Sunday, January 1, 2012

Bab 3 Newlywed, everything is new for them

Posted by Jason Abdul at 7:10 PM
Pernikahan bagaikan sebuah ending di cerita dongeng. Happy ending. Ingat saja bagaimana gembiranya Cinderella yang berubah dari upik abu menjadi seorang putri karena ditemukan sang pangeran, kemudian mereka menikah dan bahagia. Bagi para wanita yang baru menikah, suami mereka laksana sang pangeran berkuda putih yang menjemput dan memperlakukan mereka selayaknya putri kerajaan.
            Walaupun kenyataan tidak sama dengan dongeng.
            Kalau dibanding-bandingkan, Rasti merasa dia seperti Cinderella, hanya saja dia bukan upik abu, tapi seorang wanita yang menderita dalam perjalanan cinta dan menjalin hubungan dengan pria. Dia dikecewakan para mantannya. Sedangkan Junio, mencari pasangannya—seperi pangeran mencari pemilik sepatu kaca—yang sesuai dengan hatinya. Mereka bertemu dalam waktu yang tak pernah dibayangkan... pertemuan cinta. Kemudian menikah dalam waktu yang cepat.
            Bukankah Pangeran segera mengajak Cinderella menikah setelah dia tahu satu-satunya wanita yang kakinya cocok pada sepatu kaca adalah gadis ini? Padahal karakter atau sifat perempuan itu belum diketahuinya luar dalam? Mungkin cinta mereka kembang dalam satu malam.
            Itu sempat Rasti pikirkan saat dia masih larut dalam kebahagiaan di pesta pernikahan. Melihat semua pesiapan yang melelahkan dan hasil yang setimpal, Rasti bahagia. Sangat bahagia.
            Siang hari dia tampak menikmati, tapi masalahnya dia malah ketakutan saat hari berganti malam dan pesta berakhir! Dia kangen dengan huru hara saat persiapan pernikahan. Meski pun kekesalan, kekacauan dan panik juga mewarnai, dia puas memberikan itu semua. Rasti merasa energinya disalurkan untuk hal yang bernilai.
            Kini dia akan berada di kehidupan semula. Hanya saja sekarang dia tidak sendiri. Ada seorang yang mendampinginya.
            Dia sangat yakin saat pernikahan itu berlangsung...
            Namun, semakin malam... semakin sedikti orang di sekitar mereka, saat hanya keluarga dan kerabat dekat yang berada di penginapan itu... dia tidak seyakin itu. Imannya turun. Dia ketakutan setengah mati.
            Apa dia telah memilih orang yang salah? Bayangkan, baru dua bulan sudah menikah? Seorang penasihat hubungan di radio pernah meledek wanita yang menikahi pria yang baru dikenal lima bulan.
“Kamu takut kesepian, ya?” tanya penasihat hubungan itu.
Si penanya sempat ragu dalam menjawab. “Mungkin... ya. Aku memang takut kesepian.”
“Tapi kamu tahu hal yang lebih menakutkan dari kesepian? Yaitu saat kamu kesepian karena hidup dengan pria yang salah sepanjang hidupmu...”
            Rasti memandang wajahnya yang terpantul kaca kamar mandi. Dia memilih Junio. Siapa Junio?
            Dia seorang pemilik toko roti dimana Rasti sangat menyukai es krimnya, dan juga seorang manajer toko pakaian pria. Junio memakai kacamata dan sangat peduli dangan penampilan, yang membei nilai tambah. Dia sopan dan sayang dengan keluarga—caranya memperlakukan ibunya sangat menyentuh. Junio suka menonton berita, membaca koran, dan buku karena ingin selalu update informasi dan berita. TV One dan Metro TV adalah stasiun favoritnya. Dia tidak terlalu tahan dengan pedas dan sangat menyukai yang manis, seperti Rasti. Selain itu Junio memiliki selera musik yang bagus, balada, orkestra dan jazz.
            Dan masih banyak lagi.
            Namun, masih banyak lagi yang tidak dia ketahui perihal Junio. Asing.
            Dari balik telepon, mama Rasti menasihati anaknya. Rasti begitu pusing di malam itu sehingga perlu menelpon mamanya.
            “Post wedding blues,” kata mamanya tentang gejala pada diri Rasti. “Begini Rasti, pikirkan tentang bagaimana kamu menjalani proses mengenal pasanganmu. Lewat pernikahanlah dua hati di satukan. Kamu ingat kan, temanmu yang menikah dengan pacar lima tahunnya, ternyata banyak hal yang disembunyikan pacarnya itu. Dia suka ngutang tapi nggak dibayar. Jadi, apa kamu yakin dengan pacaran bertahun-tahun kalian sudah kenal luar dalam. Rahasia kamu saja nggak semua mama tahu, pasti ada yang kamu sembunyikan.”
            “Tapi, ma... kenapa perasaan ini datang lagi. Rasti ketakutan!” Mata Rasti berkaca-kaca.
            “Kalau kamu percaya padanya dia akan mempercayaimu untuk berbagi rahasia. Suatu masa kalian akan saling mengerti, saling spontan saja.”
            “Ma...”
            “Mama tahu suamimu sudah menunggu. Jangan kecewakan dia. Buat dia bergairah malam ini, sayang!”
            Rasti menghela nafas panjang. Jika sikapnya tetap plin-plan seperti ini, apa yang berubah pada dirinya? Tidak. Rati tidak mau dia masih bersikap seperti remaja yang labil.
            Dia yakin... dia bisa mempercayai Juno sebagai suaminya.
            Pasangan yang salah? Sepertinya itu tidak ada. Yang ada hanya suami baru yang perlu dimengerti.

Sejam sebelumnya.
            Junio menggendong Rasti dari lobi penginapan, disambut terikan dan tepuk tangan dari semua keluarga dan kerabat yang hadir melihat mereka. Binar kebahagiaan pada wajah pria itu. Diberikannya pula satu kecupan dalam dikening Rasti, yang pasti membuat istrinya melayang ke langit ke tujuh. Kemudian mereka menuju kamar mereka di lantai tiga.
            Semakin mendekati kamar, dia deg-degan... inilah malam pertama yang dinantikannya. Sekaligus hal yang membuatnya cemas.
            Rasti menutup mata bahkan hingga sampai di dalam.
            “Aku mau mandi dulu,” kata Rasti.
            Junio tertegun, apakah dia harus meminta mereka mandi bersama?
            “Kamu mau aku ikut?” tanya Junio. Kemudian dia menyesali pilihan katanya. Seharusnya dia mulai merayu dan memeluk Rasti, mengajak istrinya ke kamar mandi.
            Rasti menggelang. “Kita mandinya setelah itu saja..., oke?”
            Tanpa protes Junio mengiyakan. Dia duduk sebentar di atas kasur kamar pengantin yang didekorasi indah serta bergaya etnik itu.
Kemudian mengambil ponsel yang ada di nakas. Dia ingin menelpon seseorang. Fiki. Junio berjalan menuju balkon agar suaranya tak terdengar oleh Rasti. Pintu kaca balkon pun ditutupnya.
Angin malam bertiup ke tengkuk Junio.
“Halo, Fik. Lu lagi dimana? Gue nggak ganggu, kan?” tanya junio segera.
Fiki malah tertawa di seberang. “Harusnya gue yang tanya lo. Kenapa malah nelpon gue di malam pertama? Bukannya malam ini milik kalian berdua?”
Junio mengabaikan tawa mengejek Fiki.
“Gawat!”
“Gawat kenapa?” tanya Fiki jadi ikut serius.
“Gue ketakutan. Sumpah!”
Fiki berusaha menenangkan sahabatnya. “Kita udah bicarakan ini berulang kali, Jun. Lo hanya perlu beri hak pada diri lo untuk mencintai perempuan. Rasti orangnya. Lo nggak perlu takut lagi kalau semua kacau. ada hal yang bisa diperbaiki, lo berada dalam proses itu. Nikmati saja.”
Junio mencengkeram rambatnya. Pusing.
“Junio? Lo masih hidup, kan?”
“Masih!”
“Lo kuat, jantan, macho. Lu pasti bisa, Jun.”
Junio masih belum tahu harus bicara apa. Dia harus jujur pada Fiki. Dia mengatur kata-kata dalam pikirannya.
“Fiki,” panggil Junio. “Gue masih mikirin ‘dia’.”
Tanpa dijelaskan, Fiki paham siapa yang dimaksud
Junio melanjutkan. “Tiba-tiba aja gue merasa dia hadir di pesta tadi. Wajahnya ada di sana, tapi gue nggak yakin. Semua seperti khayalan saja. Gue mikirin dia sepanjang sore ini.”
“Lo suami Rasti, lho, Junio. Jangan mikirin yang lain, oke?”
Fiki membuat Junio kesal. Ini masalah serius dan jawaban tadi membuat Junio kecewa.
“Ini datang begitu aja,” bela Junio tentang perasaannya.
“Setan yang goda lo. Setan yang nyuruh lo peduli lagi dengan masa lalu itu.”
“Sialan lo, Fik. Sekarang lo ngomong gue tersesat?”
Junio menjadi semakin panik. Dia mencuri-curi lihat ke dalam kamar, dilihatnya sosok Rasti masih belum tampak. Untunglah.
“Sabar, bro. Lo tahu kalau malam pertama adalah penantian semua pria. Termasuk lo! Lo pria yang malam ini akan membehagiakan istri karena permainan yang mantap! Dunia serasa milik berdua karena yang lain ngontrak!”
Junio tertawa juga mendengar lelucon payah sahabatnya.
“Jadi, fokus ke permainan sama Rasti aja, nih?”
“Yup. Never regret. Besok-besok jangan lupa cerita gimana malam ini, oke?” goda Fiki.
“Uh, enak saja.”
“Tutup telpon ini, kalau perlu buang ke tong sampah. Rasti pasti sudah menunggu, kan?”
Junio masih merasa ketakutan.
“Tarik nafas, Jun. Bernafas itu cara paling dasar untuk menenangkan jiwa. Coba teknik 4-7-8
Junio melakukannya. Caranya adalah dengan menghirup napas dari hidung selama 4 hitungan, tahan napas selama 7 hitungan, dan hembuskan napas dari mulut selama 8 hitungan. Nikmati rasa rileks yang hadir di tubuh dan pikiran.
“Udah rileks?” tanya Fiki.
“Dikit.”
“Coba lagi bernafas entar. Tapi tutup dulu telpon ini! Dan selamat menghangatkan malam!”
Sambungan teputus. Junio memasukkan ponselnya ke saku pakaian pernikahannya.
Junio melihat ke ruangan dan Rasti  belum keluar.


“Aku lama banget, ya Mas?” tanya Rasti saat dia keluar dari kamar mandi dengan jubah mandi bewarna putih.
            Junio menelan ludahnya. Siapa pun tak akan menyangkal keelokan tubuh wanita itu. Walaupun Rasti mellilitkan jubahnya dengan erat, tetapi lekuknya masih membuat godaan. Junio menetapkan dalam pikirannya... dia memang tergoda dengan tubuh itu.
            “Mas mau mandi dulu, boleh?”
            Rasti mengangguk. Dia akan menunggu di ats tempat tidur. Hatinya sudah diberi semangat dan keyakinan. Kini saatnya dia mencoba peruntungan malam ini. Bagaimana rasanya di dekap pria segagah itu? Apakah dia akan memberi rasa yang diinginkan Junio?
            Berbeda dengan Rasti, suaminya mandi cepat. Salah satu yang membuat Rasti geli dan tersenyum adalah Junio begitu terburu-buru. Apa dia tak bisa sabar? Tanpa sepengetahuan Rasti, ternyata Junio begitu gugup sampai-sampai ingin semua cepat berlalu.
            Kemudian, mereka saling menatap.
            Mata Rasti turun ke dada bidang milik Junio. Dia akan bersandar diatas kulit yang putih dan sedikit berbulu itu? Bagaimana rasanya? Rasti bahkan ingin melepas jubah yang dipakai Junio. Dia ingin menemukan hal yang seharusnya dia dapatkan di malam pertama ini. Namun, Rasti malah menunjukkan sikap malu-malu.
            Jubah Junio sengaja dilonggarkan. Dia pikir itu akan merangsang Rasti. Dia memang berhasil dan tinggal selangkah lagi.
            Satu sentuhan.
            Junio duduk di depan Rasti, mengulurkan kedua tangannya. Jemari pria itu mencoba menelusuri wajah bersih Rasti, memberikan sensasi pada perut Rasti. Dia mencoba tetap kokoh bersandar dengan tangan menopang. Kemudian tangan Junio turun ke dagu dan akhirnya berhenti di tengkuk Rasti.
            Junio meyakinkan dirinya, dia harus maju terus.
            Dia mendekatkan duduknya pada tubuh Rasti. Kemudian tangan kanannya merangkul pinggang Rasti. Tangan satu lagi menuntun wajah Rasti mendekat pada wajah Junio... dan bibir mereka bersatu. Nafas yang memburu melebur dalam belaian lembut dan hangat. Junio menahan detak jantung yang terasa hampir copot. Sedangkan Rasti kehilangan takut itu, dia semakin tahu siapa Junio ini.
            Seorang pencium yang hebat.
            “Rasti,” panggil Junio mesra.
            “Ya, Mas Junio?”
            “I love you. More than I can say.
            “I love you too...” jawab Rasti. Kemudian dalam hati dia menambahkan, “I trust you, more than I can say.”
            Dada masing-masing meledak dalam gairah dan kebahagiaan. Pelan dan jantan, Junio menidurkan pujaan hatinya.
            Malam itu menjadi kenangan yang tak akan terlupakan.

“Tiket pesawat udah? Vouchcer hotel? Pakaian kamu udah semua, pakaian renang?” pertanyaan bertubi-tubi itu dilontarkan mama Rasti. Beliau yang menunggu bersama Rasti di teras rumah mengecek semua tas Rasti.
            “Aduh, kok jadi mama yang panik?” protes Rasti.
            Riana hanya tertawa melihat ibu-anak itu.
            “Kamu sering kelupaan kalau bawa sesuatu, Ras.”
            “Mama aja yang sering bilang begitu. Jadinya malah benar-benar kelupaan... coba kalau nggak perlu khawatir, semua beres. Ya, kan, Na?”
            Riana mengangguk. “Kakak udah jadi istri orang, Ma. Masa masih dikhawatirin juga.”
            Mama Rasti malah manyun. “Mama maunya kamu baik-baik saja.”
            Rasti tidak tega menyakiti hati mamanya, dipeluknya sang mama. “Ketahuan jelas darimana sifat suka panikan nurun padaku. Tapi, bantuan mama saat malam itu super duper. Semua terselamatkan!”
            Mama menempelkan kepala Rasti ke pundaknya.
            “Ikutan, dong!” sela Riana. Dia meleluk mamanya dari sisi yang berlainan.
            “Semua yang berawal dari keluarga, akan berakhir di keluarga. Sebuah keluarga baru yang dimulai dengan bahagia jangan berakhir begitu saja. Sulit namun menantang.”
            Rasti mengendapkan kata-kata mamanya dalam hati.

Junio hadir kembali ke rumah keluarga Rasti untuk menjemput istrinya. Mereka akan pergi bulan madu. Pilihan mereka adalah pulau lombok yang memiliki pantai yang indah. Tak kalah indah dengan Bali yang sudah terkenal ke mancanegara. Indonesia memang kaya, jadi kenapa harus memilih bulan madu ke luar negeri padahal di negeri sendiri menyimpan berjuta keindahan alam.
            Junio dan Rasti bepamitan dengan semua anggota keluarga. Mama Rasti menangis lagi dalam kebahagiaan. Junio senang semua bisa menerima dirinya dengan begitu baik meski kadang rasa bersalah menyelusup, menggodanya.
            Junio fokus melihat wanita yang menjadi pendampingnya. Untung saja mereka diantar sopir, jadi dengan puas dirinya bisa menatap rupa cantik Rasti.
            Rasti, karena diperhatikan begitu dalam, malu-malu dengan membuang muka ke jendela. Dia sesekali mencuri-curi pandang pada Junio. Hal itu membuat mereka tertawa karena konyol sekali. Rasanya masa SMA kembali mereka bawa. Malu-malu tapi mau, barangkali.
            “Kamu kok cantik, banget?” tanya Junio. Tangannya dia jejalkan ke tangan Rasti. Satu menggenggam yang lain. “Apa nggak ribet?”
            “Ribet kenapa?”
            “Banyak yang suka...”
            Rasti memutar bola matanya. “Gombal deh. Udah jadi suami gini masih gayanya kayak pacar.”
            “Banyak yang bilang kalau abis nikah itu masih pacaran, biar asyik. Kalau enggak kapan sayang-sayangannya.”
            Rasti senang saat Junio seperti ini. Dia senang pria ini mengeluarkan semua kemampuannya untuk membuat lelucon. Junio yang pendiam dan serius mohon disimpan dulu. Silakan pakai untuk keperluan pekerjaan saja.
            Rasti memberi kecupan kilat di pipi Junio.
            “Kok cepet banget ciumnya?”
            Junio menarik lengan Rasti, ingin mencium wanita itu. Rasti menggeleng sambil melirik pak sopir. Junio mengerti istrinya malu karena ada orang disana. Padahal PDA (Public Display Affection) kadang menarik dan bisa membuat orang iri.
            “I love you...” bisik Junio di telinga Rasti.
            “I love you more... and more...” balas Rasti. Kemudian dia menoleh ke Junio.
            Saat itulah Junio mengambil kesempatan. Mereka bersatu.
            Junio akhirnya tahu... dia bisa mencintai perempuan ini. Sangat mencintainya.

Catatan perjalanan bulan madu Junio dan Sarah:

Hari 1 Sampai di Lombok
Bukit Malimbu, tempat yang indah dan romantis dan disanalah mereka melakukan Sunset Tour setelah check in di hotel. Panorama yang mengagumkan mengelilingi mereka. Junio memeluk Rasti saat mereka menatapi langit jingga di cakrawala.

Hari 2 Lombok
Makan pagi di hotel, kemudian pasangan ini dijemput demi mengunjungi objek pertama dari Sasak Traditional Tour, yaitu: Desa Banyumulek pusat kerajinan Gerabah dari tanah dengan kualitas export. Desa Sukerare salah satu Kampung Tenun tradisional dengan motif dan desain yang menarik dan artistik. Kemudan, mereka menuju Desa Sade, yang terkenal sebagai  salah satu Desa Adat Sasak yang didiami oleh suku Asli Sasak yang masih mempertahankan budaya dan tradisi yang unik.
Siangnya mereka menuju Pantai Kute untuk menikmati makan siang di salah satu restoran romantis di sana. Setelah makan siang perjalanan di lanjutkan menuju Pantai Tanjung A'an yang menurut para penduduk adalah salah satu pantai yang terindah dengan pasir putih dan panorama alam sekitar yang menakjubkan. Memang benar!
Junio dan Rasti mensyukuri hidup mereka di sini.

Hari 3: Pulau Gili Trawangan
Tur kali ini bernama Gili Trawangan Tour. Merek menuju Pelabuhan Bangsal untuk menyebrang ke Pulau Gili Trawangan. Aktifitas di Gili adalah berenang dan snorkeling sambil melihat terumbu karang yg sangat bagus.

Hari 4: Lombok, terus kembali ke Jakarta
Makan pagi di hotel, jalan-jalan keliling kota sambil belanja untuk oleh-oleh. Kemudian ke airport untuk kembali pulang ke Jakarta.

Lombok begitu indah. Apalagi pantai di Pulau Gili yang kekayaan lautnya membuat kagum Rasti. Dia dan Junio banyak menghabiskan waktu di pantai. Saat paling berkesan adalah waktu mereka ikut kegiatan snorkeling. Bagi Rasti inilah pengalaman pertamanya. Junio dengan sabar membantu Rasti. Pelan-pelan saja dulu.
            Saat mereka menyelam di permukaan air yang berpasir putih tangan mereka saling menggenggam.

Malam itu, setelah mereka kelelahan mengikuti tur, mereka mengistirahatkan tubuh dengan pijat. Saat kembali ke kamar badan terasa sangat lega. Rasti menemukan sebuah botol anggur di atas tempat tidur mereka. Sepertinya ini pelayanan ekstra dari hotel.
            Junio yang kulitnya sedikit menggelap terbakar matahari semakin membuatnya seksi di mata Rasti. Wanita itu tak puas-puasnya menatapi tubuh suaminya. Benar, dia adalah seorang Pangeran, pikir Rasti.
            “Aku tuangkan dulu buat Mas,” kata Rasti.
            Junio dengan sabar duduk di atas tempat tidur. Rasti mengambil gelas di atas nakas, menuangkan untuk mereka berdua, kemudian memberikannya pada Junio.
            Sambil menikmati minuman itu, mereka mengobrol. Rasti berada dalam pelukan Junio, bersandar pada tubuh pria itu. seperti sebelum-sebelumnya, dia mendengar detak jantung yang cepat dari dada Junio. Dia senang merasakannya.
            “Kamu bahagia, sayang?” bisik Junio pada telinga Rasti.
            “Bahagia banget. Kamu?”
            “Mungkin ada hari-hari yang lebih indah di masa depan, tapi hari ini pun sudah sangat indah. Ada kamu.”
            “Ada kamu.”
            Sejenak, mereka menikmati suasana malam yang hening. Hanya detak jam yang bersuara. Junio mengeratkan pelukannya.
            “Sayang?” panggil Rasti.
            “Ya, sayangku?”
            “Boleh tanya sesuatu?” tanya Rasti. Junio mengiyakan dengan berbisik di telinga Rasit dan mencium telinga itu. Rasti geli tapi menikmati.
            “Kamu inginnya kita mempunyai berapa anak?”
            “Kok udah mikirin itu, sih? Kita nikmatin waku bedua dulu, oke?”
            “Aku cuma ingin kita sepakat dalam perencanaan seperti ini,” kata Rasti. Dia suka dengan perencanaan, hal yang membuatnya bisa jadi senior account officer di kantornya. “Kalau tidak direncanakan, semua bisa kacau.”
            “Ssstt... nggak ada suatu hari dimana semua kacau.”
            Rasti mengiyakan dan teringat bahwa dia ingin mengurangi sikap irasionalnya, termasuk ‘jangan lakukan generalisasi hanya karena satu hal’. Maksudnya jangan menganggap hari itu buruk hanya karena beberapa kejadian yang tidak mengenakkan.
            “Aku benar-benar ingin membicarakannya,” desak Rasti.
            “Kita biarkan mengalir aja...”
            “Tapi...”
            Rasti mempunyai karir sendiri, dia masih punya keinginan untuk menaikkan jabatannya. Jika dia tidak tahu kapan seorang anak hadir diantara mereka, bagaimana dia bisa mengatur perencanaan karir?
            “Kamu tak usah takut sama masa depan. Pernikahan itu membawa berkah. Tuhan menolong hambanya yang menikah karena menyempurnakan sikap dalam mempercayai-Nya.” Tiba-tiba Junio merasa jadi seperti Fiki.
            Rasti tak mengerti jalan pikiran suaminya. Lihat! Mereka berbeda pendapat sekarang.
            “Setelah menikah rezeki makin lancar, banyak anak makin banyak rezeki...,” kata Junio.
            Rasti tak menyangka pria metropolitan seperti Junio bicara seolah dia masyarakat desa yang percaya ungkapan itu. Hei, Rasti nanti yang akan hamil, melahirkan, dan mengasuh anak mereka. Padahal masa depan karir Rasti masih bagus.
            “Kamu pengen punya anak secepatnya?” tanya Rasti.
            “Kamu bisa memberikan secepatnya?”
            Rasti ragu. Dia menggeleng.
            “Aku hanya bisa serahkan itu pada Tuhan. Dia tahu kapan terbaik untuk memberikan seorang buah hati pada kita. Tuhan pasti sayang istriku.” Kemudian Junio mencium puncak kepala Rasti. Pelan-pelan ditidurkannya lagi wanita itu.
            “Junio...”
            “Ya?”
            “Aku hanya ingin kita berdiskusi tentang semua hal yang harus ditanggung bersama. Aku tak mau keluarga kecil kita gagal seperti yang lain. Ini kota besar, di zaman modern... terlalu banyak godaan. Tapi aku yakin kita bisa melaluinya. Kamu?”
            “Tentu saja, karena kamu, aku ada disini. Dalam perasaan yang bahagia. Aku yakin kita akan tetap bersama sampai uban kita rontok semua. Sampai ujung waktu.”
            Sebuah ciuman mendarat di bibir mereka. Dalam.

Bersama-sama orangtua Rasti, dia datang ke rumah Junio, yang akan jadi rumah mereka membina rumah tangga. bahasa puitisnya: mengarungi bahtera rumah tangga. Rasti geli sendiri mendengar kata-kata itu.
            Rumah ini tidak berada di kawasan super elit. Hanya komplek yang permai dengan rumah-rumah berarsitektur indah. Rumah mereka pun termasuk yang indah, apalagi karena baru dicat ulang dan taman yang baru dirapikan. Rumah itu dua tingkat, berpagar setinggi tubuh orang dewasa, bercat kuning yang sangat lembut. Depannya memiliki teras lengkap dengan meja kopi dan air mancur mini.
            Rasti masuk ke dalam. Di dinding, sudah terpajang foto-foto pernikahan mereka. Cantik sekali. Ditambah pula foto keluarga Rasti dan foto Ibu Junio. Semua berada dalam satu bidang dinding. Selain dinding itu, Junio memasang lukisan indah.
            Pasti Junio sudah memperkerjakan perancang interior yang profesional, pikir Rasti. Hasilnya sangat bagus dan elegan. Keluarga Rasti pun tak henti-hentinya menggumamkan kagum pada Junio.
            “Dulu, saya dan ibu yang tinggal disini berdua. Kemudian saya sendirian. Namun, mulai saat ini ada lagi yang menemani,” kata Junio.
            Mama Rasti memberikan satu pelukan pada menantunya yang baik hati ini.
            Saat di sebuah ruangan, Rasti sengaja menanti agar dia berdua saja            dengan mamanya. Dia menarik lengan mamanya untuk membicarakan sesuatu yang tidak boleh didengar orang lain.
            “Apa aku mesti ajak ibu Junio tinggal bersama kami?” tanya Rasti.
            “Apa dia minta begitu?” Mamanya malah bertanya balik.
            “Bukan. Ini hanya ideku saja. Menurutku lebih baik ibunya dirawat dirumah ini dan perawat profesional kami sewa.”
            “Mama tahu maksud kamu baik. Tapi kalian pengantin baru, masih ingin merasakan momen berdua.”
            “Iya juga, sih. Aku cuma nggak tega lihat beliau kesepian di panti jompo.”
            Mama Rasti menepuk pundak putrinya. Salah satu hal yang dia kagumi dari Rasti adalah rasa kemanusiaannya yang tinggi, dia selalu kasihan melihat orang yang menderita. Buktinya saja dia menyumbang banyak uang untuk anak satpam di kantornya, hanya karena si anak hampir putus sekolah.
            “Kalian berdua ngantor, terus ibu Junio ditinggal sama perawatnya. Tetap saja kesepian. Panti jompo bukan sesuatu yang buruk. Paling tidak di sana beliau punya teman yang seusia.”
            Rasti mengerti dan tak melanjutkan lagi topik itu.
            “Omong-omong, kamu belum cerita tentang honey moon-mu...?” tanya mama dengan mata berkedip-kedip.
            Rasti tertawa melihatnya dan dia berjanji untuk menceritakan A-Z pada mamanya besok.

Jika kemaren Rasti sempat terpikir untuk mengajak ibu Junio untuk tinggal bersama, sekarang, saat dia gosok gigi di ruamh barunya, dia takut kalau Junio yang mengatakan permintaan itu.
            “Ras, gimana kalau ibu tinggal di sini. Sekarang sudah ada kamu yang bisa ngurus beliau, kan?”
            “Tapi, Mas, aku kan kerja... karirku di masa depan bagaimana?”
            Buru-buru Rasti menepis khayalan itu.
            Sejak lama Rasti mendapat kesan bahwa anak yang menginapkan orangtua mereka di panti jompo  adalah anak yang belum berbakti. Tapi akhirnya dia tahu, kalau alasannya kuat dan tidak tercela, panti jompo adalah salah satu pilihan. Kadang seorang yang sudah tua membutuhkan perawatan khusus dan tempat kondusif.
Menunjukkan kasih sayang berbakti juga, kok. Rasti melihat pada kasus ibu Junio.
            Dia keluar dari kamar mandi masih berpiyama. Dilihatnya Junio yang tidur seperti malaikat. Sebenarnya Junio kadang-kdang mengorok, tapi pelan sekali seperti hembusan nafas seorang bayi. Rasti mengagumi sosok itu setengah mati. Ingin dia tidak membangunkan Junio agar dia bisa memandang wajah indah itu seharian. Tapi tidur sepanjang hari tidak baik untuk kesehatan.
            “Sayang...,” Rasti naik ke tempat tidur dan memeluk suaminya. “Ayo bangun... aku akan membuatkan sarapan.”
            “Hmmmm? Masih ngantuk...”
            “Ayo, dong... jangan malas-malasan. Kita kan masih harus tur?”
            Junio bergerak, mengalihkan wajahnya ke wajah istrinya. “Kita masih di Lombok, ya? Tur apa lagi?”
            “You wish. Aku bikin sandwich saja, ya?”
            “Apa pun akan kumakan.”
            Junio memberikan ciuman pada Rasti.
            “Eeww, aku sudah gosok gigi, kamu belum!!” protes Rasti tapi dia bukannya menghindar malah menerima lagi satu kecupan.


Seharian, Junio dan Rasti hanya ada di rumah saja. Mereka sarapan di ruang keluarga sambil menonton televisi. Rasti bersandar pada tubuh Junio. Mereka pun saling menyuapi.
            “Sayang, kabar ibu gimana, ya?” Rasti membuka pembicaraan.
            “Kamu kangen, ya?”
            Rasti mengangguk. “Kita ke sana nati, yuk?”
            Rasti setuju saja.
            Kemudian suasana hening, hanya suara presenter acara kuis di televisi yang heboh. Rasti menantikan sesuatu keluar dari mulut Junio. Apa suaminya akan meminta ibu mereka tinggal disini?
            Hingga sepuluh menit, tak ada kata dari Junio.
            “Kok diam, sayang?” tanya Junio, dikecupnya puncak kepala Rasti.
            “Nggak kenap-kenapa. Aku hanya ingin menikmati berdua dengamu.”
            Sekali lagi mereka mengucapkan “I love you”.
            Sepertinya tak ada hal yang mesti ditakutkan Rasti tntang ibu Junio. Jika suatu saat mereka siap, mereka pasti akan membicarakan hal ini. Benar kata mama Rasti, nikmati saja waktu berdua dulu...


***
Hawa ruangan itu dingin, dan dia ingin ruangan itu semakin dingin agar dirinya semakin malas keluar dari kamarnya. Selimut yang tebal membalut tubuhnya. Lampu dikamarnya masih redup... dia bahkan berharap ini adalah kuburannya.
            Kenapa manusia bisa mempunyai kemampuan untuk membayangkan sesuatu? Jadinya kita bisa membayangkan sesuatu yang menyebalkan. Apalagi bagi orang yang patah hati.
            Dia ingin menghapus imajinasi itu dari kepalanya tapi sulit.
            Faktanya adalah mereka sudah bersama, bersatu dalam penikahan yang sah. Sedangkan dirinya hanya seonggok daging yang ditinggalkan. Berada pada daftar nama orang-orang yang tak akan bahagia walau melakukan apa pun. Daftar manusia yang tak bisa mencintai dengan arah yang tidak salah.
            Suara ketukan terdengar dari balik pintu. Kemudian suara mamanya memanggil.
            “Andy? Andy?” Mamanya mengetuk lagi. “Kamu nggak pergi kerja, sayang? Apa nggak ada syuting hari ini?”
            “Aarrgghh!” Kesal sekali pria itu karena diganggu sang mama.
            Untuk apa dia pergi kerja kalau hatinya sangat kacau? Untuk apa? Lagipula dia hanya mendapat peran figuran di sinetron yang ratingnya pun tidak tinggi. Untuk apa dia menghabiskan waktu jika perkembangan karirnya tak pasti.
            Dulu, dia punya alasan pasti kenapa dia melakukan itu semua. Dulu, ada seseorang yang meberinya semangat setiap kali merasa down.
            Walaupun kebersamaan mereka tak sampai satu tahun, tapi sudah begitu banyak cerita.
            Sekali lagi wanita yang melahirkannya mengetuk pintu itu.
            “Andy!! Bangun, nak!”
            “IYA!! Bawel!”
            Dengan sangat marah dia berjalan menuju pintu, membukanya.
            Saat mamanya melihat Andy dalam keadaan kacau, rambut kusut, mata memerah, dan pakaian lusuh, dia langsung menangis. “Kenapa anak mama seperti ini? Ada masalah apa, Nak? Cerita sama mama...”
            “Nanti saja, Ma. Aku mau mandi dulu.”
            Andy pergi ke kamar mandi dengan gusar. Mamanya meminta dia bercerita? Bah! Tak mungkin beliau akan mengerti! Tak ada yang bisa mengerti! Tak ada yang mau mengerti!
Bahkan Tuhan!
            Andy kesal setiap kali teringat Tuhan yang telah menciptakannya seperti ini.
            Untuk apa?
“Untuk membuatku menderita?”
Dibantingnya odol ke kaca kamar mandi. Retak. Bayangan wajahnya pun retak. Kaca bisa diganti atau diperbaiki, sedangkan hatinya yang retak, tidak.

0 comments:

Post a Comment

 

Pertemuan Cinta Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos