Pernikahan bagaikan sebuah ending
di cerita dongeng. Happy ending.
Ingat saja bagaimana gembiranya Cinderella yang berubah dari upik abu menjadi
seorang putri karena ditemukan sang pangeran, kemudian mereka menikah dan
bahagia. Bagi para wanita yang baru menikah, suami mereka laksana sang pangeran
berkuda putih yang menjemput dan memperlakukan mereka selayaknya putri
kerajaan.
Walaupun kenyataan tidak
sama dengan dongeng.
Kalau dibanding-bandingkan,
Rasti merasa dia seperti Cinderella, hanya saja dia bukan upik abu, tapi
seorang wanita yang menderita dalam perjalanan cinta dan menjalin hubungan
dengan pria. Dia dikecewakan para mantannya. Sedangkan Junio, mencari
pasangannya—seperi pangeran mencari pemilik sepatu kaca—yang sesuai dengan
hatinya. Mereka bertemu dalam waktu yang tak pernah dibayangkan... pertemuan
cinta. Kemudian menikah dalam waktu yang cepat.
Bukankah Pangeran segera
mengajak Cinderella menikah setelah dia tahu satu-satunya wanita yang kakinya
cocok pada sepatu kaca adalah gadis ini? Padahal karakter atau sifat perempuan
itu belum diketahuinya luar dalam? Mungkin cinta mereka kembang dalam satu
malam.
Itu sempat Rasti pikirkan
saat dia masih larut dalam kebahagiaan di pesta pernikahan. Melihat semua
pesiapan yang melelahkan dan hasil yang setimpal, Rasti bahagia. Sangat
bahagia.
Siang hari dia tampak
menikmati, tapi masalahnya dia malah ketakutan saat hari berganti malam dan
pesta berakhir! Dia kangen dengan huru hara saat persiapan pernikahan. Meski
pun kekesalan, kekacauan dan panik juga mewarnai, dia puas memberikan itu
semua. Rasti merasa energinya disalurkan untuk hal yang bernilai.
Kini dia akan berada di
kehidupan semula. Hanya saja sekarang dia tidak sendiri. Ada seorang yang
mendampinginya.
Dia sangat yakin saat
pernikahan itu berlangsung...
Namun, semakin malam...
semakin sedikti orang di sekitar mereka, saat hanya keluarga dan kerabat dekat
yang berada di penginapan itu... dia tidak seyakin itu. Imannya turun. Dia
ketakutan setengah mati.
Apa dia telah memilih
orang yang salah? Bayangkan, baru dua bulan sudah menikah? Seorang penasihat
hubungan di radio pernah meledek wanita yang menikahi pria yang baru dikenal
lima bulan.
“Kamu takut kesepian, ya?” tanya penasihat hubungan itu.
Si penanya sempat ragu dalam menjawab. “Mungkin... ya. Aku
memang takut kesepian.”
“Tapi kamu tahu hal yang lebih menakutkan dari kesepian?
Yaitu saat kamu kesepian karena hidup dengan pria yang salah sepanjang
hidupmu...”
Rasti memandang wajahnya
yang terpantul kaca kamar mandi. Dia memilih Junio. Siapa Junio?
Dia seorang pemilik toko
roti dimana Rasti sangat menyukai es krimnya, dan juga seorang manajer toko
pakaian pria. Junio memakai kacamata dan sangat peduli dangan penampilan, yang
membei nilai tambah. Dia sopan dan sayang dengan keluarga—caranya memperlakukan
ibunya sangat menyentuh. Junio suka menonton berita, membaca koran, dan buku
karena ingin selalu update informasi
dan berita. TV One dan Metro TV adalah stasiun favoritnya. Dia tidak terlalu
tahan dengan pedas dan sangat menyukai yang manis, seperti Rasti. Selain itu
Junio memiliki selera musik yang bagus, balada, orkestra dan jazz.
Dan masih banyak lagi.
Namun, masih banyak lagi
yang tidak dia ketahui perihal Junio. Asing.
Dari balik telepon, mama
Rasti menasihati anaknya. Rasti begitu pusing di malam itu sehingga perlu
menelpon mamanya.
“Post wedding blues,” kata mamanya tentang gejala pada diri Rasti.
“Begini Rasti, pikirkan tentang bagaimana kamu menjalani proses mengenal
pasanganmu. Lewat pernikahanlah dua hati di satukan. Kamu ingat kan, temanmu
yang menikah dengan pacar lima tahunnya, ternyata banyak hal yang disembunyikan
pacarnya itu. Dia suka ngutang tapi nggak dibayar. Jadi, apa kamu yakin dengan
pacaran bertahun-tahun kalian sudah kenal luar dalam. Rahasia kamu saja nggak
semua mama tahu, pasti ada yang kamu sembunyikan.”
“Tapi, ma... kenapa
perasaan ini datang lagi. Rasti ketakutan!” Mata Rasti berkaca-kaca.
“Kalau kamu percaya
padanya dia akan mempercayaimu untuk berbagi rahasia. Suatu masa kalian akan
saling mengerti, saling spontan saja.”
“Ma...”
“Mama tahu suamimu sudah
menunggu. Jangan kecewakan dia. Buat dia bergairah malam ini, sayang!”
Rasti menghela nafas
panjang. Jika sikapnya tetap plin-plan seperti ini, apa yang berubah pada
dirinya? Tidak. Rati tidak mau dia masih bersikap seperti remaja yang labil.
Dia yakin... dia bisa
mempercayai Juno sebagai suaminya.
Pasangan yang salah?
Sepertinya itu tidak ada. Yang ada hanya suami baru yang perlu dimengerti.
Sejam sebelumnya.
Junio menggendong Rasti
dari lobi penginapan, disambut terikan dan tepuk tangan dari semua keluarga dan
kerabat yang hadir melihat mereka. Binar kebahagiaan pada wajah pria itu.
Diberikannya pula satu kecupan dalam dikening Rasti, yang pasti membuat
istrinya melayang ke langit ke tujuh. Kemudian mereka menuju kamar mereka di
lantai tiga.
Semakin mendekati kamar,
dia deg-degan... inilah malam pertama yang dinantikannya. Sekaligus hal yang
membuatnya cemas.
Rasti menutup mata bahkan
hingga sampai di dalam.
“Aku mau mandi dulu,”
kata Rasti.
Junio tertegun, apakah
dia harus meminta mereka mandi bersama?
“Kamu mau aku ikut?”
tanya Junio. Kemudian dia menyesali pilihan katanya. Seharusnya dia mulai
merayu dan memeluk Rasti, mengajak istrinya ke kamar mandi.
Rasti menggelang. “Kita
mandinya setelah itu saja..., oke?”
Tanpa protes Junio
mengiyakan. Dia duduk sebentar di atas kasur kamar pengantin yang didekorasi
indah serta bergaya etnik itu.
Kemudian mengambil ponsel yang ada di nakas. Dia ingin
menelpon seseorang. Fiki. Junio berjalan menuju balkon agar suaranya tak
terdengar oleh Rasti. Pintu kaca balkon pun ditutupnya.
Angin malam bertiup ke tengkuk Junio.
“Halo, Fik. Lu lagi dimana? Gue nggak ganggu, kan?” tanya
junio segera.
Fiki malah tertawa di seberang. “Harusnya gue yang tanya
lo. Kenapa malah nelpon gue di malam pertama? Bukannya malam ini milik kalian
berdua?”
Junio mengabaikan tawa mengejek Fiki.
“Gawat!”
“Gawat kenapa?” tanya Fiki jadi ikut serius.
“Gue ketakutan. Sumpah!”
Fiki berusaha menenangkan sahabatnya. “Kita udah bicarakan
ini berulang kali, Jun. Lo hanya perlu beri hak pada diri lo untuk mencintai
perempuan. Rasti orangnya. Lo nggak perlu takut lagi kalau semua kacau. ada hal
yang bisa diperbaiki, lo berada dalam proses itu. Nikmati saja.”
Junio mencengkeram rambatnya. Pusing.
“Junio? Lo masih hidup, kan?”
“Masih!”
“Lo kuat, jantan, macho.
Lu pasti bisa, Jun.”
Junio masih belum tahu harus bicara apa. Dia harus jujur
pada Fiki. Dia mengatur kata-kata dalam pikirannya.
“Fiki,” panggil Junio. “Gue masih mikirin ‘dia’.”
Tanpa dijelaskan, Fiki paham siapa yang dimaksud
Junio melanjutkan. “Tiba-tiba aja gue merasa dia hadir di
pesta tadi. Wajahnya ada di sana, tapi gue nggak yakin. Semua seperti khayalan
saja. Gue mikirin dia sepanjang sore ini.”
“Lo suami Rasti, lho, Junio. Jangan mikirin yang lain,
oke?”
Fiki membuat Junio kesal. Ini masalah serius dan jawaban
tadi membuat Junio kecewa.
“Ini datang begitu aja,” bela Junio tentang perasaannya.
“Setan yang goda lo. Setan yang nyuruh lo peduli lagi
dengan masa lalu itu.”
“Sialan lo, Fik. Sekarang lo ngomong gue tersesat?”
Junio menjadi semakin panik. Dia mencuri-curi lihat ke
dalam kamar, dilihatnya sosok Rasti masih belum tampak. Untunglah.
“Sabar, bro. Lo
tahu kalau malam pertama adalah penantian semua pria. Termasuk lo! Lo pria yang
malam ini akan membehagiakan istri karena permainan yang mantap! Dunia serasa
milik berdua karena yang lain ngontrak!”
Junio tertawa juga mendengar lelucon payah sahabatnya.
“Jadi, fokus ke permainan sama Rasti aja, nih?”
“Yup. Never regret.
Besok-besok jangan lupa cerita gimana malam ini, oke?” goda Fiki.
“Uh, enak saja.”
“Tutup telpon ini, kalau perlu buang ke tong sampah. Rasti
pasti sudah menunggu, kan?”
Junio masih merasa ketakutan.
“Tarik nafas, Jun. Bernafas itu cara paling dasar untuk
menenangkan jiwa. Coba teknik 4-7-8”
Junio melakukannya. Caranya
adalah dengan menghirup napas dari hidung selama 4 hitungan, tahan napas selama 7 hitungan, dan
hembuskan napas dari mulut selama 8 hitungan. Nikmati rasa rileks yang hadir di
tubuh dan pikiran.
“Udah rileks?” tanya Fiki.
“Dikit.”
“Coba lagi bernafas entar. Tapi tutup dulu telpon ini! Dan
selamat menghangatkan malam!”
Sambungan teputus. Junio memasukkan ponselnya ke saku
pakaian pernikahannya.
Junio melihat ke ruangan dan Rasti belum keluar.
“Aku lama banget, ya Mas?” tanya Rasti saat dia keluar dari kamar mandi
dengan jubah mandi bewarna putih.
Junio menelan ludahnya.
Siapa pun tak akan menyangkal keelokan tubuh wanita itu. Walaupun Rasti
mellilitkan jubahnya dengan erat, tetapi lekuknya masih membuat godaan. Junio
menetapkan dalam pikirannya... dia memang tergoda dengan tubuh itu.
“Mas mau mandi dulu,
boleh?”
Rasti mengangguk. Dia
akan menunggu di ats tempat tidur. Hatinya sudah diberi semangat dan keyakinan.
Kini saatnya dia mencoba peruntungan malam ini. Bagaimana rasanya di dekap pria
segagah itu? Apakah dia akan memberi rasa yang diinginkan Junio?
Berbeda dengan Rasti,
suaminya mandi cepat. Salah satu yang membuat Rasti geli dan tersenyum adalah
Junio begitu terburu-buru. Apa dia tak bisa sabar? Tanpa sepengetahuan Rasti,
ternyata Junio begitu gugup sampai-sampai ingin semua cepat berlalu.
Kemudian, mereka saling
menatap.
Mata Rasti turun ke dada
bidang milik Junio. Dia akan bersandar diatas kulit yang putih dan sedikit
berbulu itu? Bagaimana rasanya? Rasti bahkan ingin melepas jubah yang dipakai
Junio. Dia ingin menemukan hal yang seharusnya dia dapatkan di malam pertama
ini. Namun, Rasti malah menunjukkan sikap malu-malu.
Jubah Junio sengaja
dilonggarkan. Dia pikir itu akan merangsang Rasti. Dia memang berhasil dan
tinggal selangkah lagi.
Satu sentuhan.
Junio duduk di depan
Rasti, mengulurkan kedua tangannya. Jemari pria itu mencoba menelusuri wajah
bersih Rasti, memberikan sensasi pada perut Rasti. Dia mencoba tetap kokoh
bersandar dengan tangan menopang. Kemudian tangan Junio turun ke dagu dan
akhirnya berhenti di tengkuk Rasti.
Junio meyakinkan dirinya,
dia harus maju terus.
Dia mendekatkan duduknya
pada tubuh Rasti. Kemudian tangan kanannya merangkul pinggang Rasti. Tangan
satu lagi menuntun wajah Rasti mendekat pada wajah Junio... dan bibir mereka
bersatu. Nafas yang memburu melebur dalam belaian lembut dan hangat. Junio
menahan detak jantung yang terasa hampir copot. Sedangkan Rasti kehilangan
takut itu, dia semakin tahu siapa Junio ini.
Seorang pencium yang
hebat.
“Rasti,” panggil Junio
mesra.
“Ya, Mas Junio?”
“I love you. More than I can say.”
“I love you too...” jawab Rasti. Kemudian dalam hati dia
menambahkan, “I trust you, more than I can say.”
Dada masing-masing
meledak dalam gairah dan kebahagiaan. Pelan dan jantan, Junio menidurkan pujaan
hatinya.
Malam itu menjadi
kenangan yang tak akan terlupakan.
“Tiket pesawat udah? Vouchcer
hotel? Pakaian kamu udah semua, pakaian renang?” pertanyaan bertubi-tubi itu
dilontarkan mama Rasti. Beliau yang menunggu bersama Rasti di teras rumah
mengecek semua tas Rasti.
“Aduh, kok jadi mama yang
panik?” protes Rasti.
Riana hanya tertawa
melihat ibu-anak itu.
“Kamu sering kelupaan
kalau bawa sesuatu, Ras.”
“Mama aja yang sering
bilang begitu. Jadinya malah benar-benar kelupaan... coba kalau nggak perlu
khawatir, semua beres. Ya, kan, Na?”
Riana mengangguk. “Kakak
udah jadi istri orang, Ma. Masa masih dikhawatirin juga.”
Mama Rasti malah manyun. “Mama maunya kamu baik-baik
saja.”
Rasti tidak tega
menyakiti hati mamanya, dipeluknya sang mama. “Ketahuan jelas darimana sifat
suka panikan nurun padaku. Tapi, bantuan mama saat malam itu super duper. Semua
terselamatkan!”
Mama menempelkan kepala
Rasti ke pundaknya.
“Ikutan, dong!” sela
Riana. Dia meleluk mamanya dari sisi yang berlainan.
“Semua yang berawal dari
keluarga, akan berakhir di keluarga. Sebuah keluarga baru yang dimulai dengan
bahagia jangan berakhir begitu saja. Sulit namun menantang.”
Rasti mengendapkan
kata-kata mamanya dalam hati.
Junio hadir kembali ke rumah keluarga Rasti untuk menjemput istrinya.
Mereka akan pergi bulan madu. Pilihan mereka adalah pulau lombok yang memiliki
pantai yang indah. Tak kalah indah dengan Bali yang sudah terkenal ke
mancanegara. Indonesia memang kaya, jadi kenapa harus memilih bulan madu ke
luar negeri padahal di negeri sendiri menyimpan berjuta keindahan alam.
Junio dan Rasti bepamitan
dengan semua anggota keluarga. Mama Rasti menangis lagi dalam kebahagiaan.
Junio senang semua bisa menerima dirinya dengan begitu baik meski kadang rasa
bersalah menyelusup, menggodanya.
Junio fokus melihat
wanita yang menjadi pendampingnya. Untung saja mereka diantar sopir, jadi
dengan puas dirinya bisa menatap rupa cantik Rasti.
Rasti, karena
diperhatikan begitu dalam, malu-malu dengan membuang muka ke jendela. Dia
sesekali mencuri-curi pandang pada Junio. Hal itu membuat mereka tertawa karena
konyol sekali. Rasanya masa SMA kembali mereka bawa. Malu-malu tapi mau,
barangkali.
“Kamu kok cantik,
banget?” tanya Junio. Tangannya dia jejalkan ke tangan Rasti. Satu menggenggam
yang lain. “Apa nggak ribet?”
“Ribet kenapa?”
“Banyak yang suka...”
Rasti memutar bola
matanya. “Gombal deh. Udah jadi suami gini masih gayanya kayak pacar.”
“Banyak yang bilang kalau
abis nikah itu masih pacaran, biar asyik. Kalau enggak kapan
sayang-sayangannya.”
Rasti senang saat Junio
seperti ini. Dia senang pria ini mengeluarkan semua kemampuannya untuk membuat
lelucon. Junio yang pendiam dan serius mohon disimpan dulu. Silakan pakai untuk
keperluan pekerjaan saja.
Rasti memberi kecupan
kilat di pipi Junio.
“Kok cepet banget
ciumnya?”
Junio menarik lengan
Rasti, ingin mencium wanita itu. Rasti menggeleng sambil melirik pak sopir.
Junio mengerti istrinya malu karena ada orang disana. Padahal PDA (Public Display Affection) kadang menarik
dan bisa membuat orang iri.
“I love you...” bisik Junio di telinga Rasti.
“I love you more... and more...”
balas Rasti. Kemudian dia menoleh ke Junio.
Saat itulah Junio
mengambil kesempatan. Mereka bersatu.
Junio akhirnya tahu...
dia bisa mencintai perempuan ini. Sangat mencintainya.
Catatan
perjalanan bulan madu Junio dan Sarah:
Hari 1 Sampai di Lombok
Bukit Malimbu, tempat yang indah dan
romantis dan
disanalah mereka melakukan Sunset Tour setelah check in di hotel. Panorama yang
mengagumkan mengelilingi mereka. Junio memeluk Rasti saat mereka menatapi
langit jingga di cakrawala.
Hari 2 Lombok
Makan pagi di hotel, kemudian pasangan
ini dijemput demi mengunjungi objek pertama dari Sasak
Traditional Tour,
yaitu: Desa Banyumulek pusat kerajinan Gerabah dari tanah dengan kualitas export. Desa Sukerare salah satu Kampung
Tenun tradisional dengan motif dan desain yang menarik dan artistik. Kemudan,
mereka menuju Desa Sade, yang terkenal sebagai
salah satu Desa Adat Sasak yang didiami oleh suku Asli Sasak yang masih
mempertahankan budaya dan tradisi yang unik.
Siangnya mereka menuju Pantai Kute untuk
menikmati makan siang di salah satu restoran romantis di sana. Setelah makan
siang perjalanan di lanjutkan menuju Pantai Tanjung A'an yang menurut para
penduduk adalah salah satu pantai yang terindah dengan pasir putih dan panorama
alam sekitar yang menakjubkan. Memang benar!
Junio dan Rasti mensyukuri hidup mereka
di sini.
Hari 3: Pulau Gili Trawangan
Tur kali ini bernama Gili Trawangan
Tour. Merek menuju Pelabuhan Bangsal untuk menyebrang ke Pulau Gili Trawangan.
Aktifitas di Gili adalah berenang dan snorkeling
sambil melihat terumbu karang yg sangat bagus.
Hari 4: Lombok, terus kembali ke Jakarta
Makan pagi di hotel, jalan-jalan
keliling kota sambil belanja untuk oleh-oleh. Kemudian ke airport untuk kembali
pulang ke Jakarta.
Lombok begitu indah. Apalagi pantai di Pulau Gili yang
kekayaan lautnya membuat kagum Rasti. Dia dan Junio banyak menghabiskan waktu
di pantai. Saat paling berkesan adalah waktu mereka ikut kegiatan snorkeling. Bagi Rasti inilah pengalaman
pertamanya. Junio dengan sabar membantu Rasti. Pelan-pelan saja dulu.
Saat
mereka menyelam di permukaan air yang berpasir putih tangan mereka saling
menggenggam.
Malam itu, setelah mereka kelelahan mengikuti tur, mereka
mengistirahatkan tubuh dengan pijat. Saat kembali ke kamar badan terasa sangat
lega. Rasti menemukan sebuah botol anggur di atas tempat tidur mereka. Sepertinya
ini pelayanan ekstra dari hotel.
Junio
yang kulitnya sedikit menggelap terbakar matahari semakin membuatnya seksi di
mata Rasti. Wanita itu tak puas-puasnya menatapi tubuh suaminya. Benar, dia
adalah seorang Pangeran, pikir Rasti.
“Aku
tuangkan dulu buat Mas,” kata Rasti.
Junio
dengan sabar duduk di atas tempat tidur. Rasti mengambil gelas di atas nakas,
menuangkan untuk mereka berdua, kemudian memberikannya pada Junio.
Sambil
menikmati minuman itu, mereka mengobrol. Rasti berada dalam pelukan Junio,
bersandar pada tubuh pria itu. seperti sebelum-sebelumnya, dia mendengar detak
jantung yang cepat dari dada Junio. Dia senang merasakannya.
“Kamu
bahagia, sayang?” bisik Junio pada telinga Rasti.
“Bahagia
banget. Kamu?”
“Mungkin
ada hari-hari yang lebih indah di masa depan, tapi hari ini pun sudah sangat
indah. Ada kamu.”
“Ada
kamu.”
Sejenak,
mereka menikmati suasana malam yang hening. Hanya detak jam yang bersuara. Junio
mengeratkan pelukannya.
“Sayang?”
panggil Rasti.
“Ya,
sayangku?”
“Boleh
tanya sesuatu?” tanya Rasti. Junio mengiyakan dengan berbisik di telinga Rasit
dan mencium telinga itu. Rasti geli tapi menikmati.
“Kamu
inginnya kita mempunyai berapa anak?”
“Kok udah
mikirin itu, sih? Kita nikmatin waku bedua dulu, oke?”
“Aku cuma
ingin kita sepakat dalam perencanaan seperti ini,” kata Rasti. Dia suka dengan
perencanaan, hal yang membuatnya bisa jadi senior
account officer di kantornya. “Kalau tidak direncanakan, semua bisa kacau.”
“Ssstt...
nggak ada suatu hari dimana semua kacau.”
Rasti
mengiyakan dan teringat bahwa dia ingin mengurangi sikap irasionalnya, termasuk
‘jangan lakukan generalisasi hanya karena satu hal’. Maksudnya jangan
menganggap hari itu buruk hanya karena beberapa kejadian yang tidak
mengenakkan.
“Aku
benar-benar ingin membicarakannya,” desak Rasti.
“Kita
biarkan mengalir aja...”
“Tapi...”
Rasti
mempunyai karir sendiri, dia masih punya keinginan untuk menaikkan jabatannya. Jika
dia tidak tahu kapan seorang anak hadir diantara mereka, bagaimana dia bisa
mengatur perencanaan karir?
“Kamu tak
usah takut sama masa depan. Pernikahan itu membawa berkah. Tuhan menolong
hambanya yang menikah karena menyempurnakan sikap dalam mempercayai-Nya.”
Tiba-tiba Junio merasa jadi seperti Fiki.
Rasti
tak mengerti jalan pikiran suaminya. Lihat! Mereka berbeda pendapat sekarang.
“Setelah menikah rezeki
makin lancar, banyak anak makin banyak rezeki...,” kata Junio.
Rasti tak menyangka pria
metropolitan seperti Junio bicara seolah dia masyarakat desa yang percaya
ungkapan itu. Hei, Rasti nanti yang akan hamil, melahirkan, dan mengasuh anak
mereka. Padahal masa depan karir Rasti masih bagus.
“Kamu pengen punya anak
secepatnya?” tanya Rasti.
“Kamu bisa memberikan
secepatnya?”
Rasti ragu. Dia
menggeleng.
“Aku hanya bisa serahkan
itu pada Tuhan. Dia tahu kapan terbaik untuk memberikan seorang buah hati pada
kita. Tuhan pasti sayang istriku.” Kemudian Junio mencium puncak kepala Rasti. Pelan-pelan
ditidurkannya lagi wanita itu.
“Junio...”
“Ya?”
“Aku hanya ingin kita
berdiskusi tentang semua hal yang harus ditanggung bersama. Aku tak mau
keluarga kecil kita gagal seperti yang lain. Ini kota besar, di zaman modern...
terlalu banyak godaan. Tapi aku yakin kita bisa melaluinya. Kamu?”
“Tentu saja, karena kamu,
aku ada disini. Dalam perasaan yang bahagia. Aku yakin kita akan tetap bersama
sampai uban kita rontok semua. Sampai ujung waktu.”
Sebuah ciuman mendarat di
bibir mereka. Dalam.
Bersama-sama orangtua Rasti, dia datang ke rumah Junio, yang akan jadi
rumah mereka membina rumah tangga. bahasa puitisnya: mengarungi bahtera rumah
tangga. Rasti geli sendiri mendengar kata-kata itu.
Rumah ini tidak berada di
kawasan super elit. Hanya komplek yang permai dengan rumah-rumah berarsitektur indah.
Rumah mereka pun termasuk yang indah, apalagi karena baru dicat ulang dan taman
yang baru dirapikan. Rumah itu dua tingkat, berpagar setinggi tubuh orang
dewasa, bercat kuning yang sangat lembut. Depannya memiliki teras lengkap
dengan meja kopi dan air mancur mini.
Rasti masuk ke dalam. Di
dinding, sudah terpajang foto-foto pernikahan mereka. Cantik sekali. Ditambah
pula foto keluarga Rasti dan foto Ibu Junio. Semua berada dalam satu bidang
dinding. Selain dinding itu, Junio memasang lukisan indah.
Pasti Junio sudah
memperkerjakan perancang interior yang profesional, pikir Rasti. Hasilnya
sangat bagus dan elegan. Keluarga Rasti pun tak henti-hentinya menggumamkan
kagum pada Junio.
“Dulu, saya dan ibu yang
tinggal disini berdua. Kemudian saya sendirian. Namun, mulai saat ini ada lagi
yang menemani,” kata Junio.
Mama Rasti memberikan
satu pelukan pada menantunya yang baik hati ini.
Saat di sebuah ruangan,
Rasti sengaja menanti agar dia berdua saja dengan
mamanya. Dia menarik lengan mamanya untuk membicarakan sesuatu yang tidak boleh
didengar orang lain.
“Apa aku mesti ajak ibu
Junio tinggal bersama kami?” tanya Rasti.
“Apa dia minta begitu?”
Mamanya malah bertanya balik.
“Bukan. Ini hanya ideku
saja. Menurutku lebih baik ibunya dirawat dirumah ini dan perawat profesional
kami sewa.”
“Mama tahu maksud kamu
baik. Tapi kalian pengantin baru, masih ingin merasakan momen berdua.”
“Iya juga, sih. Aku cuma
nggak tega lihat beliau kesepian di panti jompo.”
Mama Rasti menepuk pundak
putrinya. Salah satu hal yang dia kagumi dari Rasti adalah rasa kemanusiaannya
yang tinggi, dia selalu kasihan melihat orang yang menderita. Buktinya saja dia
menyumbang banyak uang untuk anak satpam di kantornya, hanya karena si anak
hampir putus sekolah.
“Kalian berdua ngantor,
terus ibu Junio ditinggal sama perawatnya. Tetap saja kesepian. Panti jompo
bukan sesuatu yang buruk. Paling tidak di sana beliau punya teman yang seusia.”
Rasti mengerti dan tak
melanjutkan lagi topik itu.
“Omong-omong, kamu belum
cerita tentang honey moon-mu...?”
tanya mama dengan mata berkedip-kedip.
Rasti tertawa melihatnya
dan dia berjanji untuk menceritakan A-Z pada mamanya besok.
Jika kemaren Rasti sempat terpikir untuk mengajak ibu Junio untuk tinggal
bersama, sekarang, saat dia gosok gigi di ruamh barunya, dia takut kalau Junio
yang mengatakan permintaan itu.
“Ras, gimana kalau ibu
tinggal di sini. Sekarang sudah ada kamu yang bisa ngurus beliau, kan?”
“Tapi, Mas, aku kan
kerja... karirku di masa depan bagaimana?”
Buru-buru Rasti menepis
khayalan itu.
Sejak lama Rasti mendapat
kesan bahwa anak yang menginapkan orangtua mereka di panti jompo adalah anak yang belum berbakti. Tapi
akhirnya dia tahu, kalau alasannya kuat dan tidak tercela, panti jompo adalah
salah satu pilihan. Kadang seorang yang sudah tua membutuhkan perawatan khusus
dan tempat kondusif.
Menunjukkan kasih sayang berbakti juga, kok. Rasti melihat
pada kasus ibu Junio.
Dia keluar dari kamar
mandi masih berpiyama. Dilihatnya Junio yang tidur seperti malaikat. Sebenarnya
Junio kadang-kdang mengorok, tapi pelan sekali seperti hembusan nafas seorang
bayi. Rasti mengagumi sosok itu setengah mati. Ingin dia tidak membangunkan
Junio agar dia bisa memandang wajah indah itu seharian. Tapi tidur sepanjang
hari tidak baik untuk kesehatan.
“Sayang...,” Rasti naik
ke tempat tidur dan memeluk suaminya. “Ayo bangun... aku akan membuatkan
sarapan.”
“Hmmmm? Masih ngantuk...”
“Ayo, dong... jangan
malas-malasan. Kita kan masih harus tur?”
Junio bergerak,
mengalihkan wajahnya ke wajah istrinya. “Kita masih di Lombok, ya? Tur apa
lagi?”
“You wish. Aku bikin sandwich
saja, ya?”
“Apa pun akan kumakan.”
Junio memberikan ciuman
pada Rasti.
“Eeww, aku sudah gosok
gigi, kamu belum!!” protes Rasti tapi dia bukannya menghindar malah menerima
lagi satu kecupan.
Seharian, Junio dan Rasti hanya ada di rumah saja. Mereka sarapan di ruang
keluarga sambil menonton televisi. Rasti bersandar pada tubuh Junio. Mereka pun
saling menyuapi.
“Sayang, kabar ibu
gimana, ya?” Rasti membuka pembicaraan.
“Kamu kangen, ya?”
Rasti mengangguk. “Kita
ke sana nati, yuk?”
Rasti setuju saja.
Kemudian suasana hening,
hanya suara presenter acara kuis di televisi yang heboh. Rasti menantikan
sesuatu keluar dari mulut Junio. Apa suaminya akan meminta ibu mereka tinggal
disini?
Hingga sepuluh menit, tak
ada kata dari Junio.
“Kok diam, sayang?” tanya
Junio, dikecupnya puncak kepala Rasti.
“Nggak kenap-kenapa. Aku
hanya ingin menikmati berdua dengamu.”
Sekali lagi mereka
mengucapkan “I love you”.
Sepertinya tak ada hal
yang mesti ditakutkan Rasti tntang ibu Junio. Jika suatu saat mereka siap,
mereka pasti akan membicarakan hal ini. Benar kata mama Rasti, nikmati saja
waktu berdua dulu...
***
Hawa ruangan itu dingin, dan dia ingin ruangan itu semakin dingin agar dirinya
semakin malas keluar dari kamarnya. Selimut yang tebal membalut tubuhnya. Lampu
dikamarnya masih redup... dia bahkan berharap ini adalah kuburannya.
Kenapa manusia bisa
mempunyai kemampuan untuk membayangkan sesuatu? Jadinya kita bisa membayangkan
sesuatu yang menyebalkan. Apalagi bagi orang yang patah hati.
Dia ingin menghapus
imajinasi itu dari kepalanya tapi sulit.
Faktanya adalah mereka
sudah bersama, bersatu dalam penikahan yang sah. Sedangkan dirinya hanya
seonggok daging yang ditinggalkan. Berada pada daftar nama orang-orang yang tak
akan bahagia walau melakukan apa pun. Daftar manusia yang tak bisa mencintai
dengan arah yang tidak salah.
Suara ketukan terdengar
dari balik pintu. Kemudian suara mamanya memanggil.
“Andy? Andy?” Mamanya mengetuk
lagi. “Kamu nggak pergi kerja, sayang? Apa nggak ada syuting hari ini?”
“Aarrgghh!” Kesal sekali
pria itu karena diganggu sang mama.
Untuk apa dia pergi kerja
kalau hatinya sangat kacau? Untuk apa? Lagipula dia hanya mendapat peran
figuran di sinetron yang ratingnya pun tidak tinggi. Untuk apa dia menghabiskan
waktu jika perkembangan karirnya tak pasti.
Dulu, dia punya alasan
pasti kenapa dia melakukan itu semua. Dulu, ada seseorang yang meberinya
semangat setiap kali merasa down.
Walaupun kebersamaan
mereka tak sampai satu tahun, tapi sudah begitu banyak cerita.
Sekali lagi wanita yang
melahirkannya mengetuk pintu itu.
“Andy!! Bangun, nak!”
“IYA!! Bawel!”
Dengan sangat marah dia
berjalan menuju pintu, membukanya.
Saat mamanya melihat Andy
dalam keadaan kacau, rambut kusut, mata memerah, dan pakaian lusuh, dia
langsung menangis. “Kenapa anak mama seperti ini? Ada masalah apa, Nak? Cerita sama
mama...”
“Nanti saja, Ma. Aku mau
mandi dulu.”
Andy pergi ke kamar mandi
dengan gusar. Mamanya meminta dia bercerita? Bah! Tak mungkin beliau akan
mengerti! Tak ada yang bisa mengerti! Tak ada yang mau mengerti!
Bahkan Tuhan!
Andy kesal setiap kali
teringat Tuhan yang telah menciptakannya seperti ini.
Untuk apa?
“Untuk membuatku menderita?”
Dibantingnya odol ke kaca kamar mandi. Retak. Bayangan
wajahnya pun retak. Kaca bisa diganti atau diperbaiki, sedangkan hatinya yang
retak, tidak.
0 comments:
Post a Comment