Sunday, January 1, 2012

Bab 8 Conquer The Love!

Posted by Jason Abdul at 2:14 PM
Pernikahan antar agama kadang ditentang. Alasannya hanya karena bagi sebagian umat beragama, penganut agama yang berbeda adalah orang kafir. Beberapa malah mempunyai ajaran kalau yang kafir pantas mati. Kenapa pula harus menikah dan melahirkan anak dari rahim yang berbeda keyakinan, hal yang mendasar dari cara hidup? Namun, tak sedikit pernikahan yang ini bertahan lama. Mereka bisa menjadikan perbedaan sebagai sarana untuk belajar menghargai pendapat orang lain, terlepas apakah akhirnya mereka menyamakan agama atau tidak.
            Pernikahan antar saudara memang dilarang. Alasannya anak mereka tidak akan luput dari segala kekurangan dan keganjilan. Incest, itu istilahnya. Inilah cinta yang tak perlu dipertahankan.
            Pernikahan yang dilarang orangtua membuat pasangan yang dimabuk asmara tak peduli lagi tentang konsep berbakti pada orangtua. Mereka lebih suka bersusah-susah dalam cinta dari pada hidup berkecukupan bersama orangtua. Cinta itu perlu dipertahankan? Entahlah, mungkin berharga jika pasangan ini mampu bertahan.
            Pernikahan sesama jenis? Beberapa negara sudah merancang undang-undang yang membolehkan gay dan lesbian menikah, seperti Belanda yang jadi ikon surga gay di dunia. Namun, di Indonesia hal ini masih ganjil. Perlu dipertahankan? Mungkin, jika suatu saat nanti negara ini menerapkan norma ala negara barat.
            Pernikahan seorang pria homoseksual dengan wanita heteroseksual. Perlu dipertahankan?
            Junio menjawab dengan yakin: YA!


Setelah permintaannya untuk bertemu Rasti ditolak oleh istrinya sendiri, Junio merasa hidupnya terpuruk. Tak ada yang bisa dia lakukan tanpa satu sayap patah dan hilang. Junio sengaja cuti dari kerjanya dan menyerahkan manajemen toko roti pada asistennya.
Junio bertahan tinggal di rumah Fiki. Sahabatnya juga telah membantunya mengurus masalah untuk pengadilan menuntut Andy. Sebenarnya Junio tak merasa ini diperlukan, tapi Fiki berkeras membawa Andy pada level jera karena tindakan tanpa pertimbangan itu. Fiki juga menggunakan pengaruh bisnisnya untuk meminta orang-orang penting dari media agar menghentikan pemberitaan tentang Andy dan Junio.
“Jadi, nanti lo harus ketemu sama Mas Chakra lagi,” kata Fiki, menyebut nama pengacaranya. Dia sudah merancang janji temu agar Junio bisa fokus pada persiapan pengadilan.
Junio menurut saja.
Melihat sahabatnya tidak bersemangat, Fiki bertanya kenapa Rasti masih belum ingin menemui Junio. Ini sudah sebulan setelah Andy tampil di TV. Berita tentang mereka pun dengan cepat semakin memudar karena nyatanya Andy hanyalah seorang pendatang baru di dunia hiburan, dan Junio bukanlah selebritis. Nilai berita mereka merosot cepat.
“Dia butuh waktu, Fik.”
Satu hal lagi yang Fiki herankan. Junio begitu patuh pada kata-kata istrinya dan tak ingin sedikit pun menginterpretasikan kalau Rasti ingin Junio berinisiatif memulai bicara.
“Gue tahu gimana sifat Rasti, Fik. Bagaimana pun gue lebih tahu tentang dia daripada siapa pun.”
Kalau sudah begitu Fiki tak bisa mendesak lagi.


Kandungan Rasti sudah memasuki akhir trimester pertama. Perutnya sudah mulai membesar dan membesar. Pakaiannya harus yang longgar. Setiap kali berganti pakaian dia teringat Junio. Pria itu yang menemaninya berbelanja. Baju ini yang dipilihkan oleh Junio agar Rasti tetap kelihatan cantik.
            Apa kabar Junio?
Rasti bertanya-tanya dalam hati. Rasa kangen itu selalu ada di hatinya, tak terbendung, tapi kekecewaan masih memberi goresan yang belum sembuh.
            “Kalau kamu tetap tidak memberi suamimu kesempatan berbicara, dia tetap tidak akan bisa memberimu kebenaran,” nasihat mamanya hampir setiap hari.
            “Setiap keluarga pasti memiliki konflik, Rasti.” Kali ini adalah nasihat ayahnya. “Tugas suami istri adalah menyelesaikannya dengan baik dan tuntas. Tidak membicarakannya hanya akan membuat hati tak tentram.”
            Ada kalimat aneh yang dibenci Rasti, tapi banyak yang mempercayainya: Pernikahan bisa bertahan dengan memanfaatkan sedikit kebohongan. Benarkah?
            Suatu hari, Fiki menemuinya tanpa diundang.
            “Rasti, aku ke sini bukan atas permintaan Junio,” katanya. “Keinginanku sendiri untuk menemuimu. Aku pun tak mau mencampuri urusan kalian. Aku hanya minta padamu... jangan membuat Junio terpuruk lagi. Dia sahabatku, dan dia sangat mencintaimu. Dia membutuhkanmu sebagai istri. Junio tak pernah mengkhanatimu. Dia tak pernah kembali berselingkuh dengan siapa pun. Aku menjaminnya, demi nama Tuhan.”
            Rasti hanya diam mendengar Fiki.
            “Dia ada di rumahku. Tenggelam akan rindunya padamu.”
            Rasti masih diam, namun air mata membasahi matanya.
            “Dia bertahan mematuhi ucapanmu. Dia tak meneleponmu jika tidak diminta, tak menemuimu jika tak kamu ingin.”
            Rasti tak sanggup melihat Fiki lagi.
            “Aku tahu kamu sangat mencintai dia.”
            Rasti mengiyakan di dalam hati.
            Kini, setelah hari berlalu menjadi satu bulan yang telah terlewati, Rasti selalu melihat telepon. Dia meragu. Dia ingin, tapi tak tahu apa yang akan dikatakannya nanti.
            Setelah sekian lama menimbang-nimbang, Rasti akhirnya mengangkat gagang telepon itu.

Tak perlu waktu yang lama bagi Rasti menunggu Junio mengangkatnya. Rasti malah mengira Junio selalu berada di dekat ponsel dan menantikan benda itu berdering.
            “Halo, Mas Junio?”
            Tidak ada obat yang lebih mujarab untuk menghilangkan kerinduan selain mendengar suara indah sang terkasih. Wajah Junio merona, senyum terukir, dan tubuhnya menghangat. Setelah sekian lama... akhirnya istrinya menelepon.
            “Aku cinta kamu Rasti. Sampai kapan pun,” kata Junio alih-laih mengucapkan ‘halo’ juga.
            Di seberang sana Rasti terdiam, bibirnya bergetar menahan sesuatu yang hangat dan basah tidak mengalir. Dia tahu kalau Junio mencintainya. Kali ini dia tak akan meragui.
            “Apa kabar Mas Junio?” Rasti mencoba nada suara yang datar.
            “Lebih baik setelah mendengar suaramu,” jawab Junio—jujur. “Bagaimana denganmu, Sayang?”
            “Syukurlah. Aku baik-baik aja,” kata Rasti—bohong.
            Perlahan-lahan Junio menanyakan anaknya. “Sudah tiga bulan lebih..”
            “Ya, sudah tiga bulan lebih, Mas...”
            “Apa dia sehat?”
            “Aku masih rutin cek ke dokter. Kata dokter dia bakal jadi anak yang sehat.” Seandainya saja jika Rasti tidak membiarkan stres merasukinya.
            Binar kegembiraan tak tesamarkan di wajah Junio. Rasti tahu Junio sedang tersenyum, dia ingat bentuk senyuman itu. Sangat jelas di otaknya.
            Sejenak keduanya hanya diam, padahal rindu sudah seperti air waduk meluap yang siap jebol. Mereka hanya menikmati mendengar hembusan nafas masing-masing. Waktu terasa berjalan sangat pelan.
            “Mas Junio,” panggil Rasti lagi. “Mas nggak pernah khianati aku, kan?”
            “Nggak pernah, Sayang,” kata Junio. “Semua yang dikatakan Andy tidak semuanya benar. Dulu kami memang berhubungan, tapi sudah lama putus karena Mas ingin menjadi...”
            “Sssttt... aku sudah tahu semuanya. Fiki bilang kalau kalian sedang mengurus tuntutan pada Andy. Mas,  kuharap dia dihukum berat.”
            “Semoga. Kita harus membuatnya jera dan belajar banyak cara menghargai orang.”
            “Semoga berhasil Mas.”
            “Terima kasih, Sayang”
            Sejenak suasana kembali hening.
            “Mas ingin bertemu aku?” tanya Rasti kemudian.
            “Tentu saja, sayang. Kapan kita bisa bertemu?” Jika Rasti ingin Junio hadir di sisinya sekarang juga, Junio akan ke sana dalam hitungan detik.
            “Kita sudah bertemu di suatu tempat yang tak terduga, kemudian di tempat yang lainnya. Kita juga berada di bawah atap yang bahagia, meski pun masalah datang silih berganti. Kita menikmati waktu berdua di keindahan alam, memberi rohani kita kejernihan udara batin. Kita juga berbagi pelukan pada yang lainnya, hanya agar tiada yang kesepian.”
            “Rasti?” Junio sedikit pun tidak memahami ucapan Rasti. Istrinya seperti mengajukan teka-teki.
            “Itu adalah petunjuk untuk Mas jika ingin menemuiku. Aku akan ada di suatu tempat sore ini. Aku ingin menguji apakah kita benar-benar berjodoh. Apakah pertemuan cinta kita bisa di penuhi?”
            Junio tak diberi kesempatan bicara lagi karena Rasti lebih dahulu menutup teleponnya.
            Kini Junio harus memilih tempat yang mungkin Rasti berada. Awalnya dia menebak-nebak, tapi tak merasa yakin. Dia mengingat lagi petunjuk yang Rasti ucapkan. Beberapa lama dia tenggelam dalam fikirannya sendiri. Dia agak pusing, tapi... akhirnya dia tahu. Entah kenapa keyakinan seratus persen itu melompat ke hatinya. Dia tahu. Dia yakin.

“Aku mau ketemu sama Junio, Ma,” kata Rasti.
            Mama Rasti meghela nafas lega. “Apa kami perlu mengantarmu ke rumah?”
            Rasti menggeleng. “Rasti ingin pergi ke suatu tempat tapi tidak bilang ke Mas Junio. Biar dia yang menemukan Rasti jika kami benar-benar harus bertemu.”
            Kemudian Rasti pergi seorang diri. Tanpa ragu dirinya memilih suatu tempat di mana sinar matahari sore sangat menghangatkan hati dan memeluk seseorang membuat dirinya tak pernah kesepian.
            Rasti berharap Junio menemuinya secepatnya.
           
Junio terjebak macet. Dia bahkan merasa asing dengan keadaan ini karena sudah terlalu lama hanya tinggal di rumah Fiki. Dia hendak ke rumah, tapi bukan menemui Rasti. Dia yakin istrinya tidak ada di sana. Junio hanya perlu mengambil sebuah Tupperware yang besar.
            Setelah ke rumahnya, Junio pergi ke toko roti Paradissa. Karyawannya menyambut dan terheran dengan Junio yang tiba-tiba muncul. Junio membawa serta Tupperware tadi dan meminta pelayan di sana mengisi kotak itu dengan es krim kesukaan Rasti hingga penuh. Junio dan Rasti akan lebih enak mengobrol jika ditemani ini.
            Junio kemudian pergi ke kafe Jodoh, juga bukan unuk menemui Rasti. Dia hanya ingin menemui Maria. Saat Rasti dan Junio menjadi pasangan di malam jodoh itu, pihak kafe sudah membuat dokumentasi, hanya saja Junio tidak menebusnya. Sekarang dia membutuhkan kenangan indah itu—saat mereka bertemu—untuk dipersembahkan pada Rasti.
            “Aku sudah mendengar tentang kalian. Semoga kalian diberi ketabahan, ya?” kata Maria.
            Seorang karyawan kafe Jodoh memberikan foto berpigura yang Junio inginkan. Tampak di sana Junio dan Rasti saling menatap malu-malu. Tertulis di bawahnya: PERTEMUAN CINTA.
            “Terima kasih, Maria.”
            “Jangan sesali pernikahan kalian, itu yang kubilang pada Rasti,” kata Maria sebelum Junio pergi dari sana. “Jangan sampai berpisah, ini adalah permintaanku sebagai teman.”
            Sekali lagi Junio mengucapkan terima kasih. Dia pergi dari sana menuju tujuan selanjutnya.
            Sore sudah semakin naik, matahari yang bersinar cerah kini mulai memberikan jingganya. Junio memacu mobilnya dan sedapat mungkin menghindari macet di jalan.
            Kini dia berada di rumah orangtua Rasti. Dia juga yakin Rasti tidak ada di sana.
            “Rasti pergi dari tadi, Jun,” jelas mama Rasti.
            “Saya tahu, Ma. Saya ingin minjam gitar Rio. Ada, kan?”
            Mama Rasti heran atas permintaan menantunya ini, tapi dia tetap pergi ke kamar Rio dan mengambil gitar yang digantung di dinding. Alat musik itu sudah mulai berdebu. Membuat mama Rasti bersin-bersin.
            “Banyak debunya.”
            “Nggak masalah, Ma. Kalau wanita bisa ditaklukkan dengan lagu, itu yang akan kulakukan.”
            Mama Rasti menyemangati Junio sebelum pria itu pergi ke tujuannya sebenarnya.

Sore itu sangat indah. Matahari bersinar dengan warna jingga. Taman-taman yang selalu di rawat oleh pengurus kebun panti jompo itu, membuat mata semakin termanjakan. Kedamaian... apakah surga sedamai ini?
            Rasti melihat orang-orang yang sudah tua, dengan segala keterbatasan karena umur yang dimakan masa, berjalan-jalan di sekitar taman. Sedangkan satu-satunya orang yang dikenalnya di tempat ini hanya duduk di tempat favoritnya. Duduk di teras dimana dia bisa melihat matahari sore yang menghangatkan.
            Ibu Junio merangkul Rasti.
            “Bayi. Ibu selalu suka bayi,” kata ibu Junio sambil mengelus-elus perut Rasti.
            “Rasti juga suka, Bu. Apalagi jika dia bergerak-gerak.”
            Kemudian ibu Junio meraih wajah Rasti dengan dua tangannya. “Kamu kelihatan sedih,” kata beliau.
            Wajah Rasti memerah, air matanya lagi-lagi berkhianat ingin keluar. Padahal dia sudah lelah mengeluarkan air mata.
            “Junio menyakitimu?” tanya ibu Juno lagi.
            Rasti tak menjawab. Dia meraih tangan mertuanya dan mereka saling menggenggam. Rasti suka menyentuh tangan keriput yang hangat ini.
            “Junio memang bukan pria yang sempurna...”
            Rasti tak berkomentar, dia hanya melihat mertuanya berbicara dengan lancar. Tak seperti biasanya.
            “Dia mengakui semuanya, mengakhiri kekeliruannya memilih jalan itu setelah ibu jatuh sakit.”
            Rasti ingin mendengar lebih banyak.
            “Junio berjanji tak ingin lagi berada di dunia kelam itu. dunia yang tdak disukai Tuhan...”
            Ibu Junio lagi-lagi menatap Rasti, membuat menantunya itu sedikit malu karena ditatap begitu intens.
            “Dia sudah berubah Rasti, jauh sebelum mengenal kamu.”
            Rasti hanya mengangguk.
            “Jika dia melakukan kesalahan lagi, Ibu minta maaf...”
            Rasti memeluk mertuanya, lalu mereka saling berpelukan. Dalam pelukan itu, Rasti menangis lebih keras.
            “Aku juga cinta dia, Bu. Sangat cinta. Semua hal ini hanya membuatku kaget dan bingung. Aku tak ingin berpisah dari mas Junio. Tak pernah.”
            Tiba-tiba suara gitar terdengar di belakang mereka. Diikuti oleh suara seseorang yang sangat Rasti kenal.
            Junio menyanyikan salah satu lagu yang dinyanyikan ulang oleh Marcell dengan indahnya. Takkan Terganti.



“Telah lama sendiri
Dalam langkah sepi
Tak pernah kukira bahwa akhirnya
Tiada dirimu di sisiku

Meski waktu datang dan berlalu
Sampai kau tiada bertahan
Semua takkan mampu mengubahku
Hanyalah kau yang ada di relungku

Hanyalah dirimu
Mampu membuatku jatuh dan mencinta
Kau bukan hanya sekedar indah
Kau tak akan terganti

Kau tak akan terganti”

Mata Rasti tak berhenti basah. Dia mendengarkan suaminya bernyanyi dengan gitar berdebu itu. Mata Junio yang sendu, raut wajah penuh kerinduan, dan bahasa tubuh yang tak bisa dipungkiri—mereka membutuhkan pelukan satu sama lain.
            Selesai bernyanyi, Junio melempar gitar itu begitu saja ke tanah. Dia melebarkan lengannya untuk menyambut pelukan Rasti yang berlari padanya. Mereka berpelukan, begitu erat, seakan takut untuk lepas lagi.
            “Kamu tak akan terganti, Sayang...,” ucap Rasti di telinga Junio.
            “Walau aku memiliki rahasia kelam dan begitu banyak kekurangan?” tanya Junio.
            “Ya, walau pun aku temukan fakta kalau Mas seorang alien nanti.”
            “Alien?”
            Rasti mengangguk. “Siapa tahu kamu asalmu dari Krypton.”
            “Itu planet asal Superman, Sayang...”
             “Bagiku, Mas adalah Superman.”
            Junio tersenyum lebar. “Rasti, pertemuan cinta kita adalah hal terbaik yang pernah aku alami di sepanjang hidupku.”
            Kemudian mereka terdiam dan hanya saling menatap. Junio mendekatkan bibirnya pada Rasti. Mereka pun tenggelam dalam nikmatnya mencintai.
            Suara tepuk tangan membahana. Tanpa mereka sadari puluhan pasang mata sednag menatapi mereka.
            Rasti dan Junio menundukkan wajah. Malu jadinya.
            “Kita makan es krim, yuk. Bareng ibu,” ajak Junio.
            Mereka bergandengan menuju kursi tempat ibu Junio menikmati langit sore yang semakin menjingga.

0 comments:

Post a Comment

 

Pertemuan Cinta Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos