Sunday, January 1, 2012

Bab 1 I’M SINGLE BUT NOT HAPPY

Posted by Jason Abdul at 9:07 PM

Setiap kali ingin menghilangkan stress, Rasti ngidam makan es krim. Biasanya dia membeli es krim vanila dengan topping coklat dengan hazelnut. Biasanya tiga scoop, kadang memesan dua kali. Dia tidak peduli dengan berapa kalori yang dikonsumsinya. Untung saja dia Gemini yang biasanya beruntung memiliki badan yang jarang bermasalah. Berat badannya mungkin bertambah, tapi sedikit sekali, setiap makan kuliner yang dihindari kala wanita diet.
    Sebagai penggemar es krim itu pula dia mengenal sebuah toko roti yang berada di salah satu kompleks pertokoan. Toko itu menempati sebuah ruangan mungil dengan kaca transparan yang memajang roti-roti penggugah selera serta gambar-gambar yang menempel memperlihatkan apa saja yang bisa diperoleh dari sana. Roti, cake, coklat, es krim, yoghurt, dan yang manis-manis lainnya, seperti permen. Menitikkan air liur pun tak cukup jika tak membeli. Harganya tak terlalu mahal karena lokasinya memang bukan wilayah elit.
    Saat kita memasuki toko, pintu dibuka tanpa memerlukan tenaga yang besar. Gemerincing bel yang tergantung di atas pintu akan memberitahu pelayan di toko mengenai kedatangan kita. Sapaan hangat dari pelayan, senyuman penuh, akan memberi kita pada suasana pelayanan ekstra, sesuatu yang sewajibnya juga dimiliki layanan pemerintah. Pelayan akan bertanya apa yang kita butuhkan, memberi saran-saran dan dengan sabar menanti apa pun pilihan kita. Permintaan pun dilaksanakan dalam waktu yang tak perlu menunggu lama. Menunggu pun tak masalah, karena wangi semerbak roti dan kue menguar kemana-mana di sana. Membuat kita betah berlama-lama.
    Toko Roti Paradissa. Dimiliki seorang yang masih muda. Dia mewarisi toko itu dari sang kakek. Dan pengelolaannya semakin prima karena pria itu memang sangat mencintai apa yang dilakukannya. Bahkan tak jarang dia mempunyai jadwal shift sendiri. Dia menjadi pelayan bagi tokonya.
    Suatu kali, dia bertemu dengan takdir hidupnya saat dia sedang melayani.

“BISA kan kamu nggak marah-marah terus?”
    Mata Rasti langsung membesar setelah mendengar kata-kata yang terlontar dari pacarnya. Mulutnya merapat dan melebar menjadi senyuman. Sinis. Salah satu ujungnya lebih tinggi daripada yang lain. Kemudian dia tertawa.
    “Apa aku nggak punya alasan kuat buat marah?” balasnya dengan teriakan tak kalah kuat.
    Dani, pria dihadapan Rasti, benci sekali jika harus menghadapi cewek yang berani padanya. Baginya sosok wanita itu harus tunduk. Marah boleh, tapi jangan melawan dia. Ingin rasanya Dani menghapus senyuman itu.
    Apalagi setelah Rasti melakukan hal yang sangat buruk. Dia menampar seorang perempuan yang telah menghina dirinya. Rasti lebih kesal karena cewek itu mengaku sebagai pacar Dani pula.
    “Kamu cewek tapi kasar!” desis Dani.
    Suasana di mobil itu menjadi panas meski AC mobil tak henti memberi nuansa dingin.
    “Dan kamu cowok bajingan yang sama banjingannya dengan cewek itu. Tukang selingkuh!”
    “Udah dibilang jangan menuduh sembarangan.”
    Kini Rasti membuka mulutnya. Mengangga. Dia benar tak habis pikir kenapa bisa jadi pacar cowok ini. Dani ahli sekali memutarbalikkan fakta dan membuat dia sebagai korban. Hebat!
“Aku udah lihat dengan mata kepalaku sendiri dodol! Kalian pelukan itu apa? Ganti cara salaman? Mesra amat!”
“Dear, please….,” sekarang kayaknya Dani melancarkan senjata lain. “Setiap kali kamu berbicara seperti itu kayaknya aku udah lakuin hal buruk banget. Ayolah…, Kami Cuma teman. She need a hug to make her feel better. Dia baru aja kemalangan…”
“Nice reason, Dan. Kamu juga ngasi kesempatan buat dirimu untuk menikmati. Aku tahu itu.”
Keduanya saling menatap. Menilai dalam pikiran masing masing petimbangan apa yang akan mereka lakukan. Pilihan menjadi dilema saat diri merasa benci tapi juga sayang, dalam waktu bersamaan.
Hanya logika bahwa kancil pun tak mau jatuh untuk yang ketiga kali menjalar di otak Rasti. Dia lelah. Tak hanya kali ini saja Dani tertangkap basah sedang bermesraan dengan cewek lain. Belum lagi gosip sana sini dari teman-temannya yang sempat tanpa sengaja melihat Dani menggandeng cewek lain.
Dasar playboy, hati cewek dia kira apa? Mainan?
“Aku udah selesai marahnya.”
Secercah senyum menyeruak di wajah Dani. Dia hendak memberi pelukan pada Rasti. Tuh, kan, cowok itu “ramah” banget, rajin menjamah!!
“Aku juga udah selesai berhubungan sama kamu, Dan.”
Oke, Rasti merasa dia masih kelas dua SMA. Duduk bersebelahan dan bilang kalau mereka putus, dengan kosakata yang disesuaikan.
“Dearest…, jangan coba—…” Dani ingin meraih tengkuk Rasti, tapi cewek itu menepis tangannya.
Rasti menggeleng. “Aku nggak mau lagi main-main. Aku udah nggak remaja lagi untuk lakuin hal-hal yang nggak ada gunanya, hanya biar kamu nggak melirik cewek lain. Komitmen, Dan. Itu yang kamu belum pelajari.”
“Aku bilang kamu nggak punya hak buat mutusin kita secara sepihak.”
“Ya, aku bisa. Aku nggak selemah yang kamu bayangkan. Aku juga baru tahu dari teman lamamu apa yang kamu lakukan pada mantan-mantanmu. Kamu cepat melupakan mereka. Aku harap kamu bisa melupakan aku dalam hitungan hari… atau mungkin detik.”
Rasti mengambil tas kerjanya, kemudian keluar dari mobil yang menyesakkan dadanya itu.
Tak lama, jendela pintu mobil terbuka.
“Kamu bakal menyesal, Rasti.”
Rasti tersenyum. “Mungkin. Tapi aku nyaranin aja, Dan. Kamu memang menarik dan bisa dapetin cewek mana saja. Tapi kami para cewek bisa belajar bahwa indahnya rupamu tidak menjamin hatimu juga baik. Aku nggak tahu sampai kapan kamu bakal mempermainkan hati para wanita… aku harap kamu jera suatu saat nanti.”
Rasti melangkah ke trotoar, di sana dia menghentikan sebuah taksi dan pergi pulang.
Dibelakangnya dia sempat mendengar Dani meneriaki dia dengan kata-kata yang sangat merendahkan kaum perempuan.
Hati Rasti teriris.


RASTI tidak langsung menuju rumahnya. Dia sudah titip pesan pada adiknya untuk mengatakan pada orangtua mereka kalau Rasti akan pulang lebih lambat. Dia perlu waktu sendiri. Waktu untuk memikirkan tentang kebodohan yang dia lakukan.
    Dia sudah mau masuk umur 28 tahun, tetapi track record kehidupan cintanya bergitu menyedihkan. Ditiliknya masa lalu yang tak jauh-jauh dari kisah dikecewakan pria. Suck. Apa Tuhan perlu memberinya pelajaran untuk berhenti mencoba menjalin hubungan dengan pria brengsek?
    Dia memang bego soal memilih pasangan hidup. Dia cewek korban sinetron yang percaya bahwa pria terbaik untuk wanita adalah yang trendi, selera bagus dan sadar fashion, agak terkesan liar, dan romantis. Nyatanya rayuan gombal kelapa saja yang dia peroleh. Selingkuh pun jadi bumbu hubungan. Rasti kesal, karena dia tak mau diduakan.
    Dani, salah satu cowok menyebalkan yang dia pernah pacari. Memang sih, Rasti menyesal juga memutuskan Dani, dia jadi tak bia menatap wajah tampan cowok itu lagi, tapi dia tak ada bedanya. Guilty pleasure itu harus dihentikan biar otak Rasti sadar kalau dia butuh istirahat dari semua masalah cinta-cintaan ini.
    Kadang, Rasti tertantang untuk menaklukan pria yang memang punya pengalaman mengecewakan mereka. Hanya karen ingin tahu apakah dirinya cukup menarik atau tidak.
    Kenapa pakai acara nangis-nagisan segala sih?
    Air mata, oh, air mata. Penting ya melepas kepergian Dani dengan membuat mata sembab? Kayaknya Rasti memang butuh sesuatu untuk dimakan. Tiba-tiba dia lapar.
    Malam itu dingin, angin bertiup kencang sekali. Biasanya kota ini selalu panas dan bikin gerah. Namun, karena iklim semakin tak jelas, sekarang terjadi angin kencang tapi kering. Entahlah, Rasti bukan karyawan BMG, mana dia peduli.
Dia berhenti di depan sebuah tokto roti. Paradissa. Difikir-fikir nama itu sepertinya berasal dari kosakata bahasa Inggris: Paradise, yang berarti surga. Rasti melirik etelase di balik kaca toko yang memajang black forest, kue tart keju dan kue yang dia tak tahu namanya. Sangat menggugah selera. Tanpa pikir panjang, lengannya sudah membuka pintu toko.
Bel bergemerincing.
Pelayan toko itu berdiri dengan sempurna. Rasti melihat dengan intens pada rahang kokoh dan jenggot yang belum sempat di cukup. Mungkin jika dia meletakkan tangannya di sana akan ada sensasi geli sekaligus menusuk-nusuk. Kacamata pelayan itu pun membingkai mata yang teduh, tampaknya bisa memberi perlindungan bagi wanita dan peringatan bagi pria bahwa dirinya tak bisa dipermainkan.
Ouch, ada sesuatu di perut Rasti. Kini dia merasa jadi seorang yang begitu mudah suka dan melupakan mantannya yang belum genap sehari ditinggalkannya. Pandangan pertama dengan pelayan ini malah memberinya sensasi kalau dia merasa kesepian dan butuh dia. Rasti mau sendirian tapi dia tidak kesepian.
“Selamat datang di Paradissa, mbak. Silakan menikmati hidangan kami. Bau harum yang nikmat memang berasal dari makanan enak dan berkualitas terjamin.” Pelayan itu memberitahunya.
Suaranya pun sangat seksi, pikir Rasti.
Rasti bingung sendiri. Dia menangis. Begitu saja. Perasaannya yang sedang tak karuan dan butuh pelampiasan. Tapi seharusnya dia lihat situasi dulu.
Seseorang kemudian mengulurkan tangannya, dan memberikan sebuah sapu tangan bewarna putih.
Rasti mendongak, menatapi pelayan itu sudah berada di depannya.
“Hapus saja air matanya dengan ini mbak.”
Rasti menerima saputangan itu.
“Jadi mbak mau pesan apa?”

Di depan toko roti masih lalu lalang beberapa orang. Jam sudah menunjukkan pukul 9.30 malam. Sedikit demi sedikit toko mulai tutup. Kawasan pertokoan itu memang bukan daerah yang banyak dikunjungi konsumen di malam hari. Rata-rata jam sebelas semua toko sudah tutup.
    Rasti memilih duduk di dalam toko sambil menikmati es krim dari gelas yang besar. Saat dia menyendok topping lelehan coklat, pandangannya tidak fokus ke mana-mana. Dia hanya termenung menatapi refleksi dirinya di pilar restoran.
    Wajahnya cantik, dengan kulit yang mulus. Rasti selalu menjaga penampilannya karena itu salah satu cara dia menghormati dirinya. Dia mempunyai selera bagus dalam memilih pakaian. Dan karirnya pun cemerlang. Sebagai seorang senior account officer di salah satu cabang bank swasta, dia sudah memiliki penghasilan yang cukup mapan dalam menjalani kehidupan ini walaupun belum menikah sampai sekarang..
    Menikah? Dia memang sering sekali berbincang hal itu dengan teman-temannya, orangtua, bahkan chatting dengan orang yang baru di kenal di internet (kadang mengobrol hal personal dengan orang yang tidak dikenal membuat kita lega berekspresi). Salah satu proses kehidupan itu nggak bisa dianggap hal yang mudah, tapi sulit pun belum tentu.
    Apa sudah saatnya dia mencari suami, bukan pacar lagi? Rasti merasa dirinya sudah lelah dengan kegiatan pacaran. Dia butuh hubungan yang pasti.
    Rasti memiliki dua orang saudara, seorag kakak laki-laki dan adik perempuan. Sang kakak sudah tujuh tahun menikah. Rio, nama kakaknya, menikah di usia 27 tahun, dan pernikahannya bahagia. Bahkan Rio sering berkelakar kalau kenapa dia tidak menikah lebih cepat.
    “Menikah itu sepuluh persen enak, dan sembilan puluh persen uenaaak banget!”
    Masa, sih? Tapi kalau dilihat bagaimana mereka berdua saling mencintai, Rio dan istrinya, selalu membuat Rasti iri. Apalagi jika keduanya kompak dalam mengurus anak mereka yang baru masuk ke fase lagi bandel-bandelnya.
    Rio sudah sering menasihati Rasti agar mulai mencari jodoh.
“Umur 28 tahun itu sudah kelewat telat bagi seorang perempuan,” kata Rio suatu ketika mereka berkumpul sekeluarga. Dia meilirik istrinya yang menikahinya saat umur 24 tahun.
Rasti hanya mendengarkan, tapi tidak merenunginya dalam hati. Memangnya pernikahan ditentukan oleh umur? Ini masalah mental dan hati. Kalau tidak siap dan belum ada yang cocok mau bagaimana?
    “Kalau nunggu siap, mau sampai kapan, neng?” ledek Rio. Dia coba mengingat kejadian apa saja yang membuktikan kalau Rasti sering berubah pendirian. “Kamu itu sering bingung milih baju apa untuk hari ini, bingung mau ngapain kalau akhir pekan. Dulu kamu bolak-balik ngecek surat lamaran pekerjaan hanya karena nggak yakin semua baik-baik saja.”
    “Itu yang namanya perfeksionis,” jawab Rasti asal.
    “Perfeksionis itu nggak ada, Ras. Diatas langit masih ada langit. Walau kita udah lakuin  kegiatan dengan baik, suatu saat kita pasti bisa lakuin dengan lebih baik lagi.”
    Rasti menyendok dalam-dalam ke mangkuknya. Kemudian mengarahkan sendok besar itu ke mulutnya. Kesal kalau mengingat-ingat petuah kakaknya.
    Sedangkan Riana, adiknya sudah memiliki pasangan yang klop selama empat tahun. Katanya nunggu kakaknya nikah dulu baru mereka. Tapi akhir-akhir ini Rasti sering diteror ibu mereka karena diam-diam Riana meminta orangtua mereka mendesak Rasti menikah. Dia nggak mau melangkahi Rasti.
    Wow!
    Dia butuh pertolongan!

Pria itu menatap wajah cantik seorang wanita yang duduk di salah satu bangku Toko Roti Paradissa. Hanya mereka berdua di situ, dengan kondisi yang sepi. Tenang. Hanya kadang-kadang suara dentingan sendok dengan mangkuk es krim yang mengisi kekosongan. Sekitar setengah jam lagi toko harusnya sudah tutup, tetapi perempuan itu masih duduk disana.
    Dia sedang kesal tampaknya, pikir si pelayan toko yang sekaligus pemilik toko roti ini. Dia sudah sering melihat orang-orang datang ke tokonya dengan perasaan kesal. Mereka mengharapkan segelas coklat panas, kue atau es krim dapat meredakan stress mereka. Mereka mengharapkan hormon endorphine dapat diproduksi. Kadang lucu juga ada perempuan yang mengomel saat memesan makanan di sini. Kemudian saat mengonsumsi coklat dia sebal sama dirinya sendiri karena sudah memasukkan ‘racun’’ bagi program diet mereka. Duh! Perempuan memang rumit.
    Dia juga tahu selain makanan, pelampiasan stress para wanita adalah shopping. Pelayan itu jadi penasaran apakah wanita dihadapannya memiliki sifat shopaholic pula? Ditiliknya dari gaya berpakaian cewek itu… memang ada potensi untuk jadi itu. Sebagai seorang pria, dia memang sudah memaklumi hal tersebut, karena dirinya pun adalah seolah shopper, tapi bedanya untuk pekerjaan.
    Junio, seorang pria berumur 30 tahun tapi masih lajang. Dia mewarisi toko roti Paradissa dari ibunya yang tak sanggup lagi mengelola toko ini sejak sekitar dua tahun yang lalu. Sedangkan ayahnya memilih meninggalkan mereka saat Junio masih SMP.
    Pekerjaannya sebelum ini sudah sangat mapan, dia seorang brand manager di toko pakaian elit di salah satu mal besar di Jakarta. Tugasnya adalah melakukan pembelian barang-barang yang akan dijual kembali di toko mereka. Pembelian selalu dilakukan ke luar negeri, Jepang dan Italia, kadang Jerman. Memang toko mereka memiliki hubungan dengan brand bernama Kieree, yang memiliki cabang di negara-negara tersebut. Selain itu, dia berkewajiban untuk melakukan pelatihan bagi karyawan toko, membantu mereka mempelajari produk, cara melayani konsumen dengan baik, dan menanggulangi masalah-masalah di toko.
    Dia teringat, karena pekerjaannya inilah dia bertemu dengan seseorang yang memberinya sebuah kenangan indah… tapi semua sudah berlalu menjadi hal yang tak ingin diulangnya lagi.
    Ditepisnya kenangan itu dan kembali pura-pura membersihkan konter. Sebenarnya tak ada lagi yang perlu dibersihkan. Dia sudah siap menutup toko ini, pergi ke lantai dua dan tidur sampai pagi. Besok dia harus rapat dengan manager sebuah perusahaan pemasok aksesoris dari Sumatra, jadi dia harus bangun pagi dan kembali ke rumahnya. Perjalanan itu kira-kira memakan waktu sejam, jika tidak macet.
    Jadi, mau sampai kapan wanita itu ada di sini?
    Junio keluar dari konter dan berjalan ke arah wanita itu. “Maaf, mbak… toko mau ditutup.”
    Wanita itu menatapnya. Junio merasakan sesuatu yang aneh di dadanya.

Rasti menatap sosok di depannya. Wajahnya cemberut dan semakin cemberut saat dia merasa diusir. Sebentar lagi dong! Aku masih mau merenung.
    Tapi dia malah berdiri seperti robot, pergi ke luar. Sampai di luar setelah gemerincing bel tidak terdengar lagi, barulah disadarinya hari sudah larut malam dan dia tidak membawa mobil. Mau naik taksi? Daerah sini sudah semakin sepi dan jarang ada taksi melintas. Dia mengambil ponsel dari tas kemudian mengirim sms pada adiknya agar menjemputnya. Rasti mengetik alamat yang juga tertera di bawah nama toko roti.
    Kemudian dia menunggu.
    “Ngapain malam-malam banget baru sms!” kata adiknya di SMS balasan. Rasti mendengus.
    “Tolong jemput aja, nggak usah bawel. I got a bad day!” ketiknya untuk membalas SMS Riana.
    “Tunggu,” balas adiknya.
    Rasti yakin Riana belum tidur karena adiknya itu akhir-akhir ini tak bisa tidur karena masalah pekerjaan. Deadline terus hampir setiap hari.
    Detik demi detik makin bergulir. Sekitarnya mendadak sepi, hanya ada sebuah mini market yang buka 24 jam.
    Meskipun suasana didalamnya sudah gelap, Rasti iseng-iseng memotret bagian depan toko roti itu. Dia berencana ingin mengupload di akun jejaring sosialnya.
    Sekitar sepuluh menit dilihatnya sebuah mobil melintas. Riana muncul dengan wajah kesal bercampur stress.
    “Emang kakak aja yang punya masalah?”
    Sepanjang perjalanan mereka curhat mengenai apa yang mereka alami.

“Selamat pagi, Bu Rasti,” sapa satpam bank tempat Rasti bekerja saat dia berjalan melewati pintu masuk.
    “Pagi, Pak. Apa kabar anaknya? Udah sehat?”
    “Alhamdulillah sudah bisa ke sekolah lagi, bu. Terima kasih atas bantuan kemaren ya bu?”
    Rasti memang sempat membantu Pak Parjo, satpam yang ditemuinya tadi, yang membutuhkan biaya untuk pengobatan anaknya. Sekarang mereka semakin akrab saja.
    Rasti mengangguk dan tersenyum. Kemudian kembali melanjutkan perjalanan ke ruangan kerjanya.
    Sebenarnya, sampai sekarang dia belum bisa mengembalikan suasana hatinya setelah putus dari Dani. Tadi malam dia dinasihati habis-habisan oleh adiknya, untung ibu dan bapaknya tidak ikut nimbrung, pasti akan semakin membuat Rasti pusing dengan rongrongan soal cari calon suami, bukan pacar.
    Ya, dia tahu kalau umurnya sudah “menuju lewat masa” dan bisa-bisa dianggap perawan tua. Kalau belum jodoh mau bagaimana? Pasangan yang kita nikahi kan harus dikenal luar dalam, punya nilai bibit bebet bobot dan segala macam.
    Eh, ibunya malah menyodorkan beberapa nama cowok yang dipikirnya pantas mendampingi Rasti.
    Rasti jadi kesal sendiri. Di jodohkan? Eww… Siti Nurbaya tuh!
   
“Bu Rasti, para account officer yang jadwal pelaporan pada ibu sekarang sudah menunggu di depan ruangan ibu,” kata sekretaris Rasti melalui interkom.
    “Suruh masuk satu-satu ya, Nit.”
    “Baik, bu.”
    Kemudian seorang pria masuk. Dia bernama Michael dan Rasti cukup jadi salah tingkah. Pria itu begitu muda dan menarik. Dalam hati Rasti tertawa, dia tak ingin menikah dengan pria yang lebih muda.
    Pelaporan dari para account officer berlangsung kira-kira dua puluh menit. Selajutnya mereka harus mengetik laporan tertulis dan diberi deadline.
    Iseng-iseng Rasti bertanya setelah mereka selesai bicara mengenai pekerjaan.
    “Kamu punya saudara cowok?”
    Michael langsung heran ditanya hal itu. Dia mengangguk.
    “Lebih tua?”
    Michael mengangguk lagi.
    “Pasti ganteng, ya? Kalau begitu kamu silahkan lanjutkan pekerjaan lagi, Michael. Terima kasih.”
    Dengan masih diliputi keheranan, Michael keluar dari ruangan Rasti.
    Pada account officer yang lain, Rasti juga menanyakan hal yang cukup aneh. Seorang karyawan wanita sempat mengira Rasti tidak laku-laku karena bertanya bagaimana pendapatnya tentang perjodohan.
    “Kalau cowok yang dijodohkan dengan kita itu sesuai kriteria kenapa tidak. Kadang jodoh pun memang harus ditemukan malalui proses ini. Paling tidak kita masih punya hak untuk memilih. Kalau terpaksa ya jangan bu….”
    Ke karyawan lain yang sudah menikah, Rasti bertanya, “Kamu pernah nggak merasa menyesal dengan  penikahanmu?”
    Karyawan wanita yang lebih muda tiga tahun dari Rasti itu mengangguk. “Malah seminggu sebelum menikah saya sempat ingin kabur dari rumah karena hati saya ragu-ragu tentang pasangan sendiri. Padahal kami sudah pacaran dua tahun.”
    Rasti bertanya pada semua orang yang ditemuinya.
    “Oh begitu, terima kasih, ya. Cerita kamu menarik.”
    Otaknya sekarang dipenuhi tentang pertimbangan menikah atau tidak. Sedangkan dia tidak sadar kalau dirinya sudah jadi bahan pergunjingan.
    “Padahal cantik tapi masih belum nikah juga umur segini.” Komentar seorang dari balik punggung Rasti dan dia mendengarnya.
    Walau pun begitu Rasti cuek saja.

Rasti membuat janji dengan teman kuliahnya. Namanya Maria dan dia memiliki usaha yang sangat unik. Kafe Jodoh. Walau pun sebenarnya aneh sekali menamakan kafe seperti itu. Pasti isinya orangorang “hopeless”.
Rasti memandang email dari Maria berisi promosi mengenai kafe itu. Karena sedang stress dan berfikir bahwa dia harus melakukan sesuatu yang baru dan beda, atau mengalihkan perhatiannya dari meratapi nasib, terlintas di pikirannya untuk mencari tahu seperti apa kafe jodoh milik Maria. Setelah jam kantor usai, dia pun pergi kesana.
Jadi, peraturannya begini, di kafe ada beberapa bilik tanpa tutup dengan sofa setengan lingkaran dan meja bundar. Setiap bilik yang bernama Romantic Room itu, peserta wanita akan duduk, menunggu para peserta pria datang. Setiap pria yang masuk akan diberi kesempatan mengobrol sepuluh menit. Mereka harus memanfaatkan waktu tersebut untuk bertanya ini itu. Setiap wanita berhak pula bertanya. Selanjutnya mereka akan makan dan minum bersama-sama. Kemudian diakhiri dengan acara memilih yang disukai. Ada seorang presenter untuk memandu mereka.
Menurut Maria, sudah banyak pasangan yang menjalin hubungan serius berawal dari pertemuan mereka di kafe ini.
Wow. Tak ada salahnya mencoba, pikir Rasti.
Rasti deg-degan setiap kali seorang pria masuk ke biliknya. Yah, dia memang pernah punya pikiran kalau pria-pria yang mencari jodoh seperti ini, atau jalur lain seperti koran dan internet, cenderung masuk kategori tak laku. Bahkan dia takut-takut kalau salah satu peserta adalah seorang gay yang ingin hidup normal dengan menikahi wanita tapi butuh seorang wanita untuk mengetes apakah dirinya mampu.
Kembali Rasti mengingatkan dirinya bahwa dia datang ke sini sekedar iseng. Rencananya pun Rasti tidak akan ikut di sesi acara terakhir. Dia tidak ingin memilih siapa-siapa atau dipilih siapa-siapa.
Sampai seorang pria yang pernah bertemu sekali dengannya masuk ke bilik.
Pelayan itu.
Wow! Rasti tersentak. Dia memegangi gelasnya untuk mengurangi kegugupan. Dia lebih gugup bertemu pria ini daripada dengan peserta yang lain.

Junio sangat ingin dia tidak pernah masuk ke bilik tempat wanita itu duduk. Seharusnya dia tidak menerima ajakan temannya untuk datang ke sini. Pertemuan ini seharsunya tak ada. Dia merasa malu dengan wanita yang namanya pun dia tak tahu. Apa yang akan wanita itu pikirkan tantang dirinya?
    “Hai,” sapa Wanita itu. “Aku Rasti. Eee… umurku dua puluh delapan. Itu jujur.”
    Junio merasa wanita itu lebih muda lima tahun. Suara wanita itu cukup enak di dengar. Junio menilai-nilai dalam hati, sepertinya selain manja, cewek ini suka panik sendiri. Lihat saja tangannya yang tak bisa diam. Apa Junio membuatnya grogi?
    “Saya Junio. Tiga puluh tahun.”
    Sepertinya mereka cocok, paling tidak dari segi umur.
    “Aku kerja di sebuah bank. Senior account officer. Bukan workaholic sih, tapi aku peduli dengan karirku. Jadi ibu rumah tangga bukan bayanganku tentang masa depan. Kalau punya anak, aku sangat ingin. Dan aku pembelajar yang baik. Aku mencari calon suami bukan pacar..errr...”
    Rasti heran sendiri karena dia mengatakan hal yang lebih menggambarkan dirinya pada Junio daripada ke pria lain. Apa dia jadi berubah pikiran dan diam-diam hatinya ingin memilih seseorang yaitu pria di hadapannya?
    “Kalau saya, bekerja sebagai brand manager di sebuah dept store. Toko kami menjual pakaian pria, sepatu dan tas kerja. Saya juga mencari seorang istri… yang harus peduli dengan keluarga walaupun serius mengejar karir.”
    Junio mengatakan semua dengan yakin, namun Rasti malah melihat ada sesuatu yang ganjil.
“Bohong,” kata Rasti.
    Junio kaget karena ditodong begitu.
    “Anda kan pelyanan di sebuah toko roti. Sekarang malah mengaku jadi manajer di sebuah toko.” Rasti sudah terbiasa menghadapi orang yang berbohong, karyawannya banyak yang suka bohong saat pelaporan, tapi jujur dia tidak melihat raut wajah penipu sedikit pun dari Junio.
    Junio mengambil dompetnya. Ditariknya satu kartu nama, dan satu kartu yang lain. Diserahkannya pada Rasti. Perempuan itu membaca apa yang tertera di sana. Di kartu yang pertama bertuliskan: Junio Adihastoro, Brand Manager Kieree. Dan yang satu lagi: Junio Adihastoro, Owner of Paradissa Bakery.
    Rasti menyesal sudah menuduh pria itu berbohong.
    Tiba-tiba bel pemberitahuan bahwa sepuluh menit sudah habis berbunyi. Dengan sopan Junio permisi dari hadapan Rasti. Junio membungkuk sedikit, matanya terpejam. “Terima kasih.”
    Rasti hanya bisa tertegun, dadanya lebih bergetar setelah menerima perlakuan seperti itu. Junio sedikit pun tidak tampak tersinggung padahal telah dituduh tanpa bukti seperti itu.
    Ingin Rasti pergi dari sini dan meminta maaf pada Junio, kalau perlu mengajak pria itu pergi bersama dari kafe ini. Rasti penasaran dengan sosoknya. Sedikit pun dia tidak bisa fokus dengan pria lain yang masuk setelah Junio.
    Rasti tidak jadi pergi, dia merasa aneh sendiri karena tetap bertahan di kafe itu untuk sesi terakhir. Maria mendekatinya. Pemilik kafe ini berpakaian ala gipsi, katanya dia juga punya kemampuan meramal.
    “Bagaimana Say?” tanya Maria duduk di sebelah Rasti.
    “Yah, iseng-iseng aja… aku baru putus juga, nggak mau lah langsung nyari pengganti.”
    “Why not? Nggak ada salahnya, kan, dear?” Maria meraih tangan Rasti. “Coba aku lihat tanganmu.” Kemudian dia melihat apa yang tersirat di sana. Rasti cukup geli melihat ekspresi temannya yang sangat serius itu. Rasti 50:50 dalam hal mempercayai peramal.
    Maria tersenyum kemudian. “Kamu akan bertemu dengannya malam ini.”
    “Apa?”
    “Jodohmu.”
    Rasti tertawa. Sekarang dia benar-benar geli. Dia ingin mempercayai itu, tapi baginya ramal-meramal hanya untuk kesenangan. Jangan pernah tertalu percaya pada peramal, nanti sakit hati sendiri karena kecewa.
    “Jadi, sekarang aku ada di waktu yang tepat datang ke kafemu, bertemu dengan pria-pria yang salah satu dari mereka adalah jodohku?”
    “Yup. Dear, kamu boleh percaya atau tidak. Jodoh memang urusan Tuhan, tapi kalau kamu percaya ada jodohmu di sini, Dia pasti bantu. Kulihat dan kudengar, kisah kamu yang nggak terlalu bagus dengan mantan-mantanmu karena masalah ekspektasimu. Nggak ada yang sempurna, Rasti. Kamu perlu coba percaya aja pada mereka…”
    Rasti pernah mendengar hal itu sebelumnya.
    “Menikah, itu cara yang paling ampuh untuk menguji apakah hubungan itu punya nilai.”
    “Aku memang mau mencari pasangan hidup, suami, Maria. Tapi kalau belum ada yang cocok dan batin belum siap, gimana dong?”
    Maria menggenggam jemari tangannya.
    “If the life is an adventure for us, the marriage is more interesting.”
    Rasti menggeleng. “Nggak, aku belum siap untuk pertualangan yang lebih menarik itu. Aku belum berpengalaman.”
    “Kamu hanya perlu memulainya. Dan ingat, nggak ada orang yang baru pertama menikah sudah berpengalaman. Trust someone to be your husband, dear.”
    “Tapi…,”
    Maria bangkit. “Dia ada di sini. Kamu percaya saja karena dirimu sendiri tak bisa berbohong. Ada salah seorang yang menarik diantara pria-pria itu, kan?”
    Rasti ingin mengatakan “ya” dan memberitahu alasannya untuk bertahan sampai tengah malam ini.
    Junio, nama itu melekat di hati Rasti… mungkin dia ingin mengucapkan permintaan maaf karena telah menuduhnya yang bukan-bukan?
    “So, acara couple match-nya udah mau di mulai. Dengar saja kata hatimu. Then, trust him.”

Sudah beberapa orang dipanggil dan mendapatkan pasangan. Beberapa yang lain kurang beruntung malam ini karena tak ada yang tertarik. Kemudian, nama Junio dipanggil ke atas panggung.
    “Junio, tiga puluh tahun, manajer sebuah toko pakaian pria. Jika para wanita di sini tertarik denganya silakan naik ke atas panggung.” Suara presenter itu bergema di telinga Rasti.
    Seorang wanita berambut panjang dan seorang lagi yang sepertinya berumur agak tua maju ke depan. Rasti sungguh tak rela jika salah satu dari mereka menjadi pasangan Junio.
    Rasti merasa konyol, dia berulang kali menggerakkan kakinya agar melangkah ke atas panggung dan berulang kali pula mengurungkan niat. Dia menginginkan Junio… ingin mengenal pria itu lebih dekat. Dia ingin Junio sebagai jodohnya di malam ini. Then, she will trust him.
    “Masih ada lagi yang ingin mengenal Junio lebih jauh?” tanya presenter lagi. Pandangannya berkeliling ke seluruh ruangan. Kemudian ada seorang yang mengangkat tangannya. “Ya, silakan mbak! Silakan maju ke atas panggung!”
    Itu Rasti!!! Tanpa sadar tangannya mengacung ke atas. Terlanjur dipanggil, dia naik ke atas pentas.
    Junio sungguh tak mengira dia akan beruntung mendapatkan wanita ini. Semenit tadi dia pasrah tidak akan memilih siapa-siapa. Dia, tanpa tahu perasaan tiu datang dari mana, merasa dirinya ditakdirkan untuk Rasti.
    Rasti maju dan saat matanya bersirobok dengan Junio, bibirnya melengkungkan senyuman.
    Pertemuan ini, pertemuan yang kedua bagi mereka… tapi bagi mereka pertemuan ini adalah pertemuan cinta.
    Junio dan Rasti pulang malam itu dengan hati berbunga-bunga. Esoknya mereka kembali berjanji untuk bertemu.

1 comments:

KamilvQ on January 4, 2012 at 4:06 AM said...

Ralat : "Dia, tanpa tahu perasaan >>> tiu <<< datang dari mana,"

Post a Comment

 

Pertemuan Cinta Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos