Rasti memasuki apotik
itu, langkahnya sangat pelan, bagai memakai sepatu yang terbuat dari besi.
Enggan kesana tapi dia harus melakukan sesuatu untuk dirinya sendiri. Dirinya
berhak memiliki masa depan. Kehidupan suami istri memang menyatunya dua hati
yang berbeda, tetapi mereka tetap mempunyai keinginan sendiri, kan? Jalan agar
tak ada yang kecewa adalah melakukannya dengan diam-diam.
Junio tak perlu tahu kalau dia ke sini.
Dilihatnya apotik yang berada sangat jauh dari rumah
mereka atau pun kantornya dan Junio. Sengaja dia memilih tempat yang tak
mungkin akan dilalui Junio.
Interior apotik sangat seadanya. Tak ada kursi tunggu.
Etalasenya sudah retak dibeberapa bagian, hanya diberi selotip hitam yang
membuat kaca itu semakin menyedihkan. Seorang perempuan tua yang tampak bosan
duduk dibalik konter. Sedikit pun dia tidak memberi senyuman pada Rasti yang
baru datang.
Rasti mendekati konter dengan malu-malu. Kemudian dia
menyebutkan obat yang dimintanya. Si Ibu penjaga apotik tanpa berbasa-basi
mengambil sebuah kotak dan mengambilkan obat sebanyak yang diminta Rasti.
Akhirnya dia memperoleh obat itu, sesuatu yang bisa membantunya
agar tetap bekerja hingga dia siap untuk memiliki penghuni baru di rumah. Junio
tak akan tahu kalau dia mengonsumsi ini. Junio hanya percaya kapan pun Tuhan
memberinya anak, dia akan bersyukur.
“Junio, maafkan aku,” kata Rasti pelan saat dia kembali
melajukan mobilnya, menuju rumah.
Malam itu, Junio tidak
tidur di rumah. Dia harus menjaga toko roti karena setiap hari Kamis adalah
gilirannya menjadi pelayan. Rasti heran kenapa bos di toko roti itu mau menjadi
pelayan. Junio menjawab kalau dia senang melayani orang di sana. Melihat mereka
tergiur dengan aroma roti atau coklat sangat menarik. Apalagi kalau orang itu
sedang stress setelah diputus pacar.
“Enak saja,” kata Rasti tersinggung. “Aku yang mutusin
cowok itu. Bukan ‘diputusin’!” Rasti memukul lengan Junio. Dia sedikit kesal
jika suaminya mulai menggodanya dengan mengungkit masa lalu.
Junio memakai kenangan mereka di toko roti jika ingin
menggoda Rasti. “Kamu kalau ngambek kayak monster, menakutkan.” Atau dia akan
bilang, “Nanti aku tulis di depan toko: ‘Wanita Patah Hati Dilarang Masuk.”
Junio akan tertawa terpingkal-pingkal, sedangkan Rasti
ingin mencubitnya karena gemas.
Junio bilang dia sering mendapatkan kejutan dalam hidup,
bahkan istri yang tak sengaja dipertemukan. Namun, dia selalu mensyukuri apa
yang dia punya.
Sekarang dia ingin mendapatkan anak tanpa persiapan. Dia
ingin murni kejutan. Sesuatu yang belum bisa Rasti berikan.
Rasti mengonsumsi pil yang dia beli di apotik tadi. Saat
pil itu dirasakannya melewati keongkongan, Rasti meminta maaf pada Junio.
Kemudian Rasti duduk di sofa depan televisi. Tanpa bermaksud
ingin menonton sesuatu dia mengganti channel,
sampai sebuah program dokumenter memenuhi layar. Dokumenter itu tentang
bagimana seorang bayi tercipta. Hati Rasti tersentak, dia menginginkan seorang
bayi dalam hidupnya, tapi... dia ingin karirnya tetap maju. Rasti percaya dia
akan tetap memiliki anak di masa depan.
Junio selesai meeting dengan seorang perancang busana
ternama Indonesia. Kieree telah menandatangani kesepakatan untuk menjual
pakaian rancangan disainer muda yang sedang naik daun itu. Bahkan, gelaran fashion week sudah direncanakan
jauh-jauh hari. Sebagai Brand Manager
Kieree, andil dan tanggung jawab Junio sangat besar untuk suksesnya acara ini.
Bersama dengan bagian operasional dan tim event organizer yang disewa, dia
merumuskan sebuah konsep. Peragaan busana ini akan diikuti oleh orang-orang
yang ternama dalam fashion busana
pria. Sedangkan peragawannya akan dipilih dari beberapa agency.
“Untuk merangkul konsumen anak muda lebih luas, saya
menyarankan agar diadakan ajang pemilihan model di majalah, khusus untuk pria.”
Seluruh pemegang keputusan menyetujui usul Junio itu
setelah dirembuk dan diberi saran sana sini. Proses mencapai target itu memang
memakan waktu yang lama, tenaga yang banyak, dan pikiran yang membuat semua
kelelahan.
“Fashion show
Kieree harus bisa menjadi spektakuler!” kukuh Junio setiap kali dia
membicarakan event besar tokonya.
Junio bersyukur sudah memiliki istri yang selalu ada untuk jadi tempat
berlabuh dan melepas kepenatan di tempat kerjanya. Rasti hanya bisa menyemangati.
Suatu kali, Junio diwawancara sebuah majalah life style. Dia mengatakan bahwa semangatnya dalam menjalankan
tugas karena memiliki istri yang pengertian, penyayang, dan pintar memasak
makanan yang enak.
“Saya selalu betah di rumah,” kata Junio.
Akhirnya nama Junio mulai dikenal lewat majalah pria itu.
Seleksi model dari agensi model dilaksanakan berbarengan dengan pemilihan
model dari pembaca majalah. Junio ikut menjadi juri penentu.
Suatu kali dia melihat beras lamaran dari seorang pria yang selama ini
dihindarinya. Apa-apaan ini, kenapa dia juga ikut serta? Batin Junio dalam
hati.
“Kenapa dia lolos?” tanya Junio pada rekannya sesama juri. “Dia kurang
kompeten tampaknya. Agensinya pun baru dibentuk.”
“Wajahnya cukup menarik, nggak ada salahnya mencoba dia,” kata rekannya,
tapik karena wajah Junio seolah membeku dia berkata, “Kalau begitu tidak usah
dimasukkan ke daftar lulus seleksi satu?” tanya rekannya itu.
“Ya, tidak usah saja.”
Juno menghela nafas agar rileks. Dia tak menyagka kalau pia itu begitu
nekat ingin terlibat di tempat dimana jelas-jelas Junio berada. Kemaren dia
datang ke tokonya, sekarang ikut dalam seleksi model. Apa yang diharapkannya? Masuk
dan terlibat dalam kehidupan Junio lagi?
Junio sebenarnya tak tega telah mematahkan kesempatan orang itu untuk
berkembang, tapi keputusan terbaik bagi hatinya adalah: jangan berurusan lagi
dengan pria itu. setap kali Junio teringat padanya, hanya menambah rasa bersalah
dalam hatinya.
Rasti merasakan seseorang
berjalan dibelakangnya, pelan-pelan tanpa mengeluarkan suara, kemudian sepasang
tangan menutup matanya tiba-tiba. “Mas Junio!!” teriak Rasti pura-pura kaget,
dia ingin memberi Junio sedikit kepuasan dengan menghargai lelucon suaminya.
Junio menurunkan tangannya ke bahu Rasti, memeluk
istrinya erat. “Kamu duduk di depan laptop terus...”
“Aku ngerjain tugas kantor, Mas,” kata Rasti penuh
sayang.
Junio duduk di samping Rasti, seperti biasa dia memeluk
dan memperhatikan wanitanya sedang sibuk dengan angka-angka dan laporan ini
itu. junio tak mengerti apa yang dilakukan Rasti, tapi pastinya sesuatu yang
sangat penting hingga memerlukan waktu tambahan diluar jam kantor.
“Bagaimana persiapan acara Kieree?” tanya Rasti menutup
kekosongan suara.
“Melelahkan tapi menyenangkan.”
“Hmmm...,” gumam Rasti tidak bermaksud mengabaikan. Dia
fokus pada layar laptop.
“Hmmm...,” balas Junio iseng.
Rasti berguman “Hmmm...” lagi. Junio membalas lagi. Rasti
jadi tertawa mendengar itu.
“Mas, tadi ibu nelpon, mereka bilang kangen sama kita. Aku
juga kangen, tapi kita sibuk, kan? Susah buat ke sana.”
Junio menggeleng, “Kita ke sana secepatnya, oke? Besok
kamu bisa?”
“Sebenarnya bisa, tapi aku mau ngejar selesaikan ini.”
“Emangnya ini untuk kapan?”
“Dua hari lagi sih,” kata Rasti mengerlingkan matanya. Dia
menggigit bibir bawahnya.
Junio heran dengan istrinya yang jadi workaholic akhir-akhir ini. Anehnya lagi
dia selalu mengerjakan tugas yang diselesaikan satu atau dua hari sebelum deadline. Memang hal itu bagus karena
Rasti bisa punya banyak waktu memperbaikinya. Namun, sama saja jika dia hanya
melakukan itu sepanjang malam padahal jam kantor bisa dimanfaatkan keesokan
harinya.
Kapan, dong, Junio bisa bermanja-manja lagi dengannya
sebelum tidur? Selalu Junio kelelahan kerja langsung terlelap, sedangkan
istrinya masih sibuk berkutat dengan laptop.
“Besok sore aku jemput kamu ke kantor, kita ke tampat
orangtuamu. Besoknya, kita pergi ke tempat ibuku.”
“Tapi, Mas... kerjaanku gimana?”
Junio memeluk lebih erat lagi. “Kan masih dua hari lagi. Santai
sedikit, Sayang.”
Rasti hanya bisa diam. Dia tak ingin membantah lagi. Junio
memang benar, dia harus santai sedikit agar bisa memberi waktu dan perhatian
pada yang lain.
“Sayang, kamu udahan dong ngetiknya...,” bisik Junio. “Kita
tidur, yuk?”
Junio menuntun sang istri yang enggan menuju kamar tidur.
Karena Rasti tanpa begitu tak bersemangat, Junio meraih bahu dan bawah lutut Rasti,
dia menggendong wanita itu! Rasti terpekik, sedangkan Junio tertawa melihat
istrinya.
Dalam hati Rasti mengingatkan dirinya agar menimum pil di
pagi hari.
“Rasti!! Mama udah kangen
banget ketemu sama kamu!”
Rasti hanya pasrah dipeluk mamanya erat-erat. Padahal
sang mama sedang memakai celemek yang penuh noda karena memasak. Beliau
menyiapkan makanan yang enak untuk anak dan menantunya.
“Duh, celemek mama itu udah bau bawang bombay!” protes
Rasti setelah lepas dari mamanya.
“Masa sih? Perasaan wangi banget, deh,” kata sang mama
cuek. Dia harus memeluk satu anaknya lagi.
Junio memeluk mertanya dengan sayang.
“Lihat tuh, Junio saja nggak maslah. Ya, kan, Jun?”
Junio hanya melirik istrinya yang sedikit sebal. Lalu
tersenyum. “Orang bank nggak ada yang bau bombay, Ma,” kata Junio terkekeh.
Mama Rasti jadi tertawa. Rasti hanya memutar bola
matanya.
“Aku nggak masalah dipeluk mama, tapi jangan pakai
celemek itu dong. Riana mana, Ma?” tanya Rasti sambi ikut menuju dapur bersama
Mamanya.
“Pergi ke perpustakaan. Katanya masih butuh referensi
yang banyak buat kerjaannya. Nanti balik sebelum makan malam.”
Mama Rasti juga memberitahu kalau suaminya sedang pergi
main tenis.
Rasti bergegas ke kamarnya dulu, dia mengganti baju
kerjanya dengan baju daster lama yang sering dipakainya. Dia mau membantu
mamanya.
“Mas, aku mau bantu mama.”
Junio mengangguk, dia mengambil koran yang ada di meja
dan membacanya. Dia tak terlalu fokus membaca, hanya ingin mengisi waktu luang
dari pada melamun.
Semakin hari Rasti membuat kagum Junio. Rasti tak tega
membiarkan mamanya memasak sendiri, tanpa diminta dia masuk ke dapur. Rasti
memang tak bisa membiarkan orang kesusahan.
Andai mereka secepatnya memiliki anak, tentu Junio dapat
menggenapkan kebahagiaan hidup bersama istri. Namun, karunia itu belum hadir
sampai sekarang. Junio selalu berdoa meminta pada Tuhan. Kadang ketakutan
muncul, apakah Junio yang tak mampu memberi Rasti seorang bayi mungil? Apakah
dia benar-benar mampu memberinya kebahagiaan?
Junio menginginkan anak secepatnya, tapi tak menuntut. Jika
Tuhan belum mengkaruniai, ya sudahlah.
Setelah bosan membaca koran, Junio mengambil remote dan menyalakan televisi. Dia
menukar saluran berulang kali. Ternyata hanya ada sinetron di layar kaca. Junio
tidak suka dengan sintron Indonesia jika produk itu masih belum dikerjakan
dengan sepenuh hati. Kebanyakan akting para aktor asal-asalan, padahal jalan
ceritanya cukup menarik.
Tiba-tiba Junio melihat wajah orang itu, pria yang tanpa
diminta kembali ingin masuk dalam kehidupannya. Wajah yang sama di toko kemaren
dan model yang dia tolak. Sekarang, tanpa sengaja dia melihat di televisi.
Sebuah sinetron tentang pernikahan siri. Apa-apaan ini?
batin Junio. Bukankah dia bisa memilih ikut audisi untuk produksi yang lebih
bagus? Kenapa dia malah ikut main di sini sebagai figuran—adik dari yang
dinikahkan?
“Sayang,” suara Rasti mengagagetkan Junio. Buru-buru pria
itu mengganti channel. “Bisa tolong
bukain botol ini, nggak?”
Junio menerima botol saus tomat itu, dengan sekali sentak
tutupnya terbuka.
“Makasi, ya? Daritadi aku coba nggak kebuka-buka. Cowok
emang kuat!” Rasti kembali ke dapur.
Untung saja Rasti tidak melihat apa yang dia tonton tadi.
Lagipula memangnya Rasti tahu apa yang dia sembunyikan selama ini? Jadi kenapa
takut kalau hanya sekedar melihat orang itu di layar kaca? Junio kembali ke channel tadi, sayangnya hanya iklan yang
ada. Sosok tadi hilang!
Makanan-makanan yang
nikmat telah terhidang di meja. Rasti dan mamanya memandang puas pada kerja
keras mereka. Apalagi mama Rasti yang merindukan momen seperti ini, saat dia
menyiapkan makan malam untuk keluarga. Sang mama meminta Rasti memanggilkan
Junio serta papa Rasti yang baru selesai mandi.
Papa Rasti duduk di paling ujung, di sampingnya Rasti dan
mama. Disamping Rasti duduk Junio dan disamping mama ada Riana .
“Sebelum kita makan, aku ingin memberikan sesuatu pada
Papa,” kata Junio. Dia pergi sebentar ke luar dan membawa sebuah kotak. Dia
berikan pada mertua laki-lakinya.
Papa Rasti membukanya dan menemukan sebuah kemeja yang
sangat bagus. “Terima kasih, Junio.” Binar kebahagiaan teraut jelas di mata
orangtua itu.
“Sama-sama, Pa,” kata Junio.
Kemudian, mama Rasti mempersilakan semua untuk mulai
makan.
“Bagaimana pekerjaanmu, Jun?” tanya Papa Rasti membuka
percakapan malam ini.
“Lancar, Pa. Malah sekarang kami sedang mempersiapkan
pagelaran busana,” jawan Junio.
“Wah, pasti banyak model canik-cantik, tuh,” eletuk mama
Rasti. “Hati-hati Junio nanti ada yang naksir.”
“Pagelarannya busana cowok, Ma,” sahut Rasti.
Mama Rasti jadi sedikit malu, tapi dia malah berkata, “Siapa
tahu ada cowok yang naksir Junio. Udah banyak tuh yang nyimpang jadi homo.” Dia
menggerakkan badan seakan geli dengan pikirannya sendiri.
Junio tak mengira dia terpengaruh dengan perkataan
mertuanya. Memang banyak, Ma, katanya dalam hati.
“Terserah kalau ada naksir, cewek atau cowok, maklum aja
Mas Junio tampan gini,” Rasti merangkul Junio. “Di kantorku saja udah banyak
yang jadi fans Mas Junio.”
“Papa senang kalau kalian saling menjaga. Cinta itu
bertahan karena kepedulian, tapi jangan mendominasi, itu saja resepnya.” Papa
Rasti melirik pada istrinya. Mama Rasti tersipu malu.
“Ehm, disini ada yang belum punya suami, lho,” sahut
Riana sedikit kesal melihat kemesraan orangtua dan kakaknya. Dia jadi berkhayal
seandainya membawa pacarnya makan malam di sini.
Semua yang disana tertawa.
“Terus, kapan kami bakal gendong cucu?” tanya Mama Rasti.
Rasti kontan melihat pada Junio. “Sabar dulu, Ma. Belum
waktunya dikasi Tuhan”
Junio setuju dengan perkataan Rasti.
“Jangan tunda-tunda punya anak. Nanti kalau udah terlalu
lama bisa-bisa makin banyak masalah di rahimmu, Ras. Banyak yang lahir prematur
atau nggak lancar persalinannya karena terlalu lama menunda hamil.”
“Kalau firasatku, Ma, dekat waktu ini mungkin saja Rasti
hamil.”
Rasti tak percaya Junio akan mengatakan itu. Memang mereka
melakukan seks beberapa waktu lalu saat masa subur Rasti. Jadi, Junio ingin
semua menaruh perhatian pada perutnya dalam waktu dekat? Bagaimana kalau mereka
tahu kalau di pagi harinya Rasti mengonsumsi obat pencegah kehamilan?
“Mama menantikan sekali... seorang cucu yang menggemaskan
memang bagus buat masa tua.”
Papa Rasti ikut mendukung Junio, dia membacakan doa untuk
dipelajari Junio agar secepatnya dikaruiniai anak. Sedangkan Riana lebih peduli
pada perubahan raut wajah Rasti, kakaknya itu seperti tidak berada disana. Dia
gelisah.
“Rasti sempat terpilih jadi kandidat karyawan terbaik,
Ma, Pa!” kata Rasti ingn mengubah topik pembicaraan.
Mamanya cukup antusias. “Wah! Bagus...”
“Karir Rasti bisa dibilang sedang menanjak. Sedikit
langkah lagi bisa naik jabatan. Rasti ingin mendapatkan itu tahun depan.” Ups,
saking bingungnya Rasti jadi kelepasan.
“Walau pun karir kamu nanjak, Ras, punya anak dulu...
bahagiakan suamimu dulu. Pepatah lama yang bilang banyak anak banyak rezeki
sangat benar. Tapi demi mendukung program pemerintah, sedikit anak saja udah
cukup.”
Papanya menyahut. “Jangan tunda punya anak, Ras. Suatu
saat karirmu itu bisa dicapai. Suamimu sangat mendukung, kan? Bener, kan,
Junio?”
“Iya, Pa,” jawab Junio sambil mengangguk.
Ingin Rasti berteriak pada semua orang kalau dia belum
ingin punya anak. Yang nanti hamil dia, kan? Kenapa semua sibuk mengurus
keluarga barunya ini. Tega sekali Junio membuatnya dilema. Mendukung apa? Junio
malah membuat karirnya tersendat!!
Sepanjang sisa makan malam Rasti hanya diam.
Junio merasakan perubahan aura pada Rasti, tapi dia
memberikan istrinya waktu untuk berfikir. Semoga nasihat mertuanya tadi bisa
membuat sang istri berubah fikiran.
“Duh, sudah nggak sabar pengen lihat wajah cucu Mama.
Kalau perempuan pasti cantik, kalau
laki-laki nggak ragu lagi mama, pasti tampan!”
Ggrrr... Rasti ingin pembicaraan tentang anak itu
berakhir.
Sehabis makan malam, Rasti mengajak Riana curhat. Dia memberitahu kalau
Rasti sudah menunda kehamilannya dengan mengonsumsi obat.
“Astaga! Mas Junio sudah tahu?”
Rasti menggelang.
Riana tak tahu apa yang harus dia katakan. Kalau dia yang jadi Rasti tanpa
ragu lagi dia akan memilih punya anak dahulu. Masalah rezeki tak akan kemana.
“Kasi tahu aku cara biar Mas Junio ngerti kalau aku sangat-sangat ingin
melanjutkan karir. Anak, kan bisa diusahakan nanti!”
“Aku nggak tahu harus gimana, Kak. Kali ini aku memang belum tahu rasanya
tak ingin punya anak.”
Rasti menghela nafas kesal.
“Mas Junio, sibuk, aku juga sibuk. Siapa yang bakal
ngurus anak kami kalau nggak ada orang di rumah?”
Riana memberikan saran untuk menggaji baby sitter. “Tapi jangan lupa kakak
harus penuhi hak bayi, yaitu ASI eklusif. Aku pernah baca banyak banget manfaat
memberikan ASI.”
“Ternyata kamu juga mendukung Mas Junio!”
“Bukan masalah aku dukung siapa-siapa. Pekerjaan itu
suatu saat hanya akan menjadi bagian hidup kita. Kalau anak, selamanya sampai
akhirat juga berhubungan.”
Rasti menangis. “Aku nggak tahu harus ngapain...”
“Percaya saja pada Mas Junio, Kak. Dia orang yang baik. Dia
pemimpin di rumah tangga Kakak.”
Besoknya, sesuai rencana,
Junio dan Rasti mengunjungi Ibu Junio di panti jompo. Di sana Ibu Junio sedang
menatapi langit sore dari balkon lantai dua. Sepertinya Ibu Junio sangat
menyukai langit jingga. Warna yang lembut, memberikan cahaya yang tak terlalu
menyilaukan. Seperti sifat Ibu Juno yang lemah lembut, memberikan kenyamanan
pada Rasti.
Rasti memeluk mertuanya dengan lembut. Hangat tubuh Ibu
Jnio menjalar padanya. Damai terasa dalam hati.
Sayangnya, karena penyakit Alzheimer yang dideritanya,
ibu Junio lupa siapa Rasti. Dia tanyakan pada Junio.
“Ini Rasti, bu... Istriku yang cantik.”
“Cantik. Sangat cantik,” kata ibu Junio berulang.
Rasti hanya tersipu. Lalu dia mengeluarkan sebuah Tupperware berisi roti dan selai
strawberry kegemaran ibu Junio. Pelan-pelan dia membuatkan roti selai untuk
mertuanya.
Ibu Junio menerima roti itu dan memakannya dengan lahap. Lucu
melihat cara dia menggigit, mulutnya bergerak-gerak ke atas-ke bawah, tapi
bibirnya terkadang maju ke depan.
“Enak, Bu?” tanya Rasti.
“Enak. Kamu pintar. Istrimu Junio?”
Junio maklum jika ibunya lupa lagi. “Iya, Bu. Ibu ingat
namanya?”
Ibu Junio menggeleng.
“Nama saya Rasti, bu.”
“Asti...”
“Rasti, Bu,” koreksi Rasti.
Penderita alzheimer terkadang sulit berkomunikasi dan
merangkai kata-kata. Kali ini, ibu Junio kesulitan mengucapkan nama Rasti. Bekali-kali
menantu dan anknya mempebaiki pengucapannya.
“Rasti. Cantik...”
“Terima kasih, Bu.”
Kemudian ibu Rasti membuat gerakan yang ganjil. Dia
meletakkan tangan kanan diatas tangan kirinya, telapak tangan menghadap ke
atas, setelah itu dia mengayunkan lengannya ke kiri dan ke kanan. Seperti orang
yang sedang menimang bayi.
Rasti tertegun. Bahkan ibu Junio menginkan kehadiran cucu
dalam hidupnya. Rasti tak berani menatap mata Junio.
“Kapanmu punya anak, Jun?”
Junio mengamati Rasti, tapi Rasti malah menghindari
tatapannya.
“Sebentar lagi, Bu. Doakan saja.”
“Nggak lama-lama.”
Juno mengangguk. “Ayo habiskan rotinya, Bu. Kalau mau
minta saja pada Rasti untuk buatkan satu lagi.”
Rasti menundukkan kepalanya.
Selain pekerjaan yang
dilakukannya dengan baik, pkiran Rasti dipenuhi tentang bayi. Seorang bayi
mungil dan menggemaskan. Berwajah tampan seperti ayahnya, berkulit lembut
seperti ibunya. Jika semua orang yang melihat bayi mereka akan jatuh cinta dan
ingin menggendong walau sebentar.
Rasti juga membayangkan binar bahagia Junio, orangtua,
dan mertuanya.
Semua orang menginginkan bayi, tapi Rasti, yang bayi itu
akan berasal dari rahimnya, belum meneguhkan hati untuk memilikinya. Sayang
sekali jika dia hadir di saat Rasti tidak terlalu mnginginkannya.
Setiap kali merasa mual, Rasti selalu ketakutan. Apakah
dia hamil? Bahkan terkadang dia tak sanggup mencium bau menyengat. Salah satu
tanda orang hamil memang tak bisa mencium bau yang tajam. Bisa membuat mereka
mual.
Rasti tetap meminum pil pencegah kehamilan itu. Selama Junio
tidak tahu, sepetinya tidak masalah.
Kali ini dia sangat teguh pada pendirian. Dia
menginginkan karirnya maju baru beranak. Kalau dia memilih sebaliknya, sama
saja dia plin-plan. Sifat itu yang berusaha Rasti ubah sejak dia memilih Junio
sebagai suami. Bukankah dia tetap bertahan pada pernikahan ini walaupun hatinya
sempat meragu?
Tolong hargai usahaku, batin Rasti. Tak ada yang
menyahut.
Dering telepon di ruangannya berbunyi.
“Rasti sudah siap untuk meeting nanti sore?” tanya Pak Affandi.
“Siap, pak.”
Dia harus profesional untuk pekerjaan. Dia harus membuat
prioritas dalam hidup. Kalau orang lain yang mengatur hidupnya, dimana
kebebasan itu? pernikahan bukan penjara, kan?
Dengan mantap, Rasti keluar dari ruangannya menuju ruang
rapat. Dia akan membuat bosnya kagum, dan kesepakatan dengan pihak luar akan
tercapai secepat mungkin.
Diabaikannya permasalahan tentang anak, sementara waktu.
Berkali-kali Junio
bersin, sampai-sampai dia merasa sapu tangannya sudah basah dan jika diperas
akan mengeluarkan air. Dia butuh obat flu dan tidur. Sesampainya dia dari
gedung tempat fashion show Kieree
akan dilaksanakan—Junio begadang mengawasi tim dekor—Junio langsung menuju
dapur tempat lemari obat berada.
Banyak sekali obat disana, pikir Junio. Dia mencari-cari,
mengeluarkan beberapa botol sampai menemukan obat yang di cari. Lalu dia
memasukkan kembali botol obat yang tidak diperlukan. Sebuah botol obat menarik
perhatannya karena bergambar seorang perempuan dengan perut yang membesar. Kening
Junio langsung berkerut.
Saat dia tahu itu obat apa, dia jatuh terduduk di lantai
dapur.
Dia menangis seketika.
Rasti ceroboh meletakkan
obat itu di sana! Padahal seingatnya dia meletakkan di tumpukan obat yang lain,
disamarkan agar tak ada yang melihat selain dia. Ternyata Junio menemukannya
tanpa sengaja. Jantung Rasti berdetak sangat kencang. Dia tak sanggup melihat
wajah suaminya.
Suaminya menangis. Rasti meremas-remas tangannya sendiri.
Dia ingin menyakiti diri sendiri karena telah membuat Junio menangis. Dia
mencoba tak ikut menangis, tapi air mata tetap jatuh menganak sungai di pipinya.
Rasti duduk di tepi tempat tidur mereka. Sedangkan Junio
tetap berdiri, menolak ajakan Rasti untuk duduk di sampingnya.
“Apa aku tidak berharga lagi?” tanya suaminya.
Rasti tertunduk. Dia tahu kalau Junio tahu jawabannya. Sangat,
Junio sangat berharga bagi Rasti. Junio telah memberikannya kebahagiaan.
“Aku nggak pernah melarang kamu kerja, kan?”
Rasti menggeleng, tapi mulutnya terkunci rapat.
“Kenapa kamu tega lakuin ini, tanpa sepengtahuanku?”
Rasti menangis lebih keras. “Maafin aku, Mas...”
“Ini demi keluarga, Ras. Kamu selalu bilang kalau kamu
mendahulukan keluarga.”
“Maaf, Mas...”
“Sudah berapa lama kamu minum pil ini?”
“Sejak kita membicarakan tentang punya anak. Sejak kita
beda pendapat.” Sedikit demi sedikit Rasti mencari pembelaan. “Mas nggak ngerti
keinginanku sekarang! Itu yang bikin aku nekat berbuat gini!”
Junio mengerti kekalutan istrinya. Dia juga memaksakan
kehendak, tapi itulah yang terbaik untuk mereka. Setidaknya semua anggota
keluarga yang lain sangat ingin mereka memiliki anak.
“Aku punya teman yang nggak bisa punya anak. Mereka
usahakan apa pun caranya biar bisa melengkapi kebahagan jadi suami istri. Mereka
mengadopsi anak! Apa perlu aku cari anak yatim piatu yang sudah remaja biar
kamu nggak perlu hamil, melahirkan, dan mengasuh . Lalu kamu bisa raih segala
jabatan di kantormu?”
“Maafin aku, Mas...”
Junio menghela nafas dengan teknik 4-7-8. Dia butuh udara
segar untuk menjernihkan otaknya. Sudah cukup dia marah. Dia tak ingin ini
menjadi masalah yang lebih besar.
Rasti tak henti-hentinya menggucapkan maaf. Membuat Junio
tak tega lagi melihat Rasti menangis.
Akhirnya Junio duduk di samping Rasti. Dipeluknya sang
istri dan Rasti menangis di dada Junio.
“Suatu saat kamu bisa mencapai karir yang gemilang. Aku
percaya itu,” kata Junio, sekarang lebih lembut. “Coba pikirkan lagi
keputusanmu. Pikirkan keluarga kecil kita di masa depan. Pikirkan perasaan
orangtuamu dan ibuku.”
“Rasti minta maaf, Mas...”
Rasti menangis lebih lama, tapi Junio ada untuk
menenangkannya.
“Baiklah, mulai sekarang, tak ada lagi rahasia di antara
kita. Oke?” kata Rasti sambil menyodorkan kelingkingnya pada Junio.
“Apa ini?”
“Kalau berjanji harus kayak ini.”
Junio melingkari kelingkingnya pada milik Rasti.
“Tak ada rahasia lagi. Deal?” tanya Rasti sekali lagi.
“Deal!!”
Namun, dalam hati Junio menyangkal kesepakatan itu. dia
memiliki rahasia... yang sebaiknya tak diketahui Rasti sampai kapan pun. Untuk
kebaikan Rasti sendiri.
***
Andy mengabaikan sapaan
mamanya setiba di rumah. Dia tak peduli betapa sengsaranya sang mama melihat
anaknya seperti orang lain saja. Dia tak peduli selain dirinya. Apa salahnya? Orang
lain tidak mengerti dirinya. Biar saja dia dibilang masih labil seperti seorang
remaja. Dia kesal sekali pada semua orang!
Kamarnya sangat berantakan karena tak ada yang boleh
masuk selain dia, termasuk pembantu. Hanya sepetak ruangan inilah dunianya. Di
mana dia bisa melakukan apa pun tanpa ada yang marah!
Sialan! Teriaknya di dalm hati. Sialan dia!
“Kenapa gue nggak lolos di audisi model itu. Gue kurang
tampan? Seluruh cewek pasti tahu kalo gue pantas diperebutkan! Sialaaan!” Tapi
dia tidak memilih satu perempuan pun.
Dibantingnya apa pun yang dia raih.
“Junio sialan! Brengsek! Pasti dia yang menjegal langkah
gue buat ikut event itu. Mentang-mentang
dia yang punya hajat, seenaknya saja menyingkirkan gue!”
Kemudian dia mengambil sebuah kotak. Isinya adalah
beberapa lembar foto. Foto-foto dia bersama seorang pria berkacamata. Orang
yang sama dengan yang menyingkirkan dia dari kemungkinan menjadi model di fashion show Kieree.
Andy mengambil satu, kemudian sumpah serpah keluar lagi
dari mulutnya. Dia seharusnya bisa masuk ke sana. Walau pun baru, agensinya
dimiliki oleh mantan model dunia. Bahkan pemilik agensi itu selalu memuji talenta
Andy. Dia anak emas di sana. Nyonya itu juga mempertanyakan kegagalan Junio.
“Sepertinya event
ini kurang memfasilitasi para model dari agensi baru. Huh, apa-apaan itu? Masa zaman
sekarang masih membatasi bagi pemula. Kapan bisa maju?”
Andy tak mengira pikiran Junio sedangkal itu. Apa Junio
pikir Andy mengejarnya lagi?
Dia teringat seseorang, diambilnya ponsel dari dalam tas.
Saat telpon tersambung, tanpa mengucapkan “Halo” atau
salam, Andy langsung berkata. “Fiki! Lo bilang sama temen lo itu. Gue nggak
bakal nyerah buat jadi yang terbaik. Gue bakal tetap bisa hidup di dunia
entertaintment tanpa bantuan dia!”
Tubuhnya bergetar saat mengucapkan itu. emosi yang
terpendam lama membuatya tak sanggup berdiri.
Dia terduduk di lantai. Menangis.
Dibantingnya ponsel ke seberang ruangan. Tak ragu lagi,
ponsel itu hancur. Andy tak peduli, dia bisa minta satu yang baru pada mamanya,
kapan pun.
“Junio, lo tega...”
Diucapkannya berkali-kali nama itu. Sudah lama dirinya
ingin menghapus sebuah nama yang telah meninggalkannya. Namun, tetap tak bisa. Kalau
bisa dibilang, dia mencintai orang yang salah, dengan cara yang salah, namun
tak mampu berubah.
Sekarang dia lelah, tangisan dan amarah hanya membuat
energinya terkuras.
Andy terlelap di lantai hingga pagi menjelang.
0 comments:
Post a Comment