Pernikahan antar agama
kadang ditentang. Alasannya hanya karena bagi sebagian umat beragama, penganut
agama yang berbeda adalah orang kafir. Beberapa malah mempunyai ajaran kalau
yang kafir pantas mati. Kenapa pula harus menikah dan melahirkan anak dari
rahim yang berbeda keyakinan, hal yang mendasar dari cara hidup? Namun, tak
sedikit pernikahan yang ini bertahan lama. Mereka bisa menjadikan perbedaan
sebagai sarana untuk belajar menghargai pendapat orang lain, terlepas apakah
akhirnya mereka menyamakan agama atau tidak.
Pernikahan antar saudara memang dilarang. Alasannya anak
mereka tidak akan luput dari segala kekurangan dan keganjilan. Incest, itu istilahnya. Inilah cinta
yang tak perlu dipertahankan.
Pernikahan yang dilarang orangtua membuat pasangan yang
dimabuk asmara tak peduli lagi tentang konsep berbakti pada orangtua. Mereka
lebih suka bersusah-susah dalam cinta dari pada hidup berkecukupan bersama
orangtua. Cinta itu perlu dipertahankan? Entahlah, mungkin berharga jika
pasangan ini mampu bertahan.
Pernikahan sesama jenis? Beberapa negara sudah merancang
undang-undang yang membolehkan gay
dan lesbian menikah, seperti Belanda yang jadi ikon surga gay di dunia. Namun, di Indonesia hal ini masih ganjil. Perlu
dipertahankan? Mungkin, jika suatu saat nanti negara ini menerapkan norma ala
negara barat.
Pernikahan seorang pria homoseksual dengan wanita
heteroseksual. Perlu dipertahankan?
Junio menjawab dengan yakin: YA!
Setelah permintaannya
untuk bertemu Rasti ditolak oleh istrinya sendiri, Junio merasa hidupnya
terpuruk. Tak ada yang bisa dia lakukan tanpa satu sayap patah dan hilang. Junio
sengaja cuti dari kerjanya dan menyerahkan manajemen toko roti pada asistennya.
Junio bertahan tinggal di rumah Fiki. Sahabatnya juga telah membantunya
mengurus masalah untuk pengadilan menuntut Andy. Sebenarnya Junio tak merasa
ini diperlukan, tapi Fiki berkeras membawa Andy pada level jera karena tindakan
tanpa pertimbangan itu. Fiki juga menggunakan pengaruh bisnisnya untuk meminta
orang-orang penting dari media agar menghentikan pemberitaan tentang Andy dan
Junio.
“Jadi, nanti lo harus ketemu sama Mas Chakra lagi,” kata Fiki, menyebut
nama pengacaranya. Dia sudah merancang janji temu agar Junio bisa fokus pada
persiapan pengadilan.
Junio menurut saja.
Melihat sahabatnya tidak bersemangat, Fiki bertanya kenapa Rasti masih
belum ingin menemui Junio. Ini sudah sebulan setelah Andy tampil di TV. Berita
tentang mereka pun dengan cepat semakin memudar karena nyatanya Andy hanyalah
seorang pendatang baru di dunia hiburan, dan Junio bukanlah selebritis. Nilai
berita mereka merosot cepat.
“Dia butuh waktu, Fik.”
Satu hal lagi yang Fiki herankan. Junio begitu patuh pada kata-kata
istrinya dan tak ingin sedikit pun menginterpretasikan kalau Rasti ingin Junio
berinisiatif memulai bicara.
“Gue tahu gimana sifat Rasti, Fik. Bagaimana pun gue lebih tahu tentang
dia daripada siapa pun.”
Kalau sudah begitu Fiki tak bisa mendesak lagi.
Kandungan Rasti sudah
memasuki akhir trimester pertama. Perutnya sudah mulai membesar dan membesar. Pakaiannya
harus yang longgar. Setiap kali berganti pakaian dia teringat Junio. Pria itu
yang menemaninya berbelanja. Baju ini yang dipilihkan oleh Junio agar Rasti
tetap kelihatan cantik.
Apa kabar Junio?
Rasti bertanya-tanya dalam hati. Rasa kangen itu selalu ada di hatinya,
tak terbendung, tapi kekecewaan masih memberi goresan yang belum sembuh.
“Kalau kamu tetap tidak memberi suamimu kesempatan
berbicara, dia tetap tidak akan bisa memberimu kebenaran,” nasihat mamanya
hampir setiap hari.
“Setiap keluarga pasti memiliki konflik, Rasti.” Kali ini
adalah nasihat ayahnya. “Tugas suami istri adalah menyelesaikannya dengan baik
dan tuntas. Tidak membicarakannya hanya akan membuat hati tak tentram.”
Ada kalimat aneh yang dibenci Rasti, tapi banyak yang
mempercayainya: Pernikahan bisa bertahan dengan memanfaatkan sedikit
kebohongan. Benarkah?
Suatu hari, Fiki menemuinya tanpa diundang.
“Rasti, aku ke sini bukan atas permintaan Junio,”
katanya. “Keinginanku sendiri untuk menemuimu. Aku pun tak mau mencampuri
urusan kalian. Aku hanya minta padamu... jangan membuat Junio terpuruk lagi. Dia
sahabatku, dan dia sangat mencintaimu. Dia membutuhkanmu sebagai istri. Junio tak pernah mengkhanatimu. Dia
tak pernah kembali berselingkuh dengan siapa pun. Aku menjaminnya, demi nama
Tuhan.”
Rasti hanya diam mendengar Fiki.
“Dia ada di rumahku. Tenggelam akan rindunya padamu.”
Rasti masih diam, namun air mata membasahi matanya.
“Dia bertahan mematuhi ucapanmu. Dia tak meneleponmu jika
tidak diminta, tak menemuimu jika tak kamu ingin.”
Rasti tak sanggup melihat Fiki lagi.
“Aku tahu kamu sangat mencintai dia.”
Rasti mengiyakan di dalam hati.
Kini, setelah hari berlalu menjadi satu bulan yang telah
terlewati, Rasti selalu melihat telepon. Dia meragu. Dia ingin, tapi tak tahu
apa yang akan dikatakannya nanti.
Setelah sekian lama menimbang-nimbang, Rasti akhirnya
mengangkat gagang telepon itu.
Tak perlu waktu yang lama
bagi Rasti menunggu Junio mengangkatnya. Rasti malah mengira Junio selalu
berada di dekat ponsel dan menantikan benda itu berdering.
“Halo, Mas Junio?”
Tidak ada obat yang lebih mujarab untuk menghilangkan
kerinduan selain mendengar suara indah sang terkasih. Wajah Junio merona,
senyum terukir, dan tubuhnya menghangat. Setelah sekian lama... akhirnya
istrinya menelepon.
“Aku cinta kamu Rasti. Sampai kapan pun,” kata Junio
alih-laih mengucapkan ‘halo’ juga.
Di seberang sana Rasti terdiam, bibirnya bergetar menahan
sesuatu yang hangat dan basah tidak mengalir. Dia tahu kalau Junio
mencintainya. Kali ini dia tak akan meragui.
“Apa kabar Mas Junio?” Rasti mencoba nada suara yang
datar.
“Lebih baik setelah mendengar suaramu,” jawab Junio—jujur.
“Bagaimana denganmu, Sayang?”
“Syukurlah. Aku baik-baik aja,” kata Rasti—bohong.
Perlahan-lahan Junio menanyakan anaknya. “Sudah tiga
bulan lebih..”
“Ya, sudah tiga bulan lebih, Mas...”
“Apa dia sehat?”
“Aku masih rutin cek ke dokter. Kata dokter dia bakal
jadi anak yang sehat.” Seandainya saja jika Rasti tidak membiarkan stres
merasukinya.
Binar kegembiraan tak tesamarkan di wajah Junio. Rasti
tahu Junio sedang tersenyum, dia ingat bentuk senyuman itu. Sangat jelas di
otaknya.
Sejenak keduanya hanya diam, padahal rindu sudah seperti
air waduk meluap yang siap jebol. Mereka hanya menikmati mendengar hembusan
nafas masing-masing. Waktu terasa berjalan sangat pelan.
“Mas Junio,” panggil Rasti lagi. “Mas nggak pernah
khianati aku, kan?”
“Nggak pernah, Sayang,” kata Junio. “Semua yang dikatakan
Andy tidak semuanya benar. Dulu kami memang berhubungan, tapi sudah lama putus
karena Mas ingin menjadi...”
“Sssttt... aku sudah tahu semuanya. Fiki bilang kalau
kalian sedang mengurus tuntutan pada Andy. Mas,
kuharap dia dihukum berat.”
“Semoga. Kita harus membuatnya jera dan belajar banyak
cara menghargai orang.”
“Semoga berhasil Mas.”
“Terima kasih, Sayang”
Sejenak suasana kembali hening.
“Mas ingin bertemu aku?” tanya Rasti kemudian.
“Tentu saja, sayang. Kapan kita bisa bertemu?” Jika Rasti
ingin Junio hadir di sisinya sekarang juga, Junio akan ke sana dalam hitungan
detik.
“Kita sudah bertemu di suatu tempat yang tak terduga,
kemudian di tempat yang lainnya. Kita juga berada di bawah atap yang bahagia,
meski pun masalah datang silih berganti. Kita menikmati waktu berdua di
keindahan alam, memberi rohani kita kejernihan udara batin. Kita juga berbagi
pelukan pada yang lainnya, hanya agar tiada yang kesepian.”
“Rasti?” Junio sedikit pun tidak memahami ucapan Rasti. Istrinya
seperti mengajukan teka-teki.
“Itu adalah petunjuk untuk Mas jika ingin menemuiku. Aku
akan ada di suatu tempat sore ini. Aku ingin menguji apakah kita benar-benar
berjodoh. Apakah pertemuan cinta kita bisa di penuhi?”
Junio tak diberi kesempatan bicara lagi karena Rasti lebih
dahulu menutup teleponnya.
Kini Junio harus memilih tempat yang mungkin Rasti
berada. Awalnya dia menebak-nebak, tapi tak merasa yakin. Dia mengingat lagi
petunjuk yang Rasti ucapkan. Beberapa lama dia tenggelam dalam fikirannya
sendiri. Dia agak pusing, tapi... akhirnya dia tahu. Entah kenapa keyakinan
seratus persen itu melompat ke hatinya. Dia tahu. Dia yakin.
“Aku mau ketemu sama
Junio, Ma,” kata Rasti.
Mama Rasti meghela nafas lega. “Apa kami perlu
mengantarmu ke rumah?”
Rasti menggeleng. “Rasti ingin pergi ke suatu tempat tapi
tidak bilang ke Mas Junio. Biar dia yang menemukan Rasti jika kami benar-benar
harus bertemu.”
Kemudian Rasti pergi seorang diri. Tanpa ragu dirinya
memilih suatu tempat di mana sinar matahari sore sangat menghangatkan hati dan
memeluk seseorang membuat dirinya tak pernah kesepian.
Rasti berharap Junio menemuinya secepatnya.
Junio terjebak macet. Dia
bahkan merasa asing dengan keadaan ini karena sudah terlalu lama hanya tinggal
di rumah Fiki. Dia hendak ke rumah, tapi bukan menemui Rasti. Dia yakin
istrinya tidak ada di sana. Junio hanya perlu mengambil sebuah Tupperware yang besar.
Setelah ke rumahnya, Junio pergi ke toko roti Paradissa. Karyawannya
menyambut dan terheran dengan Junio yang tiba-tiba muncul. Junio membawa serta Tupperware tadi dan meminta pelayan di
sana mengisi kotak itu dengan es krim kesukaan Rasti hingga penuh. Junio dan Rasti
akan lebih enak mengobrol jika ditemani ini.
Junio kemudian pergi ke kafe Jodoh, juga bukan unuk
menemui Rasti. Dia hanya ingin menemui Maria. Saat Rasti dan Junio menjadi
pasangan di malam jodoh itu, pihak kafe sudah membuat dokumentasi, hanya saja
Junio tidak menebusnya. Sekarang dia membutuhkan kenangan indah itu—saat mereka
bertemu—untuk dipersembahkan pada Rasti.
“Aku sudah mendengar tentang kalian. Semoga kalian diberi
ketabahan, ya?” kata Maria.
Seorang karyawan kafe Jodoh memberikan foto berpigura
yang Junio inginkan. Tampak di sana Junio dan Rasti saling menatap malu-malu.
Tertulis di bawahnya: PERTEMUAN CINTA.
“Terima kasih, Maria.”
“Jangan sesali pernikahan kalian, itu yang kubilang pada
Rasti,” kata Maria sebelum Junio pergi dari sana. “Jangan sampai berpisah, ini
adalah permintaanku sebagai teman.”
Sekali lagi Junio mengucapkan terima kasih. Dia pergi
dari sana menuju tujuan selanjutnya.
Sore sudah semakin naik, matahari yang bersinar cerah
kini mulai memberikan jingganya. Junio memacu mobilnya dan sedapat mungkin
menghindari macet di jalan.
Kini dia berada di rumah orangtua Rasti. Dia juga yakin
Rasti tidak ada di sana.
“Rasti pergi dari tadi, Jun,” jelas mama Rasti.
“Saya tahu, Ma. Saya ingin minjam gitar Rio. Ada, kan?”
Mama Rasti heran atas permintaan menantunya ini, tapi dia
tetap pergi ke kamar Rio dan mengambil gitar yang digantung di dinding. Alat
musik itu sudah mulai berdebu. Membuat mama Rasti bersin-bersin.
“Banyak debunya.”
“Nggak masalah, Ma. Kalau wanita bisa ditaklukkan dengan
lagu, itu yang akan kulakukan.”
Mama Rasti menyemangati Junio sebelum pria itu pergi ke
tujuannya sebenarnya.
Sore itu sangat indah. Matahari
bersinar dengan warna jingga. Taman-taman yang selalu di rawat oleh pengurus
kebun panti jompo itu, membuat mata semakin termanjakan. Kedamaian... apakah
surga sedamai ini?
Rasti melihat orang-orang yang sudah tua, dengan segala
keterbatasan karena umur yang dimakan masa, berjalan-jalan di sekitar taman. Sedangkan
satu-satunya orang yang dikenalnya di tempat ini hanya duduk di tempat
favoritnya. Duduk di teras dimana dia bisa melihat matahari sore yang
menghangatkan.
Ibu Junio merangkul Rasti.
“Bayi. Ibu selalu suka bayi,” kata ibu Junio sambil
mengelus-elus perut Rasti.
“Rasti juga suka, Bu. Apalagi jika dia bergerak-gerak.”
Kemudian ibu Junio meraih wajah Rasti dengan dua
tangannya. “Kamu kelihatan sedih,” kata beliau.
Wajah Rasti memerah, air matanya lagi-lagi berkhianat
ingin keluar. Padahal dia sudah lelah mengeluarkan air mata.
“Junio menyakitimu?” tanya ibu Juno lagi.
Rasti tak menjawab. Dia meraih tangan mertuanya dan
mereka saling menggenggam. Rasti suka menyentuh tangan keriput yang hangat ini.
“Junio memang bukan pria yang sempurna...”
Rasti tak berkomentar, dia hanya melihat mertuanya
berbicara dengan lancar. Tak seperti biasanya.
“Dia mengakui semuanya, mengakhiri kekeliruannya memilih
jalan itu setelah ibu jatuh sakit.”
Rasti ingin mendengar lebih banyak.
“Junio berjanji tak ingin lagi berada di dunia kelam itu.
dunia yang tdak disukai Tuhan...”
Ibu Junio lagi-lagi menatap Rasti, membuat menantunya itu
sedikit malu karena ditatap begitu intens.
“Dia sudah berubah Rasti, jauh sebelum mengenal kamu.”
Rasti hanya mengangguk.
“Jika dia melakukan kesalahan lagi, Ibu minta maaf...”
Rasti memeluk mertuanya, lalu mereka saling berpelukan. Dalam
pelukan itu, Rasti menangis lebih keras.
“Aku juga cinta dia, Bu. Sangat cinta. Semua hal ini
hanya membuatku kaget dan bingung. Aku tak ingin berpisah dari mas Junio. Tak pernah.”
Tiba-tiba suara gitar terdengar di belakang mereka. Diikuti
oleh suara seseorang yang sangat Rasti kenal.
Junio menyanyikan salah satu lagu yang dinyanyikan ulang
oleh Marcell dengan indahnya. Takkan Terganti.
“Telah lama sendiri
Dalam langkah sepi
Tak pernah kukira bahwa akhirnya
Tiada dirimu di sisiku
Meski waktu datang dan berlalu
Sampai kau tiada bertahan
Semua takkan mampu mengubahku
Hanyalah kau yang ada di relungku
Hanyalah dirimu
Mampu membuatku jatuh dan
mencinta
Kau bukan hanya sekedar indah
Kau tak akan terganti
Kau tak akan terganti”
Mata Rasti tak berhenti
basah. Dia mendengarkan suaminya bernyanyi dengan gitar berdebu itu. Mata Junio
yang sendu, raut wajah penuh kerinduan, dan bahasa tubuh yang tak bisa
dipungkiri—mereka membutuhkan pelukan satu sama lain.
Selesai bernyanyi, Junio melempar gitar itu begitu saja
ke tanah. Dia melebarkan lengannya untuk menyambut pelukan Rasti yang berlari padanya.
Mereka berpelukan, begitu erat, seakan takut untuk lepas lagi.
“Kamu tak akan terganti, Sayang...,” ucap Rasti di
telinga Junio.
“Walau aku memiliki rahasia kelam dan begitu banyak
kekurangan?” tanya Junio.
“Ya, walau pun aku temukan fakta kalau Mas seorang alien
nanti.”
“Alien?”
Rasti mengangguk. “Siapa tahu kamu asalmu dari Krypton.”
“Itu planet asal Superman, Sayang...”
“Bagiku, Mas
adalah Superman.”
Junio tersenyum lebar. “Rasti, pertemuan cinta kita
adalah hal terbaik yang pernah aku alami di sepanjang hidupku.”
Kemudian mereka terdiam dan hanya saling menatap. Junio
mendekatkan bibirnya pada Rasti. Mereka pun tenggelam dalam nikmatnya
mencintai.
Suara tepuk tangan membahana. Tanpa mereka sadari puluhan
pasang mata sednag menatapi mereka.
Rasti dan Junio menundukkan wajah. Malu jadinya.
“Kita makan es krim, yuk. Bareng ibu,” ajak Junio.
Mereka bergandengan menuju kursi tempat ibu Junio
menikmati langit sore yang semakin menjingga.
0 comments:
Post a Comment