“Mas, udah selesai belum
mandinya?!!”
Rasti menggedor pintu kamar mandi.
“Ya, aku sudah selesai!” teriak Junio dari dalam.
“Cepat Mas, aku udah nggak tahan… sakiiittt…”
Rasti tak kuat lagi berdiri, dia kembali menuju tempat
tidur dan duduk. Perutnya sakit dan bayinya seperti meronta-onta di dalam. Dia
mau keluar!!
Tadi, Junio masuk kamar mandi untuk siap-siap pergi ke
kantor. Sedangkan Rasti tak merasakan sakit apa-apa. Meeka sudah diberitahu
dokter kalau kemungkinan besar bayi ini akan lahir satu minggu lagi. Ternyata
kemungkinan tetap saja kemungkinan, masih ada faktor kecil yang bisa membuat
hal sebaliknya.
Si bayi ingin keluar lebih cepat.
Junio bergegas, sampai-sampai dia lupa memakai deodoran
dan parfum, atau apa pun yang dia biasa pakai setelah mandi. Hanya kepanikan
yang muncul.
“Ayo Ras, pegang pundakku. Kita ke rumah sakit sekarang.”
Sepanjang perjalan mengantarkan Rasti ke rumah sakit,
Junio sibuk menelpon keluarga Rasti. Semua rupanya ingin ikut hadir.
Rasti semakin aku bisa bernafas, dia berteriak pada
Junio.
“Mas, sakit!! Cepat lah!!” Rasti semakin histeris melihat
darah membasahi tempat dia duduk.
“Kita udah hampir dekat, Sayang,” kata Junio menenangkan.
“Mas udah bawa kamera?” tanya Rasti tiba-tiba.
“Untuk apa?”
“Bukannya kita mau rekam jalannya persalinan?”
Junio menggeleng. “Aku lupa.”
Rasti ingin protes, tapi perutnya makin sakit dan mulas,
serasa ingin buang air besar...
Oh, Tuhan cepatlah rasa sakit ini berakhir, batin Rasti.
Junio tidak tahan darah,
tapi dia bertahan berada di ruangan bersalin Rasti. Mukanya pucat dan bibirnya
kering, tapi tangannya tetap memegang handy
cam, mendokumentasikan momen ini.
Junio kasihan melihat istrinya yang kesusahan. Junio bisa
merasakan bertapa beratnya menjadi seorang wanita. Saat hamil, mereka membawa
bayi dalam perutnya kemana-mana, saat melahirkan, mereka harus berjuang
bertaruh nyawa diri sendiri dan si bayi.
Ibu adalah makhluk yang paling mulia.
Rasti menjerit-jerit setiap kali terjadi kontraksi.
Setelah bedebar-debar menunggu munculnya manusia mungil
itu, akhirnya telinga Junio menangkap suara tangisan bayinya.
Bayinya!! Ya! Dia resmi jadi seorang ayah! Sesuatu yang
dulu hanya menjadi khayalannya. Kini menjadi kenyataan.
Seorang perawat langsung membersihkan bayi mungil itu,
memberinya bedung, dan membawanya ke arah Junio. Seorang perawat yang lain
bersedia menggantikan Junio merekam agar pria itu bisa menggendong anaknya.
“Seorang bayi perempuan yang sangat cantik,” kata perawat
itu.
Tangisan tak terelakkan munculnya.
“Sayang, ini anak kita...” Junio mendekat pada Rasti.
Rasti yang berkeringat dan sangat kelelahan, tersenyum
penuh bahagia melihat suaminya bersama sang anak. Genap sudah bahagia mereka
sebagai keluarga.
“Aku ingin memberinya nama Faradissa. Agar dia seperti
surga memberikan kedamaian bagi semua orang,” kata Rasti.
“Aku setuju,” sambut Junio. “Dia adalah Faradissa
Adihastoro, anak kita.”
Bertiga mereka terekam dalam kamera. Menangis dan tertawa
bahagia
***
Selain tetap dalam
pekerjaan mereka semula, Rasti dan Junio membuat sebuah website yang bertujuan unuk membantu para homoseksual menerima diri
mereka namun dengan tujuan agar mereka dapat memilih jalan yang akan mereka
lewati. Jadi seorang homoseksual bukan hanya kehendak personal, itu naluri
dalam diri, walau kadang mengikuti hasrat itu bisa jadi keliru. Tuhan
memberikan kelebihan untuk belajar bertahan dari godaan penggoyah iman.
Situs yang mereka kelola sendiri itu juga membantu dengan
memberi tip-tip untuk gay yang ingin
mengakui jati diri pada pasangan wanita mereka. Tak ada yang salah bersuamikan
seorang gay, yang salah hanyalah
bagaimana pandangan kita tentang kata itu.
Gay juga
manusia, dia berhak menikah dengan lawan jenisnya. Karena itulah jalan yang
Tuhan beri padanya.
***
2 comments:
mantaappp....lagu itu juga penah saya nyayikan...bersama orang yang saya sayangi..
seharusnya novel ini terbit :')
Post a Comment