Sunday, January 1, 2012

Bab 6 Here We Go Again

Posted by Jason Abdul at 4:13 PM
Rasti terlambat datang bulan, padahal biasanya selalu tepat waktu. Kali ini sudah tiga hari dia tidak menstruasi. Dia memberitahu Junio dan suaminya mengantarkan Rasti ke apotik untuk membeli alat tes kehamilan.
            Namun, kebahagiaan itu sedikit berkurang saat dia melihat hasil alat itu. Jika seseorang hamil, akan ada dua garis yang tampak jelas, sedangkan punya Rasti hanya satu yang jelas dan yang lain buram.
            “Apa aku nggak hamil, Mas?” tanya Rasti menunjukkan pada Junio hasil tes. “Mungkin ini terlambat sebentar, nanti bakal mens lagi.”
            “Sabar aja dulu, Sayang,” kata Junio membelai pipi istrinya.
            “Barangkali Tuhan mengujiku lagi. Dulu nggak mau anak, sekarang menanti-nantikan. Dia sebal kali sama orang plin-plan.”
            Junio tertawa mendengar keluh kesah istrinya. Ekspresi Rasti marah selalu membuatnya tertawa.
            “Malah tertawa! Aku serius, nih!”
            “Coba kita cari tahu di internet, siapa tahu ada jawaban kebingungan ini,” ajak Junio. Dia mengambil laptop, menghidupkannya, kemudian menyalakan koneksi internet. Dengan cepat diketiknya kata kunci pada search engine Google. Begitu banyak pilihan, kemudian dikliknya pada salah satu blog kesehatan.
            Tertulis di sana agar mereka membeli tes kehamilan jenis Hcg+ yang lebih akurat hasilnya. Alat ini bukan memberi indikator dua garis, namun lambang positif (+) atau negatif (-). Untung ada internet, Rasti jadi bisa mengembalikan mood baiknya.
            Aku akan hamil, batin Rasti. Junio akan bahagia.
            Sayangnya, hasil tes lagi-lagi mengatakan Rasti negatif hamil.
Junio memeluk istrinya yang menangis. “Tenang, kita pasti bakal punya anak.”
Sepanjang malam, Rasti menelpon mamanya. Dia curhat segala hal tentang hamil, melahirkan, sampai mengasuh anak.
“Mama memberi kamu ASI eksklusif hingga dua tahun, nggak mau tuh pakai susu formula. Katanya biar anak pintar, padahal hanya ASI pun membuat pintar dan badan bayi lebih sehat.”
“Ma..., Rasti kecewa banget tiap kali hasilnya negatif. Padahal udah beberapa hari terlambat mens.”
“Coba tunggu sekitar tiga hari lagi, Sayang. Terus kamu tes lagi. Oke. Sekarang jaga saja kesehatan, banyakin makan yang bergizi. Jangan sampai tubuhmu terlalu lelah karena kerja. Pikiran  pun mempengauhi. Jadi, Biasakan selalu berfikir positif.”
            Rasti mengiyakan. Kemudian dia kembali melihat alat tes kehamilannya. Masih negatif. Andaikan yang tertera di sana adalah positif, jadi dia bisa berfikir positif.

Riana datang berkunjung ke rumah Rasti. Membuat kakaknya senang bukan main. Dia memang butuh sahabat wanita yang bisa saling mengerti. Rasti menceritakan dia belum hamil, padahal tanda-tanda sudah ada. Rasti makan lebih banyak, mual-mual saat mencium bau menyengat, dan kakinya sangat cepat letih.
            “Sabar aja, Kak. Suatu saat kita semua bakal menyambut kelahiran seorang bayi mungil.” Lalu dia mengambil sebuah Tupperware dari dalam tasnya. “Mama nitip ini buat kakak.
            “Apa ini?”
            “Black forest. Mama lagi kepengen bikin terus di bagi-bagikan.”
            Mata Rasti melihat ke luar, mencari sosok seseorang. Karena tak ada, dia bertanya pada Riana.
            “Kamu nggak bareng pacarmu?”
            Riana menggeleng. “Kami lagi marahan.”
Rasti menanyakan alasannya. Tumben sekali pasangan ini bertengkar.
“Aku sebal sama sikapnya yang kenakak-kanakan. Akhir-akhir ini malah menjadi-jadi, Kak.”
            Rasti tersenyum. Begitulah kalau hubungan pacaran, jika sedang marahan bisa pergi kemana sesuka hati padahal masalah masih ada di sana belum terselesaikan. Jika sudah menikah, mau tak mau masalah harus diselesaikan secepatnya. Tak bisa pura-pura salah satu tidak ada di rumah.
            “Sabar aja. Laki-laki memang kadang bikin kita kayak pengasuh,” kata Rasti sambil teringat pada pacar-pacarnya dulu.
            Lagipula Rasti heran, biasanya Riana dan pacarnya selalu seiya-sekata.
            “Sekarang pikirannya berubah jadi nggak mau nikah dalam waktu dekat.” Riana memutuskan untuk mengatakan hal yang sebenarnya. “Plin-plan atau penakut? Kalau Kakak tahu, kami punya buku catatan sendiri yang berisi rencana jika kami menikah. Malu rasanya kalau baca lagi, kayaknya nggak bakal terjadi.”
            Rasti membelai lembut punggung Riana. “Kalian mungkin memang perlu waktu untuk berpisah sebentar dan merenungkan lagi semuanya.”
            Riana mengangguk. Bibirnya yang dari tadi tertekuk sekarang mengulas senyuman.
            “Sebenarnya, aku ada satu permintaan, Kak,” kata Riana. “Bukan tentang pacarku sih, tapi ada temanku, Laura, yang punya saudara sepupu bernama Hani. Katanya si Hani ini nggak suka sosialisasi sama siapa pun. Jadi, temanku minta aku mau jadi teman si Hani. Sekalian ajarin dia gimana bersikap “normal”. Katanya lagi, si Hani suka ngomong kasar.”
            “Trus, kamu minta apa sama Kakak?”
            “Temani aku, aku perlu lebih banyak orang. Sebenarnya pacarku yang akan ikut, tapi tahu sendiri dia nggak bakal mau.”
            “Oke, nggak masalah, kok. Kapan waktunya?”
            Riana memberitahu tempat dan waktu pertemuan. Di hari itu Rasti memang tidak bekerja, jadi dia akan pergi. Riana mengucapkan terima kasih.


“Wah makanmu banyak, Ras,” komentar Junio melihat Rasti menambahkan nasi di piringnya.
            “Nggak tahu juga, nih. Belum kenyang.”
            Junio tersenyum. “Jangan-jangan perutmu sudah ada isinya?” tanya Junio. Dia tak bisa menyamarkan rasa gembiranya.
            Rasti mengingat-ingat, sudah tiga hari berlalu dari hari dia mengetes kehamilannya. Kemaren dia memang sempat datang bulan lagi, tapi sangat sedikit. Jadi dia mengabaikan tanda-tanda kehamilan apapun. Sekarang dia telat lagi dan nafsu makanya melonjak drastis. Rasti meminta Junio untuk membelikan lagi alat tes kehamilan.
            Pagi itu, Junio dengan sabar menunggu istrinya yang ada di dalam kamar mandi bersama alat tes kehamilan. Detik demi detik tak henti mengalir, tapi Rasti begitu lama. Apa hasilnya negatif lagi?
            Junio mengetuk pintu kamar mandi. Tak ada jawaban. Dia mengetuk lebih keras. Ketukannya menyiratkan ketergesaan bercampur khawatir.
            “Rasti!” Berkali-kali dia memanggil istrinya.
            Kemudian wajah Rasti muncul, kepalanya tertunduk. Junio meraih bahu Rasti dan memeluknya. Biarlah jika mereka belum direstui Tuhan untuk memiliki anak.
            “Maafin aku, Mas...”
            Junio mengecup puncak kepala Rasti, kemudian mengelus punggungnya. “Nggak usah minta maaf. Ini bukan kesalahan siapa-siapa.”
            Rasti tetap tertunduk, “Mas, maaf kalau aku harus membagi perhatianku pada orang lain mulai saat ini.”
            “Eh?” Hanya itu suara yang terdengar dari Junio. Dahinya berkerut.
            “Karena aku mesti merhatiin kandunganku juga!”
            Mulut Junio langsung menganga. Dia menggeleng tak percaya.
            Rasti mengangguk sekaligus tertawa telah berhasil membuat Junio terkejut. “Aku hamil, Mas! Akhirnya!”
            Junio memeluk istrinya erat. “Terima kasih, Sayang...”
            Air mata mereka mengalir, namun ini adalah air mata kebahagiaan.
            “Apa kamu ingin anak laki-laki atau perempuan?” tanya Rasti.
            Junio menggeleng. “Jangan. Jangan pernah meminta jika kita bukan penentunya. Suatu saat kita kan kecewa bila tahu apa yang diminta tidak terkabul. Anak kita yang akan menyesali nantinya.”
            “Kalau begitu aku menyerahkan jenis kelaminnya pada Tuhan,” ucap Rasti.
            “Laki-laki atau perempuan sama saja, kan?”

Mama Rasti kali ini yang berkunjung ke rumah mereka. Beliau sangat gembira mendengar kabar bahagia itu. Bayi yang dinantikan, memberi warna pada keluarga. Setiap saat mama Rasti memberi nasihat pada Rasti agar menjaga kandungannya tetap sehat.
            “Perbanyak minum air, Ras. Wanita hamil rentan dehidrasi dan sembelit. Hindari makanan yang berminyak dan bersantan apalagi kalo lemaknya dari daging,” kata mama Rasti panjang lebar.
            “Ya, Ma.”
            “Anak akan terpengauh pada apa yang ibunya pikirkan. Selalu bepikir positif.”
            “Baik, Ma.”
            “Kamu juga bisa beri dia musik yang katanya bisa membantu perkembangan janin.”
            “Tenang saja, Ma. Aku bisa beli buku tentang kehamilan yang lengkap. Aku akan pelajari semua.”
            “Tentu saja, anakku. Kamu pasti akan lahirkan anak yang tampan... atau cantik. Jadi kalian mau laki-laki atau perempuan?”
            Rasti mengulang jawaban yang sama dengan Junio. “Apa pun kami akan terima.”
            Mama Rasti memeluk anaknya gemas. Dia bahagia.

Rasti merasakan perubahan dalam tubuhnya. Sepanjang hari dia mengamati apa saja yang beda hari demi hari. Bagian bawah perutnya terkadang nyeri. Selain itu Rasti sering mual jika mencium wangi parfum Junio.
            “Apa aku perlu ganti parfum?” tanya Junio.
Berdua mereka pergi ke toko parfum membeli paket yang tidak terlalu menyengat.            
            Setiap pagi Rasti diserang morning sickness, kalau sudah terdengar suaranya dari kamar mandi, Junio akan mengambilkan air minum. Junio berkeras dia yang akan mengambilkan apa yang diperlukan Rasti selagi dia ada di rumah, walau Rasti bisa melakukan sendiri.
            Rasti merasakan kebahagiaan lebih dari yang dikiranya. Junio sangat mencintainya, dan dia tanpa ragu juga mencintai pria itu.
            Disela-sela persiapan pagelaran dua minggu lagi, Junio menyempatkan menemani Rasti membeli pakaian-pakaian longgar. Mereka berbelanja di mal yang sama tempat Kieree berada. Setelah berbelanja mereka pergi ke kantor Junio. Selagi menunggu telpon dari Riana untuk bertemu.
            Kesempatan kali pertama bagi Rasti berada di sana.         
            “Semua karyawan di sini ramah, ya?” komentar Rasti.
            “Tentu, aku selalu menekankan pada mereka unuk selalu tersenyum, menghargai pembeli dan selalu peduli.”
            “Siapa dulu bos-nya.”
            Rasti kemudian mengobrol dengan beberapa karyawan di sana selagi Junio bekerja. Para karyawan sangat senang akhirnya bisa mengenal istri atasan mereka.
            Ponsel Rasti berdering, dilihatnya layar, Adiknya menelpon.
            “Kak, kami udah di restoran lantai dua,” kata Riana memberitahu. “Cepat ke sini ya!”
            “Oke, Na. Apa perlu aku ajak Junio?” kata Rasti sambil melirik suaminya yang sedang duduk di meja kerja dan mengetik.
            “Mas Junio nggak sibuk?” Riana ingin agar yang datang lebih banyak, tapi Junio pasti sibuk.
            “Aku tanyain dulu.” Rasti berjalan menuju tempat suaminya. “Mas, Riana ngajak ketemu sama temannya yang anti sosial itu. mau ikut? Biar ramai.”
            Junio mengalihkan wajahnya dari laptop. “Kamu duluan aja, Ras. Ini sedikit lagi selesai.”
            “Oke. Aku ke lantai dua ya, restoran yang dekat toko kita lihat mainan bayi tadi. “
            Junio mengangguk, kemudian melanjutkan pekerjaannya.

Setiap wanita pasti menginginkan rambut lurus, halus dan hitam bersinar yang dimiliki Hani. Hanya rambutnya, selain itu tidak. Hani mempunyai kulit yang sangat pucat seakan-akan ini kali pertama dia keluar ruangan. Kulit itu cocok dimiliki orang eskimo yang selalu kedinginan. Rasti teringat dengan sebuah film tentang vampir, dimana seluruh vampir memiliki kulit yang super pucat. Apa Hani tahan dengan sinar matahari?
            Matanya bergaya smoky eyes, tapi Rasti yakin itu karena Hani tidak pernah tidur yang cukup. Tubuhnya kurus, seperti hanya kulit yang membalut tulang, bukan daging. Pakaian malah sangat kontras: semuanya hitam, pantas saja hidupnya suram. Pada tubuh sendiri pun tidak menghargai.
            Pikiran itu dibuangnya jauh-jauh, dia sedang hamil, tak baik membicarakan fisik orang lain. Nanti nular ke janin. “Amit-amit jabang bayi,” ucapnya dalam hati.
            Suasana memang terlalu tenang untuk sebuah acara kumpul-kumpul. Rasti jadi tidak nyaman sendiri. Diliriknya sang adik yang juga tidak tahu harus berbuat apa. Riana menatap temannya, Laura, yang ternyata tak jauh beda pendiamnya.
            “Kamu masih kuliah, Han?” Akhirnya Rasti yang mengambil alih keadaan.  Sebagai yang paling tua di sana, dia merasa Riana dan Laura sangat membutuhkan bantuannya.
            Hani hanya menatap Rasti tajam, membuat wanita hamil ini tak nyaman.
            “Udah. Umur gue udah dua lima. Udah dari dulu gue kuliah. Udah tamat!”
            Rasanya cewek ini tidak perlu berbicara sekeras itu. telinga Rasti masih berfungsi dengan baik, kok.
            Sejenak kembali diam. Hanya lingkungan mereka yang ribut.
            Rasti mencoba membicarakan hal lain, kalau menanyakan pekerjaannya apa sepertinya Hani pengangguran. Mungkin Hani seorang programmer atau penulis yang kerjanya bisa dalam ruangan, tanpa berhubungan dengan orang selain lewat email dan internet?
            “Kerja apa, han?” Tak ada salahnya mencoba pertanyaan ini, pikir Rasti.
            “Penulis.”
            Dugaan Rasti tepat. Hani seorang penulis. Sekarang dia hanya perlu mengembangkan obrolan ini biar lebih hidup. Kebetulan pula Rasti sangat menyukai mmbaca. Membaca adalah cara untuk mengetahui banyak hal tanpa perlu ke sekolah. Rasti juga mengagumi pekerjaan penulis.
            “Benarkah? Aku suka membaca. Kamu nulis apa?”
            Sepertinya Hani senang ditanya tentang apa yang dia tulis. Intonasi bicaranya berubah jadi lebih sopan. Laura dan Riana tidak menyangka.
            “Gue nulis tentang kehidupan ini. Kehidupan yang manusia jalani.”
            “Interesting,” kata Rasti sambil memberikan perhatian penuh pada ucapan Hani. Tubuhnya sedikit condong dan kepalanya mengangguk-angguk.
            “Gue nulis tentang kematian.... Orang-orang merasa mereka hanya hidup sekarang. Cuek sama kematian yang lebih dekat dengan kita.”
            Lagi-lagi Rasti mengangguk.
            “Gue  juga menulis tentang bunuh diri. Beberapa cerpen gue tentang bunuh diri banyak dibeli online oleh orang-orang.”
            Tentu saja, pikir Rasti, tak mungkin ada penerbit yang menerbitkan buku menyesatkan seperti itu. Kalau pun ada pasti sudah dibekukan pemerintah.
            “Lo mau baca?” Hani menawarkan.
            Rasti tak yakin cerpen-cerpen Hani baik untuk kesehatan ibu  dan calon bayi.
            “Boleh. Aku senang banget. Gratis, kan?”
            Hani mengambil ponsel Rasti yang terletak di atas meja begitu saja tanpa basa basi. Dia mengetik sesuatu.
            “Ini email gue. Tinggal lo kirim email kosong biar langsung subcribe dan dapat satu cerpen gratis. Cerpen yang lainnya bisa dibeli. Ada informasi harganya, kok.”
            Tak ada yang gratis, termasuk “penyesatan diri” yang ditulis Hani. Rasti hanya tersenyum. “Terima kasih, ya!”
            Akhirnya pesanan mereka datang.
            “Kita makan dulu, yuk!” ajak Laura. Sepertinya Laura tak jauh berbeda dengan Hani, hanya lebih sering bersosialisasi. Apa keluarga mereka memang vampir berkulit pucat?
            Rasti tersenyum karena pikirannya sendiri.
            “Kamu udah punya pacar, Hani?” tanya Rasti, tidak suka jika mereka hanya diam.
            “Nggak ada sejak tahun dua kuliah.”
            “Kenapa tuh?”
            “Ngapain nanya-nanya?!” teriak Hani. Ups, Rasti keliru mengajukan pertanyaan.
            “Kasih tahu aja, Han. Kalau perlu bilang kemampuan yang kamu bangga-banggakan itu,” sahut Laura.
            Rasti penasaran, begitu juga Riana. “Kemampuan apa?”
            “Gue punya gay radar,” jawab Hani pelan, seperti takut orang lain mendengar.
            Rasti dan Riana hanya tersenyum tidak mengerti. Mereka memang tahu kalau di Jakarta sudah banyak orang-orang homoseksual. Mereka hanya tak mengerti istilah-istilah yang sangat asing itu.
            “Biasanya cuma cowok gay saja yang punya. Gay radar itu kayak sensor yang bikin seorang gay tahu apakah orang disekitarnya gay ato nggak.”
            Rasti mengerutkan kening, membuat Hani perlu menjelaskan lebih banyak.
            “Cowok gay bisa tahu seseorang sama kayak dia hanya lihat dari gaya berpakaian, sikap, atau gaya bicara. Sesimpel itu.”
            “Kalau cuma cowok gay yang punya, kamu kok bisa?” tanya Riana.
            “Karena mantan alias pacar terakhir gue ternyata gay!” Tiba-tiba Hani memukul meja. Sepertinya dia teringat sebuah kenangan buruk. “Aku ditinggalin gara-gara cowok lain. Padahal ia cinta mati gue selamanya!!”
            Tak berapa lama emosinya kembali normal. Hani melanjutkan makan. “Jadi gue pelajari semua tentang gay. Gue mulai ikutan milis komunitas fag hag dan...”
            Rasti tak tahu istlilah aneh itu lagi. Fag...—apa?
            “Fag hag itu cewek yang punya temen gay atau cewek yang punya interest terhadap cowok gay. Tapi para cewek ini heteroseksual,” terang Hani sekarang santai, mungkin merasa dirinya lebih banyak tahu daripada orang lain membangkitkan rasa percaya dirinya.
            Rasti geleng-geleng kepala. Dunia semakin aneh saja. Masa ada wanita yang naksir cowok gay padahal jelas-jelas cowok itu akan menepis uluran cinta mereka. Cinta? Sepertinya bukan, itu hanya masalah seksual, kebutuhan primitif manusia.
            “Jadi, gue udah expert buat nebak seorang cowok gimana. Udah banyak buktinya. Ya, kan Lau?” Hani melirik ke sepupunya.
            Laura mengangguk enggan.
            “Mau gue coba?” tanya Hani kemudian. “Nah, cowok yang baru masuk ke restoran itu pasti gay. Gaya pakaian dan jalannya yang buktikan.”
            Rasti dan Riana langsung menoleh ke belakang punggung mereka. Mereka memang duduk membelakangi pintu masuk. Saat mereka tahu siapa yang dimaksud Hani, mereka terkaget.
            Rasti ingin tak mempercayainya sedikit pun. Hani pasti hanya menebak saja. Untuk apa mempercayai orang yang menulis tentang bunuh diri?
            “Nggak mungkin,” bisik Riana sambil meraih bahu kakaknya.
            Rasti tertawa. “Pastilah nggak mungkin. Dia udah menikah kok, Han.”
            “Gay emang bisa nikah buat menyembunyikan jati dirinya. Lagian, darimana lo tahu dia udah nikah?”
            Rasti mengatakan kalau pria itu adalah suaminya, Junio. Sayangnya ekspresi wajah Hani bagai tak bersalah sama sekali. Coba kalau tidak di depan umum, Rasti akan menampar Hani seperti dia menampar selingkuhan Dani dulu.
            Junio mendekati meja mereka, karena tak ada kursi lagi di meja mereka seorang pelayan dengan sigap memberikan kursi ektra. “Terima kasih!” kata Junio ceria. Kemudian, Junio menyapa semua yang duduk di sana. Tidak lupa dia mencium pipi Rasti.
            Rasti hanya bisa diam. Sudah tak selera lagi makan maupun berbincang dengan manusia anti sosial ini. Sudah cukup.
            Hani mengedarkan pandangan ke sekeliling, kecuali ke Junio.
            “Mas Junio, perutku agak sakit, nih,” kata Rasti. Tanganya menyentuh perut, padahal dia hanya berpura-pura. “Bisa antar aku pulang?”
            Junio tak mempertanyakannya. Dia langsung bangkit dan menuntun istrinya. Beberapa mata di sekitar mereka memandang dengan iri saat Rasti diperlakukan begitu rupa. Sangat romantis, Junio sangat jantan.
            Namun, satu suara menyebutkan kata yang Rasti benci. “Dasar gay! Pintar akting!”
            Untung saja Junio tidak mendengar. Rasti ingin cepat-cepat pergi dari sana. Sedikit pun tak ingin melihat wajah Hani lagi.

“Halo..., ada apa sih, Sayang? Earth’s call for Mrs. Adihastoro...?”
            Rasti tersentak dari lamunannya. Perasaan dia tadi ingin mengambil selendang untuk dipakai melengkapi gaun terusan biru lautnya. Kenapa dia malah terdiam di depan pintu seperti ini?
            Oh, ya, Rasti tadi mengamati gerak gerik Junio tanpa sadar. Semua hal yang bisa memberinya alasan bahwa semua baik-baik saja, Junio adalah suami yang sempurna, eh—mendekati sempurna, dan perkataan Hani adalah omong kosong belaka.
            Riana menelpon malam hari setelah pertemuan itu. Dia mewakili Laura untuk meminta maaf. Seharusnya bukan Laura, pikir Rasti, si penulis sesat itu yang harus minta maaf.
            Sampai tiga hari berlalu, Rasti masih terpengaruh dengan ucapan sepupu Laura itu. Apa karena dia hamil makanya makin sensitif? Orang hamil memang memiliki beberapa hormon yang bisa mempengaruhi suasana hati.
            “Sayang?” Junio memanggilnya lagi. Sekarang dengan memberi rasti sebuah kecupan.
            “Aku mau ngambil selendang.”
            Junio mengabaikan perubahan suasana hati Rasti. Mungkin pengaruh hamil, pikirnya.
            Rasti melewati Junio dengan kaku. Sebenarnya Junio ingin Rasti meminta bantuannya.
“Aku tunggu di mobil, ya?” kata Junio akhirnya
            Rasti hanya mengangguk.

Gedung itu dipenuhi oleh orang-orang, selebriti, wartawan majalah dan reporter televisi lifestyle, serta para tamu undangan. Jalur red carpet jadi ajang foto-foto para selebritis oleh fotografer dan kameramen.
            Seorang dari event organizer menyambut Junio dan Rasti, dan menuntun mereka melewati red carpet. Kontan, hal yang sangat baru bagi mereka, beberapa kamera berkilat memotret. Mungkin sudah ada yang memberitahu kalau Junio adalah ketua pelaksana acara ini.
            Saat lepas dari sensasi menjadi selebriti, Junio didatangi beberapa wartawan yang bertanya seputar acara dan persiapannya. Rasti menempatkan diri menjadi istri yang baik dan santun. Lalu, dia melihat Fiki yang melambai pada mereka.
            “Mas, kakiku capek. Boleh aku duduk ditemani Fiki saja?” bisik Rasti di telinga suaminya.
            “Maaf sebenatar, ya?” pamit Junio pada wartawan di depannya. Junio mengangguk pada Rasti. “Wawancara ini sepertinya akan sedikit lama. Duduklah”
            Rasti berjalan menuju Fiki. Sahabat Junio itu menyambutnya dengan senyum lebar.
            “I heard that you’re going to have a baby!!”
            Rasti tertawa melihat Fiki yang cuek saja bicara sekeras itu. “Yes. You’ll be the uncle.”
            “Bayi kalian bisa panggil aku  Uncle V, atau Paman Fiki.”
            Rasti tertawa. “Pilihan pertama lucu, jadi yang itu saja.”
            Mereka memilih tempat duduk yang telah disediakan. Saat Rasti sudah nyaman duduk di sana, dia melihat seorang pria yang menatap tajam padanya. Rasti tidak kenal orang itu, tapi terang-terangan menantang mata Rasti. Ingin Rasti mendekati orang itu, tapi sekejap saja sosok itu menghilang.
            Rasti mengabaikan saja. Mungkin mata orang itu memang sangat menusuk dan membuat orang tidak nyaman.
            Panggung fashion show malam itu bertemakan futuristik dengan dominasi warna silver. Sebuah tiruan UFO, planet-planet, dan bintang menjadi hiasan di langit-langit.
            “Junio pasti senang banget pas denger kamu hamil.” Fiki duduk di sebelah Rasti setelah membantu wanita itu duduk.
            “Dia sampai nangis saking bahagianya.”
            Rasti mengamati gerak-gerik Fiki. Dia bertanya-tanya dalam hati apakah Fiki juga termasuk gay?
            Rasti sempat searching di internet mengenai tanda-tanda seorang gay atau tidak. Ternyata tidak telalu sulit, tapi kita bisa tertukar menuduh orang metroseksual. Soalnya, seorang gay itu selalu menjaga penampilan serapi dan sewangi mungkin. Aneh memang, bukankah penampilan itu sangat penting bagi orang zaman sekarang? Kemudian, mereka tak suka olah raga bola. Junio memang tidak suka bola tapi tak masalah baginya jika menonton berita tentang itu. Hal yang lain, mereka sensitif.... Junio sangat-sangat sensitif. Dia penuh cinta malahan.
Satu bagian dari hipotalamus yang disebut sebagai nucleus suprachiasmatic (SCN) dua kali lebih besar di dalam diri laki-laki homoseksual daripada di dalam diri leaki-laki normal.
            Sudahlah! Memangnya kenapa kalau ternyata Junio adalah gay? Bukankah gay itu bisa diubah kembali ke jalan yang seharusnya? Asal Junio tidak mencari selingkuhan di luar sana, Rasti tetap mencintai suaminya.
            Namun, dalam hati kecilnya, Rasti tak ingin ada rahasia di antara mereka. Tunggu... rahasia? Sekarang Rasti menuduh Junio berahasia, buktinya apa?
            Acara dimulai dengan penampilan dari penyanyi Marcell Siahaan, membuat Rasti teringat saat Junio menyanyikan sebuah lagu di pernikahan mereka. Dia juga mengidolakan pria ini karena suaranya yang sangat bagus.
            Rasti melihat Junio duduk di depan dengan para bos Kieree dari Indonesia dan Italia. Mereka tak bisa duduk berdampingan, tapi Rasti senang setiap kali Junio menoleh ke belakang dan melambai padanya. Tak masalah bagi Rasti, ada Fiki yang menemaninya.
            Pagelaran busana dimulai dengan menampilkan pakaian-pakaian ala geek—semua modelnya finalis ajang pemilihan di majalah—dilanjutkan dengan pakaian kantor oleh para model profesional.
            “Busana pria yang geek lucu-lucu dan manis, ya?” komentar Rasti pada Fiki. Dia membayangkan suaminya yang gagah menggunakan salah satu kemeja warna kuning dengan celana sempit setinggi betis. Junio memang berkacamata, jadi mendekati geek, tapi bagi Rasti suaminya adalah sweetheart geek. Rasti tersenyum sendiri.
            Anehnya Junio tampak tidak fokus melihat ke catwalk. Dia sibuk dengan ponselnya. Mengetik sms entah untuk siapa. Rasti tidak terlalu memperhatikan, tapi Fiki iya.
            Wajah Junio pucat, matanya membesar, dan tubuhnya gelisah.
            Lalu, Junio minta izin ke belakang pada para bos besar. Dia bergegas pergi. Namun, dia tidak ke toilet, langkahnya ke arah lift menuju lantai paling atas.
            Dia harus menemui seseorang... bukan., dia harus mencegah seseorang agar tidak bunuh diri.
            “Terjun dari atap sebuah itu tindakan bodoh!”
            Setiap detik yang melaju telalu bergerak lambat bagi Junio. Kenapa lift ini lama sekali?
            Saat lift sudah berada di lantai puncak, Junio langsung menuju ke atap gedung. Anging kencang menerpanya. Dia cukup kesulitan mecari sosok seseorang.
            Rupanya orang itu memperhatikan Junio datang, membuatnya tersenyum.

***

Andy melihat orang yang ditunggunya muncul. Pria berkacamata itu... betapa dirinya sangat rindu. Betapa rasa sakit yang dia pendam selama ini serupa tumor yang mengganas. Kini, akal sehatnya tak bisa berfungsi lagi. Tak ada yang bisa membuatnya kembal ke kondisi semula.
            Semua karena perbuatan pria ini yang telah meninggalkannya.
            “Gue kira lo nggak peduli lagi, Junio...”
            Andy tetap berdiri di tepi atap gedung selagi Junio berjalan mendekati, tapi Junio berhenti sekitar dua meter darinya.
Membuat Andy merasa dirinya tak berharga lagi untuk didekati.
            “Junio...” katanya  sangat pelan.
            Junio mengulurkan tangannya. “Cepat turun ke bawah, Andy. Jangan bermain-main dengan nyawamu sendiri. Kita udah nggak anak kecil lagi.”
            Andy tertawa. “Gue jadi gini karena lo tahu, nggak?!!”
            Junio hanya diam. Lengannya turun, terpaku di sisi tubuhnya. Tangan terkepal seperti meremas sesuatu agar musnah. Dia tak sanggup menatap Andy.
            “Kok lo bisa tega banget ninggalin gue, Jun?” teriak Andy pada udara malam. Sesaat suaranya seperti ditelan angin yang kencang. “Padahal... kita udah janji bakal bersama selamanya.”
            Junio masih terdiam, tanpa sadar matanya sudah berkaca-kaca.
            “Gue butuh lo, biar gue tahu arah hidup yang nggak jelas ini! Tapi lo malah pergi! Pengecut lo!” maki Andy. Telunjuknya menuju Junio.
            “Kita udah bicarakan ini, kan, Andy?”
            Andy menggeleng. “Tapi lo khianati kata-kata lo sendiri. Lo bilang bakalan nganggap gue teman juga, tapi lo malah nggak mau tahu lagi. Lo ganti nomor telpon, larang gue ke rumah atau ke kantor lo... gue dikira nggak ada pas di toko. Bahkan lo nggak ngasi gue kesempatan buat jadi model acara bangsat lo!”
            “Ini untuk kebaikan kita....”
            “Munafik! Nggak ada  yang baik di kehidupan gue gara-gara lo!”
            Junio mulai menatap mata Andy. Jika ada sesuatu yang salah dalam kehidupan kita, tidak ada yang bisa disalahkan selain diri sendiri. Orang lain tetap dengan kehidupan mereka. Bukan berarti harus menyalahkan diri, hanya jangan menumpahkan kesalahan pada orang lain.
            Junio tahu Andy tak akan menerima nasihatnya.
            “Lo udah lupain semua kenangan kita...”
            Andy menangis, semakin lama suaranya semakin keras. Badannya tidak tegak sempurna lagi. Junio takut jika Andy terjatuh ke bawah.
            Kalau saja Andy tahu bahwa setiap hari selalu saja Junio merasa melihat wajahnya. Di saat malam pertamanya dengan Rasti, Junio teingat Andy. Saat makan siang di restoran dengan Rasti, Junio melihat sosok Andy.
            Walau pun ini cinta, pikir Junio, tak ada yang perlu di lanjutkan. Cinta ini terlalu salah.
            “Andy, ayo turun dari sana. Kita bisa bicarakan ini pakai cara yang lebih baik,” ajak Junio, kembali mengulurkan tangannya.
            Tubuh Andy limbung seketika, bergegas Junio berlari ke arahnya. Dengan sigap Junio menangkap tubuh itu sebelum benar-benar terjatuh dari gedung.
            Andy menangis terisak-isak dalam pelukan Junio. Dia membalas pelukan itu. sesuatu yang sangat dibutuhkannya setelah sekian lama.
            Junio menjadi tidak nyaman, dia melepaskan pelukan mereka.
            Raut wajah Andy berubah kaget dan kecewa. Dia tak menyangka sama sekali. Namun, dia tak mau menyerah. Dia mendekati Junio, mengulurkan tangan menyentuh pipi pria itu.
            Juno terpengaruh sentuhan iu, dia menikmati. Matanya terpejam. Lalu dia merasakan tubuhnya dan tubuh Andy semakin dekat tanpa ada batas lagi.
            Andy mengambil kesempatan ini sekuatnya... dia hendak mencium Junio...
            Pintu menuju atap kembali terkuak. Seseorang masuk dengan nafas yang terengah. Dia sangat kaget melihat apa yangterjadi di depannya.
            “Junio!”
            Seketika Junio tersadar. Dilihatnya Fiki berdiri di dekat pintu.”Fiki...”
            Fiki berjalan ke arah mereka, mencoba melepaskan Junio dari tangan Andy.
            “Andy, sebaiknya lo pergi,” kata Fiki.
            Wajah Andy kembali mendung, dia menatap Junio, tapi Junio hanya menoleh ke tampat selain ke mata Andy. Andy menghentakkan kaki kanannya ke lantai. Ingin dia meninju Fiki.
            “Ini urusan gue sama Junio. Lo nggak perlu ikut campur.”
            Fiki membantu Junio berdiri tegak, dilihatnya sahabatnya itu sudah termakan emosi. Junio menangis.
            “Acara ini penting buat karir Junio. Lo nggak mau hidup dia hancur gara-gara kelakuan lo, kan?”
            Andy hanya mendesis, “Dia yang duluan membuat hidup gue hancur...”
            “Gue udah minta satpam buat naik ke sini. Lo bisa milih, turun sendiri atau dibanu para satapam yang mungkin pakai kekerasan.” Fiki mengarahkan tangannya ke pintu.
            Andy menimbang-nimbang, akhirnya dia memilih pergi dari sini sendiri. Sebelum dia menghilang ke balik pintu, Andy kembali menatap Junio. Kali ini Junio membalasnya dengan tatapan yang sendu. Mulut Junio mengucapkan maaf tanpa suara.
            “Sekarang, lo cuci muka Jun. Siap-siap untuk duduk lagi di depan panggung. Bos lo pasti nungguin.”
            Junio hanya mengangguk. Fiki menntunnya ke bawah lagi.
            Wajahnya bisa dibersihkan, tapi hatinya belum.

0 comments:

Post a Comment

 

Pertemuan Cinta Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos