saja, Bu,” saran sekretarisnya.
            Ternyata benar! Rasti memekik bersama bawahannya. Akhirnya kinerjanya yang baik dihargai kantor. Walau pun dia tidak berambisi menjadi karyawa terbaik, namun hal ini bisa menjadi pegangannya untuk karir ke depan. Siapa tahu ada promosi kenaikan pangkat.
            Rasti masuk ke ruangannya untuk menelpon Junio.
            “Sayang, kamu lagi dimana?” tanya Rasti.
            “Di Kieree. Ada apa sayang, kayaknya bahagia sekali.” Junio bisa merasakannya. Rasti semakin mengembang dadanya.
            “Aku jadi salah satu kandidat karyawan terbaik tahun ini. Can you believe it?” tanya Rasti.
            “I believe because you deserve to get it. Walau pun aku nggak pernah datang ke kantormu buat lihat kamu kerja kayak gimana. Kamu senang banget, ya? Kita rayakan, yuk?”
            Sepertinya pesta bertubi-tubi akan mereka jalani.
            Rasti teringat tentang perkataan Junio tentang pasangan sumi istri itu setelah pernikahan pasti mendapat rezeki yang tak disangka-sangka.
            “Yakin sama Tuhan. Dia bakal bantu.”
            Kemudian mereka janjian untuk makan siang di sebuah restoran mewah.
            “Biar aku yang reservasi,” kata Junio.
            “Terima kasih banget, sayang! Love you so much! Muach!”
            “Muach!!”

Pekerjaan seharian itu terasa sangat ringan. Senyuman terus saja berada di bibir Rasti. Pada saat pelaporan oleh para account officer, Rasti membuat mereka nyaman dengan pertayaan-pertanyaan yang bagus. Bukan pertanyaan seorang yang sedang patah hati beberapa waktu dulu.
            “Lidia, saya pergi makan siang dulu, yah!” kata Rasti saat dia keluar dari ruangannya.
            “Makan dimana, Bu? Gabung sama kita aja!”
            “Saya sudah janji sama suami saya mau makan siang bersama.” Rasti senang saat mengucapkan “suami saya”, membuat sekeretarisnya iri saja.
            “Deuh... mesra banget. Pengen deh punya suami kayak Pak Junio.”
            Rasti menggeleng. “Jangan, gak bakal bisa. Junio saya hanya satu-satunya di dunia.”
            Lidia tertawa, begitu juga Rasti.
            “Ah, ibu ada-ada saja. Kalau begitu selamat makan siang. Salam ya untuk suami ganteng ibu.”
            Rasti menagangguk dan berlalu dari sana. Rasti dan Lidia sudah biasa bergurau seperti itu jadi dia tak menganggap serius sekretarisnya yang tiba-tiba jadi penggemar Junio. Pastinya, Rasti tidak akan membiarkan siapa pun merebut Junio.
            Dia geli sendiri tentang pikirannya yang jadi istri pencemburu.
            Dengan langkah santai, dia melaju ke restoran tempat mereka janjian.

Bab 5 Love is A Verb For Keeping

Posted by Jason Abdul at 5:12 PM 0 comments

Rasti memasuki apotik itu, langkahnya sangat pelan, bagai memakai sepatu yang terbuat dari besi. Enggan kesana tapi dia harus melakukan sesuatu untuk dirinya sendiri. Dirinya berhak memiliki masa depan. Kehidupan suami istri memang menyatunya dua hati yang berbeda, tetapi mereka tetap mempunyai keinginan sendiri, kan? Jalan agar tak ada yang kecewa adalah melakukannya dengan diam-diam.
            Junio tak perlu tahu kalau dia ke sini.
            Dilihatnya apotik yang berada sangat jauh dari rumah mereka atau pun kantornya dan Junio. Sengaja dia memilih tempat yang tak mungkin akan dilalui Junio.
            Interior apotik sangat seadanya. Tak ada kursi tunggu. Etalasenya sudah retak dibeberapa bagian, hanya diberi selotip hitam yang membuat kaca itu semakin menyedihkan. Seorang perempuan tua yang tampak bosan duduk dibalik konter. Sedikit pun dia tidak memberi senyuman pada Rasti yang baru datang.
            Rasti mendekati konter dengan malu-malu. Kemudian dia menyebutkan obat yang dimintanya. Si Ibu penjaga apotik tanpa berbasa-basi mengambil sebuah kotak dan mengambilkan obat sebanyak yang diminta Rasti.
            Akhirnya dia memperoleh obat itu, sesuatu yang bisa membantunya agar tetap bekerja hingga dia siap untuk memiliki penghuni baru di rumah. Junio tak akan tahu kalau dia mengonsumsi ini. Junio hanya percaya kapan pun Tuhan memberinya anak, dia akan bersyukur.
            “Junio, maafkan aku,” kata Rasti pelan saat dia kembali melajukan mobilnya, menuju rumah.

Malam itu, Junio tidak tidur di rumah. Dia harus menjaga toko roti karena setiap hari Kamis adalah gilirannya menjadi pelayan. Rasti heran kenapa bos di toko roti itu mau menjadi pelayan. Junio menjawab kalau dia senang melayani orang di sana. Melihat mereka tergiur dengan aroma roti atau coklat sangat menarik. Apalagi kalau orang itu sedang stress setelah diputus pacar.
            “Enak saja,” kata Rasti tersinggung. “Aku yang mutusin cowok itu. Bukan ‘diputusin’!” Rasti memukul lengan Junio. Dia sedikit kesal jika suaminya mulai menggodanya dengan mengungkit masa lalu.
            Junio memakai kenangan mereka di toko roti jika ingin menggoda Rasti. “Kamu kalau ngambek kayak monster, menakutkan.” Atau dia akan bilang, “Nanti aku tulis di depan toko: ‘Wanita Patah Hati Dilarang Masuk.”
            Junio akan tertawa terpingkal-pingkal, sedangkan Rasti ingin mencubitnya karena gemas.
            Junio bilang dia sering mendapatkan kejutan dalam hidup, bahkan istri yang tak sengaja dipertemukan. Namun, dia selalu mensyukuri apa yang dia punya.
            Sekarang dia ingin mendapatkan anak tanpa persiapan. Dia ingin murni kejutan. Sesuatu yang belum bisa Rasti berikan.
            Rasti mengonsumsi pil yang dia beli di apotik tadi. Saat pil itu dirasakannya melewati keongkongan, Rasti meminta maaf pada Junio.
            Kemudian Rasti duduk di sofa depan televisi. Tanpa bermaksud ingin menonton sesuatu dia mengganti channel, sampai sebuah program dokumenter memenuhi layar. Dokumenter itu tentang bagimana seorang bayi tercipta. Hati Rasti tersentak, dia menginginkan seorang bayi dalam hidupnya, tapi... dia ingin karirnya tetap maju. Rasti percaya dia akan tetap memiliki anak di masa depan.

Junio selesai meeting dengan seorang perancang busana ternama Indonesia. Kieree telah menandatangani kesepakatan untuk menjual pakaian rancangan disainer muda yang sedang naik daun itu. Bahkan, gelaran fashion week sudah direncanakan jauh-jauh hari. Sebagai Brand Manager Kieree, andil dan tanggung jawab Junio sangat besar untuk suksesnya acara ini.
            Bersama dengan bagian operasional dan tim event organizer yang disewa, dia merumuskan sebuah konsep. Peragaan busana ini akan diikuti oleh orang-orang yang ternama dalam fashion busana pria. Sedangkan peragawannya akan dipilih dari beberapa agency.
            “Untuk merangkul konsumen anak muda lebih luas, saya menyarankan agar diadakan ajang pemilihan model di majalah, khusus untuk pria.”
            Seluruh pemegang keputusan menyetujui usul Junio itu setelah dirembuk dan diberi saran sana sini. Proses mencapai target itu memang memakan waktu yang lama, tenaga yang banyak, dan pikiran yang membuat semua kelelahan.
            “Fashion show Kieree harus bisa menjadi spektakuler!” kukuh Junio setiap kali dia membicarakan event besar tokonya.
Junio bersyukur sudah memiliki istri yang selalu ada untuk jadi tempat berlabuh dan melepas kepenatan di tempat kerjanya.            Rasti hanya bisa menyemangati.
Suatu kali, Junio diwawancara sebuah majalah life style. Dia mengatakan bahwa semangatnya dalam menjalankan tugas karena memiliki istri yang pengertian, penyayang, dan pintar memasak makanan yang enak.
“Saya selalu betah di rumah,” kata Junio.
Akhirnya nama Junio mulai dikenal lewat majalah pria itu.
Seleksi model dari agensi model dilaksanakan berbarengan dengan pemilihan model dari pembaca majalah. Junio ikut menjadi juri penentu.
Suatu kali dia melihat beras lamaran dari seorang pria yang selama ini dihindarinya. Apa-apaan ini, kenapa dia juga ikut serta? Batin Junio dalam hati.
“Kenapa dia lolos?” tanya Junio pada rekannya sesama juri. “Dia kurang kompeten tampaknya. Agensinya pun baru dibentuk.”
“Wajahnya cukup menarik, nggak ada salahnya mencoba dia,” kata rekannya, tapik karena wajah Junio seolah membeku dia berkata, “Kalau begitu tidak usah dimasukkan ke daftar lulus seleksi satu?” tanya rekannya itu.
“Ya, tidak usah saja.”
Juno menghela nafas agar rileks. Dia tak menyagka kalau pia itu begitu nekat ingin terlibat di tempat dimana jelas-jelas Junio berada. Kemaren dia datang ke tokonya, sekarang ikut dalam seleksi model. Apa yang diharapkannya? Masuk dan terlibat dalam kehidupan Junio lagi?
Junio sebenarnya tak tega telah mematahkan kesempatan orang itu untuk berkembang, tapi keputusan terbaik bagi hatinya adalah: jangan berurusan lagi dengan pria itu. setap kali Junio teringat padanya, hanya menambah rasa bersalah dalam hatinya.

Rasti merasakan seseorang berjalan dibelakangnya, pelan-pelan tanpa mengeluarkan suara, kemudian sepasang tangan menutup matanya tiba-tiba. “Mas Junio!!” teriak Rasti pura-pura kaget, dia ingin memberi Junio sedikit kepuasan dengan menghargai lelucon suaminya.
            Junio menurunkan tangannya ke bahu Rasti, memeluk istrinya erat. “Kamu duduk di depan laptop terus...”
            “Aku ngerjain tugas kantor, Mas,” kata Rasti penuh sayang.
            Junio duduk di samping Rasti, seperti biasa dia memeluk dan memperhatikan wanitanya sedang sibuk dengan angka-angka dan laporan ini itu. junio tak mengerti apa yang dilakukan Rasti, tapi pastinya sesuatu yang sangat penting hingga memerlukan waktu tambahan diluar jam kantor.
            “Bagaimana persiapan acara Kieree?” tanya Rasti menutup kekosongan suara.
            “Melelahkan tapi menyenangkan.”
            “Hmmm...,” gumam Rasti tidak bermaksud mengabaikan. Dia fokus pada layar laptop.
            “Hmmm...,” balas Junio iseng.
            Rasti berguman “Hmmm...” lagi. Junio membalas lagi. Rasti jadi tertawa mendengar itu.
            “Mas, tadi ibu nelpon, mereka bilang kangen sama kita. Aku juga kangen, tapi kita sibuk, kan? Susah buat ke sana.”
            Junio menggeleng, “Kita ke sana secepatnya, oke? Besok kamu bisa?”
            “Sebenarnya bisa, tapi aku mau ngejar selesaikan ini.”
            “Emangnya ini untuk kapan?”
            “Dua hari lagi sih,” kata Rasti mengerlingkan matanya. Dia menggigit bibir bawahnya.
            Junio heran dengan istrinya yang jadi workaholic akhir-akhir ini. Anehnya lagi dia selalu mengerjakan tugas yang diselesaikan satu atau dua hari sebelum deadline. Memang hal itu bagus karena Rasti bisa punya banyak waktu memperbaikinya. Namun, sama saja jika dia hanya melakukan itu sepanjang malam padahal jam kantor bisa dimanfaatkan keesokan harinya.
            Kapan, dong, Junio bisa bermanja-manja lagi dengannya sebelum tidur? Selalu Junio kelelahan kerja langsung terlelap, sedangkan istrinya masih sibuk berkutat dengan laptop.
            “Besok sore aku jemput kamu ke kantor, kita ke tampat orangtuamu. Besoknya, kita pergi ke tempat ibuku.”
            “Tapi, Mas... kerjaanku gimana?”
            Junio memeluk lebih erat lagi. “Kan masih dua hari lagi. Santai sedikit, Sayang.”
            Rasti hanya bisa diam. Dia tak ingin membantah lagi. Junio memang benar, dia harus santai sedikit agar bisa memberi waktu dan perhatian pada yang lain.
            “Sayang, kamu udahan dong ngetiknya...,” bisik Junio. “Kita tidur, yuk?”
            Junio menuntun sang istri yang enggan menuju kamar tidur. Karena Rasti tanpa begitu tak bersemangat, Junio meraih bahu dan bawah lutut Rasti, dia menggendong wanita itu! Rasti terpekik, sedangkan Junio tertawa melihat istrinya.
            Dalam hati Rasti mengingatkan dirinya agar menimum pil di pagi hari.

“Rasti!! Mama udah kangen banget ketemu sama kamu!”
            Rasti hanya pasrah dipeluk mamanya erat-erat. Padahal sang mama sedang memakai celemek yang penuh noda karena memasak. Beliau menyiapkan makanan yang enak untuk anak dan menantunya.
            “Duh, celemek mama itu udah bau bawang bombay!” protes Rasti setelah lepas dari mamanya.
            “Masa sih? Perasaan wangi banget, deh,” kata sang mama cuek. Dia harus memeluk satu anaknya lagi.
            Junio memeluk mertanya dengan sayang.
            “Lihat tuh, Junio saja nggak maslah. Ya, kan, Jun?”
            Junio hanya melirik istrinya yang sedikit sebal. Lalu tersenyum. “Orang bank nggak ada yang bau bombay, Ma,” kata Junio terkekeh.
            Mama Rasti jadi tertawa. Rasti hanya memutar bola matanya.
            “Aku nggak masalah dipeluk mama, tapi jangan pakai celemek itu dong. Riana mana, Ma?” tanya Rasti sambi ikut menuju dapur bersama Mamanya.
            “Pergi ke perpustakaan. Katanya masih butuh referensi yang banyak buat kerjaannya. Nanti balik sebelum makan malam.”
            Mama Rasti juga memberitahu kalau suaminya sedang pergi main tenis.
            Rasti bergegas ke kamarnya dulu, dia mengganti baju kerjanya dengan baju daster lama yang sering dipakainya. Dia mau membantu mamanya.
            “Mas, aku mau bantu mama.”
            Junio mengangguk, dia mengambil koran yang ada di meja dan membacanya. Dia tak terlalu fokus membaca, hanya ingin mengisi waktu luang dari pada melamun.
            Semakin hari Rasti membuat kagum Junio. Rasti tak tega membiarkan mamanya memasak sendiri, tanpa diminta dia masuk ke dapur. Rasti memang tak bisa membiarkan orang kesusahan.
            Andai mereka secepatnya memiliki anak, tentu Junio dapat menggenapkan kebahagiaan hidup bersama istri. Namun, karunia itu belum hadir sampai sekarang. Junio selalu berdoa meminta pada Tuhan. Kadang ketakutan muncul, apakah Junio yang tak mampu memberi Rasti seorang bayi mungil? Apakah dia benar-benar mampu memberinya kebahagiaan?
            Junio menginginkan anak secepatnya, tapi tak menuntut. Jika Tuhan belum mengkaruniai, ya sudahlah.
            Setelah bosan membaca koran, Junio mengambil remote dan menyalakan televisi. Dia menukar saluran berulang kali. Ternyata hanya ada sinetron di layar kaca. Junio tidak suka dengan sintron Indonesia jika produk itu masih belum dikerjakan dengan sepenuh hati. Kebanyakan akting para aktor asal-asalan, padahal jalan ceritanya cukup menarik.
            Tiba-tiba Junio melihat wajah orang itu, pria yang tanpa diminta kembali ingin masuk dalam kehidupannya. Wajah yang sama di toko kemaren dan model yang dia tolak. Sekarang, tanpa sengaja dia melihat di televisi.
            Sebuah sinetron tentang pernikahan siri. Apa-apaan ini? batin Junio. Bukankah dia bisa memilih ikut audisi untuk produksi yang lebih bagus? Kenapa dia malah ikut main di sini sebagai figuran—adik dari yang dinikahkan?
            “Sayang,” suara Rasti mengagagetkan Junio. Buru-buru pria itu mengganti channel. “Bisa tolong bukain botol ini, nggak?”
            Junio menerima botol saus tomat itu, dengan sekali sentak tutupnya terbuka.
            “Makasi, ya? Daritadi aku coba nggak kebuka-buka. Cowok emang kuat!” Rasti kembali ke dapur.
            Untung saja Rasti tidak melihat apa yang dia tonton tadi. Lagipula memangnya Rasti tahu apa yang dia sembunyikan selama ini? Jadi kenapa takut kalau hanya sekedar melihat orang itu di layar kaca? Junio kembali ke channel tadi, sayangnya hanya iklan yang ada. Sosok tadi hilang!
           
Makanan-makanan yang nikmat telah terhidang di meja. Rasti dan mamanya memandang puas pada kerja keras mereka. Apalagi mama Rasti yang merindukan momen seperti ini, saat dia menyiapkan makan malam untuk keluarga. Sang mama meminta Rasti memanggilkan Junio serta papa Rasti yang baru selesai mandi.
            Papa Rasti duduk di paling ujung, di sampingnya Rasti dan mama. Disamping Rasti duduk Junio dan disamping mama ada Riana .
            “Sebelum kita makan, aku ingin memberikan sesuatu pada Papa,” kata Junio. Dia pergi sebentar ke luar dan membawa sebuah kotak. Dia berikan pada mertua laki-lakinya.
            Papa Rasti membukanya dan menemukan sebuah kemeja yang sangat bagus. “Terima kasih, Junio.” Binar kebahagiaan teraut jelas di mata orangtua itu.
            “Sama-sama, Pa,” kata Junio.
            Kemudian, mama Rasti mempersilakan semua untuk mulai makan.
            “Bagaimana pekerjaanmu, Jun?” tanya Papa Rasti membuka percakapan malam ini.
            “Lancar, Pa. Malah sekarang kami sedang mempersiapkan pagelaran busana,” jawan Junio.
            “Wah, pasti banyak model canik-cantik, tuh,” eletuk mama Rasti. “Hati-hati Junio nanti ada yang naksir.”
            “Pagelarannya busana cowok, Ma,” sahut Rasti.
            Mama Rasti jadi sedikit malu, tapi dia malah berkata, “Siapa tahu ada cowok yang naksir Junio. Udah banyak tuh yang nyimpang jadi homo.” Dia menggerakkan badan seakan geli dengan pikirannya sendiri.
            Junio tak mengira dia terpengaruh dengan perkataan mertuanya. Memang banyak, Ma, katanya dalam hati.
            “Terserah kalau ada naksir, cewek atau cowok, maklum aja Mas Junio tampan gini,” Rasti merangkul Junio. “Di kantorku saja udah banyak yang jadi fans Mas Junio.”
            “Papa senang kalau kalian saling menjaga. Cinta itu bertahan karena kepedulian, tapi jangan mendominasi, itu saja resepnya.” Papa Rasti melirik pada istrinya. Mama Rasti tersipu malu.
            “Ehm, disini ada yang belum punya suami, lho,” sahut Riana sedikit kesal melihat kemesraan orangtua dan kakaknya. Dia jadi berkhayal seandainya membawa pacarnya makan malam di sini.
            Semua yang disana tertawa.
            “Terus, kapan kami bakal gendong cucu?” tanya Mama Rasti.
            Rasti kontan melihat pada Junio. “Sabar dulu, Ma. Belum waktunya dikasi Tuhan”
            Junio setuju dengan perkataan Rasti.
            “Jangan tunda-tunda punya anak. Nanti kalau udah terlalu lama bisa-bisa makin banyak masalah di rahimmu, Ras. Banyak yang lahir prematur atau nggak lancar persalinannya karena terlalu lama menunda hamil.”
            “Kalau firasatku, Ma, dekat waktu ini mungkin saja Rasti hamil.”
            Rasti tak percaya Junio akan mengatakan itu. Memang mereka melakukan seks beberapa waktu lalu saat masa subur Rasti. Jadi, Junio ingin semua menaruh perhatian pada perutnya dalam waktu dekat? Bagaimana kalau mereka tahu kalau di pagi harinya Rasti mengonsumsi obat pencegah kehamilan?
            “Mama menantikan sekali... seorang cucu yang menggemaskan memang bagus buat masa tua.”
            Papa Rasti ikut mendukung Junio, dia membacakan doa untuk dipelajari Junio agar secepatnya dikaruiniai anak. Sedangkan Riana lebih peduli pada perubahan raut wajah Rasti, kakaknya itu seperti tidak berada disana. Dia gelisah.
            “Rasti sempat terpilih jadi kandidat karyawan terbaik, Ma, Pa!” kata Rasti ingn mengubah topik pembicaraan.
            Mamanya cukup antusias. “Wah! Bagus...”
            “Karir Rasti bisa dibilang sedang menanjak. Sedikit langkah lagi bisa naik jabatan. Rasti ingin mendapatkan itu tahun depan.” Ups, saking bingungnya Rasti jadi kelepasan.
            “Walau pun karir kamu nanjak, Ras, punya anak dulu... bahagiakan suamimu dulu. Pepatah lama yang bilang banyak anak banyak rezeki sangat benar. Tapi demi mendukung program pemerintah, sedikit anak saja udah cukup.”
            Papanya menyahut. “Jangan tunda punya anak, Ras. Suatu saat karirmu itu bisa dicapai. Suamimu sangat mendukung, kan? Bener, kan, Junio?”
            “Iya, Pa,” jawab Junio sambil mengangguk.
            Ingin Rasti berteriak pada semua orang kalau dia belum ingin punya anak. Yang nanti hamil dia, kan? Kenapa semua sibuk mengurus keluarga barunya ini. Tega sekali Junio membuatnya dilema. Mendukung apa? Junio malah membuat karirnya tersendat!!
            Sepanjang sisa makan malam Rasti hanya diam.
            Junio merasakan perubahan aura pada Rasti, tapi dia memberikan istrinya waktu untuk berfikir. Semoga nasihat mertuanya tadi bisa membuat sang istri berubah fikiran.
            “Duh, sudah nggak sabar pengen lihat wajah cucu Mama. Kalau perempuan pasti  cantik, kalau laki-laki nggak ragu lagi mama, pasti tampan!”   
            Ggrrr... Rasti ingin pembicaraan tentang anak itu berakhir.
Sehabis makan malam, Rasti mengajak Riana curhat. Dia memberitahu kalau Rasti sudah menunda kehamilannya dengan mengonsumsi obat.
“Astaga! Mas Junio sudah tahu?”
Rasti menggelang.
Riana tak tahu apa yang harus dia katakan. Kalau dia yang jadi Rasti tanpa ragu lagi dia akan memilih punya anak dahulu. Masalah rezeki tak akan kemana.
“Kasi tahu aku cara biar Mas Junio ngerti kalau aku sangat-sangat ingin melanjutkan karir. Anak, kan bisa diusahakan nanti!”
“Aku nggak tahu harus gimana, Kak. Kali ini aku memang belum tahu rasanya tak ingin punya anak.”
            Rasti menghela nafas kesal.
            “Mas Junio, sibuk, aku juga sibuk. Siapa yang bakal ngurus anak kami kalau nggak ada orang di rumah?”
            Riana memberikan saran untuk menggaji baby sitter. “Tapi jangan lupa kakak harus penuhi hak bayi, yaitu ASI eklusif. Aku pernah baca banyak banget manfaat memberikan ASI.”
            “Ternyata kamu juga mendukung Mas Junio!”
            “Bukan masalah aku dukung siapa-siapa. Pekerjaan itu suatu saat hanya akan menjadi bagian hidup kita. Kalau anak, selamanya sampai akhirat juga berhubungan.”
            Rasti menangis. “Aku nggak tahu harus ngapain...”
            “Percaya saja pada Mas Junio, Kak. Dia orang yang baik. Dia pemimpin di rumah tangga Kakak.”

Besoknya, sesuai rencana, Junio dan Rasti mengunjungi Ibu Junio di panti jompo. Di sana Ibu Junio sedang menatapi langit sore dari balkon lantai dua. Sepertinya Ibu Junio sangat menyukai langit jingga. Warna yang lembut, memberikan cahaya yang tak terlalu menyilaukan. Seperti sifat Ibu Juno yang lemah lembut, memberikan kenyamanan pada Rasti.
            Rasti memeluk mertuanya dengan lembut. Hangat tubuh Ibu Jnio menjalar padanya. Damai terasa dalam hati.
            Sayangnya, karena penyakit Alzheimer yang dideritanya, ibu Junio lupa siapa Rasti. Dia tanyakan pada Junio.
            “Ini Rasti, bu... Istriku yang cantik.”
            “Cantik. Sangat cantik,” kata ibu Junio berulang.
            Rasti hanya tersipu. Lalu dia mengeluarkan sebuah Tupperware berisi roti dan selai strawberry kegemaran ibu Junio. Pelan-pelan dia membuatkan roti selai untuk mertuanya.
            Ibu Junio menerima roti itu dan memakannya dengan lahap. Lucu melihat cara dia menggigit, mulutnya bergerak-gerak ke atas-ke bawah, tapi bibirnya terkadang maju ke depan.
            “Enak, Bu?” tanya Rasti.
            “Enak. Kamu pintar. Istrimu Junio?”
            Junio maklum jika ibunya lupa lagi. “Iya, Bu. Ibu ingat namanya?”
            Ibu Junio menggeleng.
            “Nama saya Rasti, bu.”
            “Asti...”
            “Rasti, Bu,” koreksi Rasti.
            Penderita alzheimer terkadang sulit berkomunikasi dan merangkai kata-kata. Kali ini, ibu Junio kesulitan mengucapkan nama Rasti. Bekali-kali menantu dan anknya mempebaiki pengucapannya.
            “Rasti. Cantik...”
            “Terima kasih, Bu.”
            Kemudian ibu Rasti membuat gerakan yang ganjil. Dia meletakkan tangan kanan diatas tangan kirinya, telapak tangan menghadap ke atas, setelah itu dia mengayunkan lengannya ke kiri dan ke kanan. Seperti orang yang sedang menimang bayi.
            Rasti tertegun. Bahkan ibu Junio menginkan kehadiran cucu dalam hidupnya. Rasti tak berani menatap mata Junio.
            “Kapanmu punya anak, Jun?”
            Junio mengamati Rasti, tapi Rasti malah menghindari tatapannya.
            “Sebentar lagi, Bu. Doakan saja.”
            “Nggak lama-lama.”
            Juno mengangguk. “Ayo habiskan rotinya, Bu. Kalau mau minta saja pada Rasti untuk buatkan satu lagi.”
            Rasti menundukkan kepalanya.

Selain pekerjaan yang dilakukannya dengan baik, pkiran Rasti dipenuhi tentang bayi. Seorang bayi mungil dan menggemaskan. Berwajah tampan seperti ayahnya, berkulit lembut seperti ibunya. Jika semua orang yang melihat bayi mereka akan jatuh cinta dan ingin menggendong walau sebentar.
            Rasti juga membayangkan binar bahagia Junio, orangtua, dan mertuanya.
            Semua orang menginginkan bayi, tapi Rasti, yang bayi itu akan berasal dari rahimnya, belum meneguhkan hati untuk memilikinya. Sayang sekali jika dia hadir di saat Rasti tidak terlalu mnginginkannya.
            Setiap kali merasa mual, Rasti selalu ketakutan. Apakah dia hamil? Bahkan terkadang dia tak sanggup mencium bau menyengat. Salah satu tanda orang hamil memang tak bisa mencium bau yang tajam. Bisa membuat mereka mual.
            Rasti tetap meminum pil pencegah kehamilan itu. Selama Junio tidak tahu, sepetinya tidak masalah.
            Kali ini dia sangat teguh pada pendirian. Dia menginginkan karirnya maju baru beranak. Kalau dia memilih sebaliknya, sama saja dia plin-plan. Sifat itu yang berusaha Rasti ubah sejak dia memilih Junio sebagai suami. Bukankah dia tetap bertahan pada pernikahan ini walaupun hatinya sempat meragu?
            Tolong hargai usahaku, batin Rasti. Tak ada yang menyahut.
            Dering telepon di ruangannya berbunyi.
            “Rasti sudah siap untuk meeting nanti sore?” tanya Pak Affandi.
            “Siap, pak.”
            Dia harus profesional untuk pekerjaan. Dia harus membuat prioritas dalam hidup. Kalau orang lain yang mengatur hidupnya, dimana kebebasan itu? pernikahan bukan penjara, kan?
            Dengan mantap, Rasti keluar dari ruangannya menuju ruang rapat. Dia akan membuat bosnya kagum, dan kesepakatan dengan pihak luar akan tercapai secepat mungkin.
            Diabaikannya permasalahan tentang anak, sementara waktu.

Berkali-kali Junio bersin, sampai-sampai dia merasa sapu tangannya sudah basah dan jika diperas akan mengeluarkan air. Dia butuh obat flu dan tidur. Sesampainya dia dari gedung tempat fashion show Kieree akan dilaksanakan—Junio begadang mengawasi tim dekor—Junio langsung menuju dapur tempat lemari obat berada.
            Banyak sekali obat disana, pikir Junio. Dia mencari-cari, mengeluarkan beberapa botol sampai menemukan obat yang di cari. Lalu dia memasukkan kembali botol obat yang tidak diperlukan. Sebuah botol obat menarik perhatannya karena bergambar seorang perempuan dengan perut yang membesar. Kening Junio langsung berkerut.
            Saat dia tahu itu obat apa, dia jatuh terduduk di lantai dapur.
            Dia menangis seketika.

Rasti ceroboh meletakkan obat itu di sana! Padahal seingatnya dia meletakkan di tumpukan obat yang lain, disamarkan agar tak ada yang melihat selain dia. Ternyata Junio menemukannya tanpa sengaja. Jantung Rasti berdetak sangat kencang. Dia tak sanggup melihat wajah suaminya.
            Suaminya menangis. Rasti meremas-remas tangannya sendiri. Dia ingin menyakiti diri sendiri karena telah membuat Junio menangis. Dia mencoba tak ikut menangis, tapi air mata tetap jatuh menganak sungai di pipinya.
            Rasti duduk di tepi tempat tidur mereka. Sedangkan Junio tetap berdiri, menolak ajakan Rasti untuk duduk di sampingnya.
            “Apa aku tidak berharga lagi?” tanya suaminya.
            Rasti tertunduk. Dia tahu kalau Junio tahu jawabannya. Sangat, Junio sangat berharga bagi Rasti. Junio telah memberikannya kebahagiaan.
            “Aku nggak pernah melarang kamu kerja, kan?”
            Rasti menggeleng, tapi mulutnya terkunci rapat.
            “Kenapa kamu tega lakuin ini, tanpa sepengtahuanku?”
            Rasti menangis lebih keras. “Maafin aku, Mas...”
            “Ini demi keluarga, Ras. Kamu selalu bilang kalau kamu mendahulukan keluarga.”
            “Maaf, Mas...”
            “Sudah berapa lama kamu minum pil ini?”
            “Sejak kita membicarakan tentang punya anak. Sejak kita beda pendapat.” Sedikit demi sedikit Rasti mencari pembelaan. “Mas nggak ngerti keinginanku sekarang! Itu yang bikin aku nekat berbuat gini!”
            Junio mengerti kekalutan istrinya. Dia juga memaksakan kehendak, tapi itulah yang terbaik untuk mereka. Setidaknya semua anggota keluarga yang lain sangat ingin mereka memiliki anak.
            “Aku punya teman yang nggak bisa punya anak. Mereka usahakan apa pun caranya biar bisa melengkapi kebahagan jadi suami istri. Mereka mengadopsi anak! Apa perlu aku cari anak yatim piatu yang sudah remaja biar kamu nggak perlu hamil, melahirkan, dan mengasuh . Lalu kamu bisa raih segala jabatan di kantormu?”
            “Maafin aku, Mas...”
            Junio menghela nafas dengan teknik 4-7-8. Dia butuh udara segar untuk menjernihkan otaknya. Sudah cukup dia marah. Dia tak ingin ini menjadi masalah yang lebih besar.
            Rasti tak henti-hentinya menggucapkan maaf. Membuat Junio tak tega lagi melihat Rasti menangis.
            Akhirnya Junio duduk di samping Rasti. Dipeluknya sang istri dan Rasti menangis di dada Junio.
            “Suatu saat kamu bisa mencapai karir yang gemilang. Aku percaya itu,” kata Junio, sekarang lebih lembut. “Coba pikirkan lagi keputusanmu. Pikirkan keluarga kecil kita di masa depan. Pikirkan perasaan orangtuamu dan ibuku.”
            “Rasti minta maaf, Mas...”
            Rasti menangis lebih lama, tapi Junio ada untuk menenangkannya.
            “Baiklah, mulai sekarang, tak ada lagi rahasia di antara kita. Oke?” kata Rasti sambil menyodorkan kelingkingnya pada Junio.
            “Apa ini?”
            “Kalau berjanji harus kayak ini.”
            Junio melingkari kelingkingnya pada milik Rasti.
            “Tak ada rahasia lagi. Deal?” tanya Rasti sekali lagi.
            “Deal!!”
            Namun, dalam hati Junio menyangkal kesepakatan itu. dia memiliki rahasia... yang sebaiknya tak diketahui Rasti sampai kapan pun. Untuk kebaikan Rasti sendiri.

***

Andy mengabaikan sapaan mamanya setiba di rumah. Dia tak peduli betapa sengsaranya sang mama melihat anaknya seperti orang lain saja. Dia tak peduli selain dirinya. Apa salahnya? Orang lain tidak mengerti dirinya. Biar saja dia dibilang masih labil seperti seorang remaja. Dia kesal sekali pada semua orang!
            Kamarnya sangat berantakan karena tak ada yang boleh masuk selain dia, termasuk pembantu. Hanya sepetak ruangan inilah dunianya. Di mana dia bisa melakukan apa pun tanpa ada yang marah!
            Sialan! Teriaknya di dalm hati. Sialan dia!
            “Kenapa gue nggak lolos di audisi model itu. Gue kurang tampan? Seluruh cewek pasti tahu kalo gue pantas diperebutkan! Sialaaan!” Tapi dia tidak memilih satu perempuan pun.
            Dibantingnya apa pun yang dia raih.
            “Junio sialan! Brengsek! Pasti dia yang menjegal langkah gue buat ikut event itu. Mentang-mentang dia yang punya hajat, seenaknya saja menyingkirkan gue!”
            Kemudian dia mengambil sebuah kotak. Isinya adalah beberapa lembar foto. Foto-foto dia bersama seorang pria berkacamata. Orang yang sama dengan yang menyingkirkan dia dari kemungkinan menjadi model di fashion show Kieree.
            Andy mengambil satu, kemudian sumpah serpah keluar lagi dari mulutnya. Dia seharusnya bisa masuk ke sana. Walau pun baru, agensinya dimiliki oleh mantan model dunia. Bahkan pemilik agensi itu selalu memuji talenta Andy. Dia anak emas di sana. Nyonya itu juga mempertanyakan kegagalan Junio.
            “Sepertinya event ini kurang memfasilitasi para model dari agensi baru. Huh, apa-apaan itu? Masa zaman sekarang masih membatasi bagi pemula. Kapan bisa maju?”
            Andy tak mengira pikiran Junio sedangkal itu. Apa Junio pikir Andy mengejarnya lagi?
            Dia teringat seseorang, diambilnya ponsel dari dalam tas.
            Saat telpon tersambung, tanpa mengucapkan “Halo” atau salam, Andy langsung berkata. “Fiki! Lo bilang sama temen lo itu. Gue nggak bakal nyerah buat jadi yang terbaik. Gue bakal tetap bisa hidup di dunia entertaintment tanpa bantuan dia!”
            Tubuhnya bergetar saat mengucapkan itu. emosi yang terpendam lama membuatya tak sanggup berdiri.
            Dia terduduk di lantai. Menangis.
            Dibantingnya ponsel ke seberang ruangan. Tak ragu lagi, ponsel itu hancur. Andy tak peduli, dia bisa minta satu yang baru pada mamanya, kapan pun.
            “Junio, lo tega...”
            Diucapkannya berkali-kali nama itu. Sudah lama dirinya ingin menghapus sebuah nama yang telah meninggalkannya. Namun, tetap tak bisa. Kalau bisa dibilang, dia mencintai orang yang salah, dengan cara yang salah, namun tak mampu berubah.
            Sekarang dia lelah, tangisan dan amarah hanya membuat energinya terkuras.
            Andy terlelap di lantai hingga pagi menjelang.
 

Pertemuan Cinta Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos