“Sudah saya bilang kan,
kalau undangan yang dipesan itu bewarna kuning dengan gradasi warna yang lebih
lembut. Kalau seperti ini kelihatan murahan. Terus kertasnya kok lengket di
bagian ujungnya. Lemnya malah nggak erat! Ini lagi tulisan arabnya nggak usah
terlalu seni, jadinya malah nggak terbaca.”
Rasti menghapus keringat di dahinya. Kenapa tempat ini
tidak ada AC? Kipas angin di sudut ruangan tak mampu memberikan kesejukan yang
dibutuhkan Rasti dan hatinya.
“Mbak ini, kan contoh,” kata pegawai di percetakan
undangan ini.
Rasti ingin mendebat, tapi ponselnya berdering.
“Kak, ada kabar dari gedung dan penginapan nih. Katanya
gedung nggak bisa dipakai tanggal segitu gara-gara ada pejabat yang mau pakai hari
itu juga. Duh. Sebel banget deh kalau jasa kayak gini, pejabat itu juga
seenaknya aja nggeser-geser jadwal orang!” Suara Riana dari seberang telepon
terdengar sangat kesal.
Lihat, adiknya sendiri yang bantu dia mengurus pernikahan
ini juga ikutan stress. Rasti menghela nafas. Dia ingin semuanya sempurna di
hari H, tapi sebulan makin dekat saja sudah memakan banyak tenaga dan pikiran
seperti ini.
“Nanti biar aku protes sama pemilik gedungnya. Nggak mau
hari lain. Aku inginnya pernikahan itu di hari ulang tahunku. Dan gedung itu
satu-satunya yang oke buat konsep yang dirancang decorator.”
“Aku bilang dulu sama pengelola gedung,” kata Riana.
Kemudian terdengar dia sedang berbincang sama seseorang. “Kak, besok secepatnya
aja ke sini.”
“Oke. Trus, masalah penginapan?”
“Mama bilang kurang cukup buat keluarga kita. Tahu ajalah,
mama mau mengundang semua keluarga yang di daerah. Padahal keluarga kita besar
banget!”
“Nggak
ada yang lebih besar tapi masih dekat gedung, Na?”
“Aku lagi nyari. Masih belum ada yang bisa.”
“Coba lagi ya, Dek?”
“Iya. Aku cuma mau kasih tahu perkembangannya. Pernikahanmu
bakalan jad hal tak terlupakan, Kak. Percaya aja. Paling nggak, kamu beruntung
dapat Mas Junio.”
Hati Rasti berbunga, “Makasi, Na!”
Telepon di matikan. Rasti menghela nafas panjang. Dirinya
sudah terlalu lelah hari ini dan jam makan siang sudah hampir berakhir. Terasa
perut yang mulai minta makan.
Walau bagaimana pun ini semua untuk pernikahannya dengan
Junio. Jodohnya yang dia temukan di malam itu.pertetmuan selanjutnya mereka
lakukan beberapa kali. Sebulan... dua bulan... kecocokan itu menjadi semakin
terlihat. Junio akhirnya melamar Rasti. Namun, mereka sepakat untuk langsung
menikah tanpa harus tuangan dulu.
Rasti mengenal Junio sebagai pria yang pendiam, pendengar
yang baik, setia, dan menurut teman Junio dan karyawan mereka Junio jarang
terlihat dengan banyak wanita, dia setia dan penganut monogami. Rasti sempat
memberi syarat saat Junio melamar. Dia tidak ingin Junio berada di dalam mobil
berdua saja dengan seorang wanita, kecuali anggota keluarga. Selain itu, Junio
harus berada di sisinya sampai kapan pun.
Junio menyanggupi. Mudah baginya.
Rasti memang
sempat tak yakin dengan keputusannya menerima Junio. Kadang saat dia berpikir
kembali tentang hubungan mereka yang baru dua bulan saling mengenal, perasaan
ragu menyusup ke dadanya. Dia hanya pernah membayangkan bahwa suaminya adalah
seorang yang dia kenal luar dalam selama bertahun-tahun. Nyatanya, dia ada di
sini memulai sebuah keularga dengan orang yang belum dikenalnya luar dalam.
Rio menasihati Rasti tentang pendapatnya itu. “Pacaran
memang proses untuk saling mengenal, tapi kalau salah satu atau keduanya nggak
punya niat untuk saling menunjukkan diri sebenarnya tetap saja kita nggak bisa
mengenal pasangan luar dalam. Kalo pacaran, kan, yang dikasi lihat hanya yang
bagus-bagus saja, biar di mata pacar kita tetap berharga.
“Trus kalo menikah, mau dia ketahuan suka ngorok juga
nggak masalah. Pandai-pandai kita nerima pasangan apa adanya. Tugas kita untuk
menjaga komitmen dan mengatasi masalah yang ada.”
Iya, iya! Rasti jadi bingung sendiri.
Pokoknya dia tidak boleh ragu lagi dengan Junio. Semua
bilang kalau Junio sangat pantas jadi pendampingnya. Gagah, mapan, santun, dan
sayang keluarga. Buktinya dia masih peduli dengan ibunya walau pun sang mama
tinggal di sebuah panti jompo. Selain itu, Junio rela menjalani usaha toko roti
keluarga di samping tugasnya yang cukup banyak sebagai seorang brand manager.
Rasti melirik foto Junio saat dia membuka dompet untuk
membayar tagihan pencetakan undangan, dia tersenyum.
Junio... kuharap kamu memang Sang Mr. Right.
Junio mendapatkan email dari
Rasti, dengan antusias dia membaca email tersebut.
“Dearest Junio, aku
mungkin kecapekan sampai telat bangun buat pergi ke kantor. Persiapan
pernikahan memang menyita waktu. Tapi, aku udah berkeputusan untuk mengaturnya
sendiri bareng keluargaku.
Kamu
kerjakan saja tugasmu di sana. Don’t worry... aku
tangguh kok.
Salam
sayang, Rasti.”
Junio tahu kalau Rasti pasti menulis email beberapa kali
sebelum dia mengirimkan yang ini. Wanita itu dikenalnya ekspresif dan sering
panik berlebihan. Tapi, makin hari Rasti sudah berubah untuk dapat melihat
semua sedikit lebih rasional. Lihat saja, sekarang dia bukan sosok wanita
dewasa yang manja, tapi tangguh.
“Dearest, I wish I was there. Aku selalu memikirkanmu. Tak
sabar ingin berjumpa dan membantu mengurangi kelelahanmu...”
Dikirimnya email balasan itu.
Junio sedang berada d Jepang untuk melakukan
pekerjaannya. Perjalanan ke luar negeri ini dilakukan setiap empat bulan
sekali. Kebetulan kali ini Junio bertugas selagi persiapan pesta pernikahan
harus dilakukan. Rasti memilih sendiri tanggalnya... tanggal ulang tahun wanita
itu saat dia beranjak menjadi dua puluh sembilan tahun. Junio setuju saja dan
malah senang bisa memberikan kehidupan baru bagi Rasti saat wanita itu
bertambah umur.
Kemudian dia teringat sesuatu, dikirmnya sebuah email
lagi. “Ayo kita pakai Skype malam ini. Aku ingin ngobrol banyak.”
Inilah mereka, saling berhadapan. Junio di Jepang
sedangkan Rasti di Indonesia. Dari balik webcam
masing-masing mereka mengobrol. Rasti menceritakan kepanikannya tentang segala
persiapan dan tetek bengek pernikahan. Junio mendengarkan dengan tenang, kadang
menanggapi di saat yang tepat. Dia melihat wajah calon istrinya yang kecapekan
namun rela melakukan semua.
Junio mengatakan seuatu.
“Ras... kamu yakin, kan?”
Seharusnya Junio tak perlu menanyakan hal itu, tapi
bibirnya gatal untuk meluncurkan kata-kata tadi.
“Kamu kan nggak perlu tanya lagi, Jun. Aku nggak mau plin
plan terus. Aku pernah gagal berhubungan dengan cowok beberapa kali karena
sikapku yang berubah setiap lima menit. Kekanakan jika mengingat aku sering
banyak permintaan dan harapan soal pasangan. Kamu pilihanku, Jun. Aku nggak
tahu lagi harus bagaimana selain yakin kamulah The One.”
Junio tersenyum. “Aku juga yakin kamu orangnya. Ibuku
juga yakin... kita jodoh, sayang.”
Kemudian keduanya saling mendekatkan tangan ke layar
komputer, berharap seandainya kulit mereka memang bisa saling menyentuh.
Rasti minta agar dia
dapat tenang satu hari saja. Lepas dari persoalan persiapan menikah. Kini dia
bersama tiga orang temannya yang sudah akrab sejak SMA. Mereka semakin jarang
bertemu. Hanya karena salah satu dari mereka akan menikah maka sedapat mungkin
mereka menyempatkan bertemu. Disini, di sebuah restoran, mereka berada.
“Hampir mampus rasanya ngurus nikah sendiri!” keluh Rasti
pada teman-temannya.
“Kamu pakai acaranya ingin ngurus tanpa WO. Ya, tanggung
sendiri lah...,” komentar Mirna, tamannya yang sudah menikah dua tahun lalu. “Coba
lihat aku yang pakai WO. Beress...” WO alias Wedding Organizer.
“Ya, orang pemalas kayak kamu memang cocok pakai jasa
itu,” celetuk Dina yang masih lajang. Cewek itu cukup macho karena gemar
olahraga ekstrim.
“Pemalas bagaimana, kalau ada yang bisa membantu harus
dimanfaatkan. Memberi kemudahan, kan?”
Sedangkan Ingrid, temannya yang lain hanya tersenyum
sambil membelai bahu Rasti. Rasti berterima kasih karena masih ada temannya
yang peduli.
“Ras,” panggil Dina. “Kenapa kamu bisa nentuin diri
begitu aja buat nikah. Secepat ini lagi. Kenal calonmu baru dua bulan, kan?”
“Dan parahnya kita belum ketemu sama Junio!” kata Mirna. “Is he a hot guy?”
“Kamu pasti kepincut penampilannya deh, sampai mau
menerima lamarannya yang begitu cepat...,” komentar Ingrid.
“Kita jarang ketemu, makanya nggak bisa ngenalin dia
dulu. Mungkin apa yang kata Ingrid benar. Pokoknya dia pria yang membuat diriku
berharga. Perhatian, mendengarkan semua yang kukatakan, dan.... absolutely, he is hot!!”
Kemudian Rasti mengeluarkan foto Junio dari dompetnya. Teman-temannya
ingin melihat wajah calon suami Rasti. Mereka langsung terkagum-kagum. Tak ada
yang menyangkal tentang keelokrupaan Junio. Bahkan Rasti yakin kalau
teman-temannya iri.
“Seorang pangeran berkuda akhirnya menemuiku.”
“Selamat datang di negeri dongeng. Kamu belum tahu
bagaimana sebuah penikahan sebelum memasukinya. Nggak selamanya indah, lho,
Ras,” kata Mirna.
“I know,” jawab
Rasti santai di depan teman-temannya, padahal hatinya was-was.
“Dia nggak suka kasar, kan? Bossy? Soalnya aku pernah baca kalau cowok yang tampan itu
cenderung arogan, suka bentak-bentak dan nyuruh-nyuruh kita, kayak dia raja
saja.” Rasti tahu Mirna bermaksud baik menanyakan hal ini, walau terlalu
vulgar.
Rasti menatap Ingrid. “Junio terlalu pendiam malah. Dia
jarang marah kelihatannya... ada orang yang nggak bisa marah, kan?”
“Siapa tahu pas udah kawin berubah, Ras,” celetuk Mirna.
Kali ini, Rasti tidak pedulikan kata-kata Mirna. “Nggak
ada yang sempurna, kita harus percaya pada pasangan. Semua orang punya
kelebihan dan kekurangan.” Dia teringat Maria.
Teman-temannya menatap Rasti. Sudah banyak perubahan dari
wanita yang akan menikah ini. Dulu Rasti suka berfikir beralas perfeksionisme,
sekarang sepertinya dia bisa lebih rasional. Mungkin terpengaruh Junio. Bagus
juga cowok itu membawa efek baik, fikir mereka.
“So, gimana
perkembangan persiapan?”
“Adikku, Riana, yang jadi seksi sibuk banget. Aku kasian
juga lihatnya, tapi dia antusias membantuku.”
Tiba-tiba ponsel rasti berdering. Dilihatnya di layar
nama adiknya. “Baru diomongin dia udah nelpon. Bersin-bersin kali di sana.” Diajawabnya
telpon itu. “Ya, Na?”
“Kakak, maaf ganggu acara Kakak, ini masih ada masalah
sama penginapan...”
Aaarrggh! Padahal Rasti ingin libur sehari!!
Setelah urusan purchasing di Jepang selesai, Junio
segera kembali ke Indonesia. Dia sudah tak sabar ingin membantu calon istrinya
dalam mempersiapkan pernikahan yang kurang dari sebulan lagi. Semua begitu
mendebarkan, tapi sekaligus
menyenangkan. Junio bahkan sering terbangun dengan pikiran takjub
tentang dia akan menikah. Padahal sebelumnya, dia pikir pernikahan hanya akan
jadi cerita orang lain, bukan miliknya. Dia tak menyangka bahwa dalam waktu
yang singkat jalan hidupnya bisa berubah.
Pertemuannya dengan Rasti... pertemuan yang dia sebut
pertemuan cinta. Selamanya dia akan mempertahankan hubungan ini. Dengan
pernikahan, ya! Hanya pernikahan yang bisa membuktikan bahwa hubungan ini
bernilai dan pantas dpertahankan.
Dikirimnya SMS ke Rasti, tentang dia akan segera pulang.
“Sayang, aku akan
segera ada di sampingmu... see you there.”
Rasti kemudan membalas: “Maaf, aku nggak bisa menjemput Mas di bandara. Pekerjaanku masih banyak
yang belum selesai.”
“Tidak masalah. Aku
yang harusnya minta maaf karena waktumu tersita untuk kita.”
“Aku ingin semua
kita lakukan sendiri. Demi kita.”
“Love you. Thank God that I found you, dearest.”
“Love you too. You are my strength!”
Junio sudah terbiasa melakukan perjalan ke luar negeri
seperti ini, jadi dia merasa tidak pelu merepotkan Rasti untuk menjemputnya di
bandara meski pun bayangan meeka berpelukan mesra di depan umum dengan wajah
bahagia sangat menggoda hati. Dia ingin segera berada di samping wanita itu.
Namun, sebelum dia bertemu dengan Rasti, sesampainya di
Jakarta dia akan menemui dua orang. Pertama sahabatnya, Fiki, untuk curhat padanya.
Junio selalu bercerita pada sahabatnya itu. Kedua dia akan ke panti jompo
tempat ibunya kini dirawat dengan intensif. Teakhir tetapi paling dinantikan,
dia akan bertemu Rasti!
Ponselnya berdering, Junio menjawab panggilan itu. “Oke, bro. Ini aku udah di mau berangkat ke
bandara. Ntar aku kasi tahu jam berapa sampai di Indonesia. Jemput aku, bisa
kan? Oke. Thanks.”
Junio menutup pembicaraan dengan Fiki.
Rasti sedang ada di
sebuah salon bersama adiknya. Mereka butuh relaksasi untuk mengrangi stres akibat
persiapan pernikahan yang menyita tenaga, waktu, dan pikiran. Diliriknya
adiknya yang sedang dipijat tampak begitu menikmati. Rasti masih punya sedikit
merasa bersalah telah merepotkan adiknya.
“Apa pernikahanku nanti akan berat seperti ini?” tanya
Riana.
Rasti mendongak dari majalah yang dibacanya. “Mungkin
kalau pakai WO kita nggak perlu terlalu repot.”
“Ah, pakai WO juga masih ada masalah yang bikin hari-hari
begitu sibuk. Buktinya temanku yang pakai, di hari H aja masih ada masalah.”
Rasti ada di salon ini untuk melemaskan semua ketegangan
dan membuat dirinya segar dan cantik kembali. Dia ingin tampil manis di depan
Junio nanti. Pasti cowoknya itu akan bahagia jika Rasti hadir dengan wajah
cantik tanpa stess.
Junio, aku kangen sekali...
Junio sampai di Indonesia
kembali, di bandara dia di jemput sebuah mobil sedan mewah lengkap dengan
sopir. Ternyata Fiki tak berhasil juga meluangkan waktu untuk menjemputnya. Junio
maklum karena pekerjaan Fiki sebagai direktur begitu menyita waktunya akhir-akhir
ini.
Sang sopir berkata pada Junio. “Pak Fiki baru bisa temui
bapak jam makan siang. Jadi saya di suruh antar ke restoran biasanya. Nggak
apa-apa, kan Pak?”
“Nggak masalah, pak. Cuma titip travel bag saya, nanti dijemput.”
“Baik, Pak.”
Junio diantarkan ke sebuah restoran. Jam makan siang
sudah mendekat, restoran sudah hampir penuh. Untung saja dia masih bisa
mendapatkan meja. Seorang pelayan mengantar Junio ke meja yang kosong.
Tak berapa lama menunggu, sosok Fiki sudah muncul di
restoran.
Junio hanya perlu satu kata untuk menggambarkan Fiki:
metroseksual. Dia begitu menjaga penampilan dari ujung kaki sampai ujung
rambut. Temannya itu memang tak sayang uang kalau soal penampilan. Selain itu,
Fiki adalah pelanggan loyal toko pakaian tempat Junio bekerja. Kadang Junio
melakukan purchasing untuk
barang-barang yang pasti disukai sahabatnya itu.
“Sorry, agak
telat,” kata Fiki setelah dia duduk. Dirrenggangkannya dasinya sedikit.
“Nggak apa-apa. Pesan makan yuk.”
Mereka memesan.
Saat mereka menunggu, pasangan di meja di samping mereka
menoleh dengan pandangan yang tak suka. Terang-terangan mereka mengatakan
sesuatu. Junio dan Fiki tidak memperdulikan. Biarkan mereka bicara apa.
Fiki menghela nafas panjang, membuat Junio bertanya.
“Cuma masalah kantor biasalah... masalah nggak datang
satu dua hari,” jawab Fiki. “Gimana kabar pernikahanmu? Lancar?”
“Persiapan pernikahan,” koreksi Junio. “Rasti yang urus
bareng keluarganya, sedangkan gua disuruh fokus pada pekerjaan saja sama
ibunya. Nggak tega juga sih ninggalin mereka.”
“Risiko pekerjaan,” komentar Fiki.
“Ya. Tapi nanti gua akan bantu semampunya. Malu sama
keluarga Rasti kalau gua kelihatan tidak
peduli.”
“Lu berjuang banget kelihatan bagus di depan mereka, ya?”
Junio mengangkat bahu. “Mau bagaimana lagi. Aku mesti
nunjukin yang terbaik bagi Rasti dan keluarganya. Sejauh ini aku berhasil.”
Fiki menepuk bahu Junio. “Bro... akhirnya! Lu nikah juga!”
“Gue sendiri juga masih nggak percaya.”
Pesanan mereka datang. Keduanya menikmati makanan
masing-masing.
“Akhirnya, lu percaya kalo kita berusaha pasti bakal
dibantu Tuhan,” kata Fiki. Walau pun dia tidak menjalankan ajaran salah satu
agama dengan baik, dia seorang yang spiritual. Dia sering berbicara tentang
Tuhan.
“Ya, Tuhan membawaku ke dunia itu dulu dan menarikku
kembali ke luar. Dia memberiku kesempatan untuk berubah.”
Fiki tersenyum.
“Soal yang kemaren, Jun,” kata Fiki. “Lu nggak perlu deh
langsung bilang ke Rasti mengenai kondisi dan masa lalu lu sebenarnya. Biar
saja dia menilai diri lu tanpa lu ikut mengatakan semua tentang lu.”
“Tapi, gue masih merasa membohongi dia. Setiap kali
bertemu pasti bibir gue gatal pengen ngomong.”
“Tahan omongan itu. Suatu saat jika dia tahu, maka saat
itulah lu bisa buktikan dia cinta lu atau nggak. Kalau sekarang terlalu cepat,
bisa-bisa dia batal jadi bini lu.”
Junio menimbang kembali perihal ucapan Fiki. Mereka sudah
membincangkan ini bekali-kali, tapi masih kurang sepakat.
“Ini demi masa depan pernikahan lo yang baru aja akan
dimulai. Selangkah lagi... jadi bagusnya lu jangan bikin runyam suasana.”
Akhirnya dia menghela nafas, Junio mengangguk. “Oke, bro.”
“Kapan gue bisa bertemu Rasti lagi?”
“Kapan lu bisa aja. Lu yang super sibuk, kan?”
Fiki terkekeh.
“Asal jangan pas nikahan gue aja lu nggak hadir. Awas
kalo sampai absen!”
“Tenang aja, bos. Kalau perlu sekantor gue libur buat
datang ke pernikahan lu.”
Mereka tertawa.
Rasti melihat-lihat lagi
contoh barang-barang yang akan jadi cenderamata saat pesta pernikahan. Ada
lilin berbentuk silinder dengan ukiran etnik pada sisi-sisinya. Ada pula sebuah
tempat pena yang berhias batu-batuan laut. Sedangkan yang lain adalah kain yang
berfungsi untuk alas meja nakas. Sepertinya Rasti ingin pilihan yang lain.
Ponselnya berdering. Nama Junio tertera di sana.
“Halo, Jun?”
Suara Junio terdengar merdu dari seberang sana. “Aku sudah di Jakarta lagi sayang...”
“Udah sampai dari tadi?”
“Iya, sekarang mau
jenguk ibu. Mau ikut?”
Rasti melirik ke tumpukan benda-benda di depannya. Dia
harus memilih salah satu cenderamata itu saat ini juga. Namun, dia ingin sekali
hadir bersama Junio menemui calon mertuanya. Tanpa pikir panjang dan meneguhkan
hati, Rasti memilih satu dan memberikannya pada pegawai toko cinderamata itu. Dia
menandatangani sebua nota kemudian membayar sebagian ongkos produksi.
“Bagaimana, jadi
ikut?”
Rasti keluar dari toko itu dan menuju mobilnya. Dia akan
pulang ke rumah dulu. “Jemput aku ke rumah saja, ya Jun?”
“Oke. See you,
dear.”
Telepon ditutup.
Alasan memasukkan
orangtua ke panti jompo tidak selalu buruk. Junio sebenarnya tidak tega ibunya
ada di sana, namun kalau tidak meminta bantuan perawat profesional, dia akan
mengharapkan siapa? Junio harus bekerja, sedangkan keluarganya yang lain berada
di negeri yang jauh dan jarang bertemu. Bahkan saat lebaran, pun, Junio hanya
menghabiskan waktu bersama ibunya untuk mengunjungi teman-teman dan rekan
kerja, bukan keluarga. Bisa dibilang, Junio hanya memiliki ibunya. Junio
terpaksa memasukkan ibunya ke panti setelah sang ibu menderita Alzheimer dan
beberapa kejadian beruntun membuatnya benar-benar harus berada di tangan
profesional.
Rasti melihat wanita itu dengan takjub. Beliau masih
menggunakan baju bagus dengan selera yang tidak buruk. Sepertinya hal ini yang
menurun pada Junio. Rapi dan elegan.
Dulu ibu Junio pasti cantik. Rambutnya yang memutih pun
malah membuatnya manis, pikir Rasti.
Sore itu, ibu Junio sedang duduk di teras yang menghadap
ke taman yang hiaju. Pandangannya jauh ke luar sana. Beberapa orangtua yang
lain ada di sana. Namun, sepertinya mereka sedang ingin tidak diganggu orang
lain.
Alzheimer’s disease,
yang kini mulai mengambil sedikit-demi sedikit kemampuan memorinya, membuat ibu
Junio kadang lupa akan beberapa hal, kecuali putra satu-satunya. Rasti pernah
membaca kalau penyakit ini memang rentan pada orangtua, apalagi pada orangtua
tunggal yang hanya memiliki satu anak. Bahkan pada tahun 2050 akan terjadi
peningkatan empat kali lipat jumlah penderitanya dibandingkan pada tahun 2006
dimana 26,6 juta orang mengidapnya di seluruh dunia. Inilah akibat tingkat
perkawinan yang menurun, perceraian meningkat meski pun kehidupan semakin baik.
Rasti menjadi bertanya-tanya apakah dia akan terserang
Alzheimer suatu saat nanti dan dimana Junio kala itu? Rasti berencana mempunyai
anak lebih dari satu, agar dia tidak kesepian di kala tua.
Agar dia tak perlu berada di panti jompo...
“Ibu...,” panggil Junio. Dada Rasti bergetar saat Junio
mengucapkan itu. Rasti tahu bahwa pria itu sangat mencintai ibunya.
Ibu Junio menoleh, tapi dia malah menatap Rasti alih-alih
ke Junio. Rasti sebelumnya pernah ke sini, tapi tak menjamin ibunya akan ingat.
“Siapa?”
Rasti maklum jika calon metruanya itu tidak mengingat
nama dan siapa Rasti.
Dengan sabar Junio mengatakan bahwa Rasti adalah calon
istrinya. “Calon menantu, Ibu. Keluarga kita tambah satu orang lagi. Ibu
senang, kan?”
Sedikit demi sedikit mulutnya menguarkan senyum.
Rasti juga tersenyum. “Ibu, Junio sangat sayang sama Ibu. Saya janji saya
tidak akan mengambil begitu banyak kasih sayangnya dari ibu.”
“Kamu cantik,” kata Ibu Junio. Dia memberi tanda agar Rasti mendekat. Rasti
duduk di sebelah beliau.
Junio gantian berdiri memberi Rasti tempat.
Ibu Junio mengelus rambut Rasti, kemudian memeluk wanita itu. “Junio
sayang kamu?”
Dari balik punggung ibunya, Junio mengangguk pada Rasti.
“Iya, bu,” jawab Rasti.
“Ibu juga sayang Junio. Jaga dia baik-baik.”
“Baik, bu.”
Kemudian Junio duduk lagi, dia memeluk pinggang ibunya dan bersandar pada
bahu wanita yang telah membesarkannya. Rasti kembali melihat sosok Junio yang
penuh cinta dan peduli dengan keluarga. Bayi besar itu, Junio, membuatnya
semakin yakin dengan apa yang akan mereka hadapi kurang dari sebulan lagi tidak
akan begitu sulit. Rasti tahu, pengorbanannya dalam pesiapan penikahan akan
berbuah manis.
Junio meminta Rasti duduk di sebelah lain sisi ibu. Rasti menurut. Mereka
kemudian saling berpelukan sambil menatap matahari terbenam di antara
gedung-gedung yang menjulang. Sekitar mereka memberikan kesejukan menambah
indahnya petang itu.
Tak bisa dipercaya. Tak
mungkin. Ini tak mungkin. Rasti ketakutan setengah mati saat dia tahu bahwa
hari ini adalah hari pernikahannya. Akad nikah, mas kawin, cincin, .... Junio!!
Aarrrgh, dia ingin menghilang dari dunia ini saking
gugupnya. Untung ada Riana yang setia menyemangati.
“Na, aku... takut...”
“Jangan kayak di film-film Hollywood, deh, Kak. Kita sudah di harinya. Jalani saja. Yakinkan
dirimu!” Riana membantu penata rias memeriksa pakaian nikah Rasti, jangan
sampai ada yang tampak ganjil.
“Kamu tidak bisa merasakan, sih.” Rasti melihat pantulan
tubuhnya di kaca yang besar. Cantik sekali kebaya ini.
“Bisa. Aku juga gugup. Akhirnya kakak punya suami juga!”
Riana hampir saja berteriak jika tidak diingiatkan Rasti.
“Dan kamu bisa langsung nikah sama Allan. Kapan? Besok?”
kata Rasti bemaksud untuk membuat lelucon. Dia tertawa namun agak ganjil karena
kegugupan lebih mendominasi.
“Sekarang fokus sama acara. Coba senyum?”
Rasti tersenyum.
“Kok seperti itu? Simetris kiri kanan, dong.”
“Bawel, kamu, Dek!”
Riana mengabaikan protes kakaknya. “Pokoknya jangan
membuat kita semua kecewa, Kak. Kamu sudah putuskan untuk menikah. Jalani dan
yakin.”
Rasti mendengus. “Duh, kayak sudah berpengalaman.”
“Yee, aku baca buku-buku pernikahan. Bukan harus yang
berpengalaman bisa tahu ilmunya, kan?”
“Doakan aku, Na. Doakan juga Junio.”
“Semua keluarga tanpa diminta akan saling mendoakan, kan?”
Mereka berpelukan.
Akad nikah berlangsung dengan khidmat, semua senang
dengan jalannya yang lancar dan itu pertanda baik. Junio mendapatkan ucapan
selamat dari semua teman, rekan, dan keluarga Rasti. Rasti pun begitu, dia
duduk di samping ibu Junio yang turut hadir menggunakan kursi roda.
Pesta pernikahan yang
sudah dirancang dan dipersiapkan Rasti berjalan sukses. Pembawa acara behasil
membuat gedung ini semarak. Pengsisi acara yang didatangkan, penyanyi solo yang
sedang naik daun, bisa membuat semua orang ingin bergoyang. Mereka yang sedang
menikmati makanan diberikan suguhan musik pop yang bagus.
Saat siang hari, presenter, yang sudah diminta beberapa
para teman, meminta agar Rasti dan Junio naik ke atas pentas. Rasti tertawa
mendengarnya, dia malu, tapi ada Junio di sampingnya. Pasangan ini pun turun
dari pelaminan sebentar dan mendekat pada presenter.
“Jadi, mempelai pria kita yang tampan harus bernyanyi
untuk pengantinnya!”
Junio di suruh bernyanyi untuk Rasti! Rasti tertawa. Kontan seluruh
ruangan itu bertepuk tangan. Mereka tak sabar ingin mendengar Junio bernyanyi.
“Aku nggak bisa nyanyi... suaraku jelek banget!” kata
Junio, tapi seluruh orang tak menghiraukan penolakannya. Akhirnya Junio
bersedia karena dia ingin mempersembahkan sesuatu bagi istrinya.
Rasti dengan malu-malu berdiri di samping Junio.
Junio menyanyikan lagu berjudul Denganmu, yang
dipopulerkan Marcell.
“Hatiku terpaut padamu...
Sukaku adalah dirimu...
Bahagialah aku... saat ini...
Berdua kita tlah berjanji
Selalu berjalan bersama
Dari saat ini... selamanya... huhuu
Dengamu kuhidup...
Selalu berdua....
Itulah janjiku, setia padamu...
Kujaga dirimu, sepanjang
hidupku...
Dalam tiap waktu, aku disisimu...
Tuhan lah yang satu kan kita
Karena semua inilah rencanya
Apa pun yang akan terjadi
Dihadapnkita selalu berserah
Kepada-Nya..
Haa....”
Semua bertepuk tangan. Selesai bernyanyi, Junio merangkul
Rasti dan memberikan kecupan yang dalam di kening istrinya. Hantnya membengkak
saking bahagianya. Rasti membalas dengan pelukan yang tak kalah mesra. Setiap
lirik lagu tadi akan dijadikannya kenangan teindah.
Di sekeliling mereka, Rasti dan Junio melihat semua wajah
yang bergembira. Orangua Rasti, Rio, Riana, dan Ibu Junio, memberikan raut
wajah puas dan bahagia.
Walau pun begitu, ada beberapa teman Junio yang berkata
hal yang tak sepantasnya di saat mereka bersalaman. Rasti tak tahu siapa
namanya, tapi cowok itu berkata: “Kupikir lo gay beneran Jun. Kiranya bisa kawin sama cewek juga, ya?”
Membuat Rasti bete saja.
Junio hanya membalas dengan senyuman, tak menanggapi.
Saat teman-teman Rasti, Mirna, Dina, dan Ingrid
bersalaman dengan mereka, ketiganya ikut menangis saat mata Rasti mulai
berkaca-kaca. Berempat mereka hampir histeris saking bahagianya.
Sedangkan saat Fiki bersalaman, Junio memperkenalkannya
pada Rasti.
“Dia sahabatku, Ras,” kata Junio.
Fiki menyalami Rasti. “Padahal dari bulan-bulan lalu aku
ingin bertemu dan ngobrol sama kamu, Rasti. Tapi nggak pernah sempat.”
“Maklum, orang sibuk,” celetuk Junio.
“Mungkin lain kali kita sempatkan, Fiki. Oke?”
“Oke.” Kemudian Fiki berbicara agak pelan pada Rasti. “Kamu
beruntung dapatkan Junio. Dia baik banget. Aku bicara hal ini bukan karena aku
sahabatnya, walaupun memang ada pengaruh sih, tapi benar... dia berharga untuk
dipertahankan.”
Rasti mendengarkan dengan tenang.
Fiki mengedipnya.
“Eh, bini orang jangan dikedipin, dong!”
Keduanya tertawa mendengar protes dari Junio. Kadang
Junio bisa lucu dan cemburuan juga ternyata, pikir Rasti.
***
Saat semua sibuk di dalam
ruangan dan menimati pesta yang meriah, seorang cowok berusia akhir dua puluhan
berjalan dengan ragu menuju pintu ruangan itu. Dia berpakaian kasual, bukan
gaya untuk ke pesta pernikahan. Dia cukup tampan dan menarik, tipikal pria yang
peduli dengan penampilan, gaya, dan mengikuti tren masa kini.
Jalannya makin lambat saat mulai mendekati lokasi dimana Junio dan Rasti sedang
bebahagia. Ditatapnya sebuah spanduk yang bertuliskan “Pesta Pernikahan JUNIO
dan RASTI”, yang nama pasangan itu berada di gambar hati bewarna merah muda.
Junio, diingatnya kembali kali teakhir dia bertemu dengan pria berkacamata
itu. Dia ingin menemui Junio dan mengatakan bahwa sangat susah melepaskan
kenangan yang pernah ada dengan pria itu. Dia ingin... tapi semua sudah lewat,
semua sudah menjadi masa lalu.
Dia tidak diundang.
Bagai bukan siapa-siapa. Sedikit pun Junio tak berniat mengundangnya ke
pesta yang meriah itu.
Kemudian, baru di sadarinya dia sudah berada dua meter
dari pintu. Beberapa orang di sana menatapnya heran karena berpakaian tidak
formal. Dia jadi ragu, takut, dan langsung balik kanan untuk pulang.
Bukan saatnya dia bertemu Junio. Dia masih bisa bertahan
dengan sakit hati ini. Dia masih bisa mengobati semua luka dari masa lalu. Seharusnya
dia tidak ke sini, malah membuat dirinya sendiri menderita.
Pria itu kembali ke luar gedung, menuju parkiran dan
mengendarai mobilnya kembali ke rumah.
Pria itu bernama
Andy.
0 comments:
Post a Comment