Sunday, January 1, 2012

Bab 7 Confession of A Broken Heart

Posted by Jason Abdul at 3:14 PM

Rasti mual-mual lagi, kali ini morning sickness benar-benar menyakitkan. Perutnya seperti terkuras dan tak ada isinya lagi. Junio dengan lembut mengelus punggung Rasti dan membawa segelas air susu untuk ibu hamil. Rasti hampir menangis saat perutnya melilit.
            Junio memberikan gelas susu itu. “Minum ini dulu, sayang...”
            Jadi ibu hamil sungguh berat, banyak hal yang berubah pada tubuh mereka, banyak kesulitan yang mendekati. Mereka tak kuat lagi berdiri lama-lama, cepat lelah, atau perut yang tiba-tiba sakit.
            Rasti meneguk susu itu sedikit, tapi lidahnya mengecap rasa yang sangat aneh. “Rasanya aneh, Mas.”
            “Tahan aja rasanya, Ras. Susu ini penting buat kamu dan bayi kita.”
            Junio merangkul Rasti dan menuntun istrinya duduk di tempat tidur. Dia tak tahan melihat wajah Rasti yang pucat. Sekeliling tepi rambut Rasti juga berkeringat. Junio membersihkan keringat Rasti dengan tangannya.
            “Aku nggak bisa tidur semalaman,” kata Rasti.
            “Orang iseng itu masih ganggu lagi?” tanya Junio.
            Rasti mengangguk. “Mau dibiarin, dia tetap mengganggu. Kalau diladeni malah sembunyi.”
            Junio meminta Rasti untuk menghirup nafas yang dalam dan mengeluarkannya pelan. Bernafas sadar adalah cara menenangkan jiwa yang paling mudah.
            Sudah empat hari, Rasti diteror oleh seseorang. Dia dikirimi sms-sms kosong yang membuat inbox ponselnya penuh. Jika malam hari, orang itu menelpon, tapi tak menjawab jika Rasti mengangkatnya. Berkali-kali Rasti mengirimkan sms yang mengatakan kalau dia ingin tahu apa kesalahannya sehingga perlu diganggu.
            Rasti kelelahan, tapi tak mau tidur.
            Junio merasa dia tahu siapa pelakunya. Pasti Andy. Siapa lagi yang bisa berbuat nekat seperti itu pada keluarganya? Beginilah kalau orang jenis Andy itu sakit hati, perbuatan mereka bisa sangat nekat. Namun, terlalu pengecut untuk menampakkan diri.
            Junio sebenarnya juga di teror nomor asing, tapi dia tidak memperdulikannya. Dia tak mau Rasti tahu dan malah membuat istrinya semakin khawatir.
            “Begini saja, nanti kita pergi ke kantor pelayanan komunikasi untuk blokir nomor-nomor asing yang mengganggu. Oke?” ajak Junio.
            Rasti hanya mengangguk lagi.
            “Sekarang kamu tidur dulu, Ras. Nggak usah kerja dulu. Biar aku yang bilang ke kantor kamu.”
            Junio menidurkan Rasti pelan-pelan. Setelah Rasti merasa nyaman, Junio memberinya sebuah kecupan.
            “Aku sayang kamu, Ras. Sampai kapan pun...”
            “Aku percaya itu, Mas.”
           
Junio tak bisa menemani istrinya seharian di rumah karena harus bekerja. Dia tak tega meninggalkan Rasti sebenarnya. Namun, Rasti mengatakan kalau dia sudah membaik.
            “Mas pergi saja. Aku udah nggak apa-apa. Udah nggak terlalu sakit.”
            “Kamu yakin?” tanya Junio meragu.
            Rasti mendorong suaminya ke kamar mandi untuk siap-siap. “Aku akan menyiapkan baju, Mas. Mau pakai yang warna apa?”
            “Terserah kamu saja, Ras. Kalau begitu, aku mandi dulu, ya?”
            Setelah Junio pergi barulah Rasti menyesal dia ditinggalkan sendiri. Dia kesepian. Sebenarnya perempuan ini ingin Junio ada bersamanya seharian, tapi dia tak mau dianggap jadi istri yang egois. Junio juga punya kewajiban di luar sana.
            Kemudian sebuah sms masuk ke ponsel Rasti. Dia malas membacanya, tapi orang ini mengirim flash message, dimana penerima sms langsung dapat membacanya tanpa membuka pesan maupun inbox, isinya:
            “Mbak Rasti, coba sekarang anda hidupkan TV di saluran K.”
            Rasti membaca nama pengirimnya yang tertera di bawah pesan: Andy. Rasti merasa asing dengan nama ini. Orang iseng? Dia ingin mengabaikan tapi tak bisa. Jika perempuan sekali penasaran dia akan mencari tahu lebih banyak. Dia hidupkan TV, sebuah acara gosip hadir di layar kaca.
            Rasti melihat seorang pria... sepertinya dia pernah melihat pria ini! Ya, Rasti ingat, pria ini orang yang sama dengan orang yang melihat Rasti dengan tatapan tajam menusuk. Rasti tak bisa melupakannya.
            Dialah yang bernama Andy. Rasti tak mengira ternyata orang itu memang sudah punya dendam padanya. Hanya saja Rasti belum tahu alasan dia dibenci. Kenal saja tidak!
            Presenter acara gosip itu terkenal dengan gaya bicaranya yang berlebihan seakan-akan semua gosip adalah penting untuk diketahui. Kata-katanya membius. Sebenarnya Rasti menonton acara seperti ini hanya untuk sekedar hiburan. Kali ini apa yang akan dia ketahui sampai-sampai Andy memintanya untuk menonton?
            “Sekarang kita sudah bersama tamu kita siang ini. Andy Vajriyan. Seorang pemain sinetron muda yang sedang menapak karir. Di sini dia akan memberikan sebuah pengakuan mengenai jati dirinya,” kata sang presenter dengan komat kamit mulutnya yang khas.
            Pria muda yang tampan itu masuk dan duduk di samping presenter. Wawancara dimulai dengan basa-basi tentang kabar mereka.
            “Jadi, kenapa kamu mau mengatakan hal ini pada orang-orang?” tanya si presenter.
            Kamera di sorot penuh pada wajah Andy. Tak ada sedikit pun sosok mengerikan padanya seperti saat dia menatap Rasti malam itu. Bagi Rasti, Andy bagaikan seorang yang perlu diberikan kasih sayang, namun tak memperolehnya.
            “Karena kami walau berbeda, masih tetap manusia, makan, minum, ke sekolah dan membutuhkan cinta,” kata Andy.
            Si presenter kini disorot, “Andy yang baru dua tahun memasuki dunia hiburan mengakui dirinya adalah seorang homoseksual. Pengakuan ini bukan tanpa alasan. Dia merasa sudah cukup waktunya untuk masyarakat tahu bahwa gay bukanlah sesuatu yang buruk. Begitu pendapat kamu, Andy?”
            “Ya, orang-orang mengira kami bagai ‘telah’ melakukan tindakan kriminal. Padahal kami tidak mengganggu siapa-siapa. Ini masalah hati. Kalau ada salah satu dari kami... eh, misalnya membunuh, itu bukan karena dia gay.”
            Presenter mengatakan bahwa mereka akan melihat sejenak profil dari Andy. Dia seorang yang talentanya sudah terlihat sejak kecil. Namun, keluarganya tidak terlalu bahagia—orangtuanya bercerai. Dia mengaku kalau mengejar impiannya menjadi artis atas usahanya sendiri.
            “Saya sudah tahu kalau dalam diri saya ada yang ganjil sejak SD. Tanpa sadar saya suka mengamati tubuh pria dewasa yang menawan. Saya dulu tak tahu apa namanya. Semakin remaja dan semakin dewasa, saya tahu... saya gay.
            Setiap gay pasti pernah merasakan masa ‘penolakan terhadap diri sendiri’. Termasuk saya. Bertahun-tahun di SMA hingga awal kuliah, saya menyangkal kalau orientasi seks saya berbeda. ‘Saya normal, saya normal, saya normal.’ Itulah yang selalu saya ucapkan untuk mengurangi hasrat ini. Tapi, ini seperti the basic instinct. Saya tak bisa membohongi diri lagi.”
            Kemudian acara di lanjutkan dengan berita lawas tentang artis yang diberitakan sebagai gay, yang mengaku, dan yang diduga gay.
            Mata Rasti terpaku, tak bisa dialihkan dari televisi itu.
            “Pemirsa, Anda bisa mengajukan pertanyaan pada kami dengan menghubungi nomor di bawah ini,” kata presenter.
            Seorang wanita menelpon, suaranya penuh kecaman. “Gay itu nggak pantes hidup. Tuhan nggak pernah main-main menciptakan manusia. Kalau dia cowok, dia pasti akan menyukai cewek!!” kata penelpon pertama. Dia berbicara dengan intonasi geram.
            Andy hanya tersenyum mendengar itu, sudah terbiasa dengan cacian orang barangkali.
            “Kalau bagi tuhan kami nggak pantas hidup, kenapa harus diciptakan?” tanya Andy santai.
            Penelepon lain muncul. “Aku juga gay. Gue dukung lo, bro. Inilah saatnya kita bisa dipandang setara sebagai manusia, bukan dipandang sebagai orang yang mesti dimusnahkan.”
            Selain telpon, di layar juga di tampilkan cara mengomentari acara lewat beberapa situs jejaring sosial.
            Ada yang menulis: “Pengakuan lo cuma mau nyari sensasi doang? Kasihan banget, pemain sinetron nggak laku pasti.”
            “Setiap perbuatan yang kita nggak mau orang lain tahu adalah perbuatan yang nggak baik!!!” Tulis yang lain.
            Rasti mendengar dan membaca berbagai macam komentar. Ada yang pro, ada yang kontra. Sepertinya acara berating tinggi ini telah berhasil membuat sebuah berita lagi. Walau pun beberapa tahun lalu isu gay ini sempat hangat di bicarakan kemudian redup, kali ini ada yang mengungkitnya lagi.
            Rasti teringat pada Hani yang bilang kalau gay itu sudah sangat banyak.
            “Ada cara tertentu biar kita mengetahui seorang adalah gay atau tidak?” tanya presenter selanjutnya.
            “Dulu kami punya beberapa tanda yang sangat khas, tapi di masa sekarang gay lebih suka bersikap netral dan tidak terlalu mencolok. Lagipula dulu kita harus mencari-cari partner di mal atau kafe dengan mata sendiri. Sekarang sudah ada teknologi yang memudahkan.”
            “Internet?”
            Andy mengangguk.
            “Kami sudah memiliki situs jejaring sosial tersendiri. Malahan sangat banyak. Rata-rata dimiliki perusahaan dari Eropa dan Amerika, sedangkan yang di Indonesia sudah bermunculan walau belum efektif.”
            “Bagaimana kalian memanfaatkan situs-situs tersebut?”
            Andy menjelaskan kalau mereka saling menyepa lewat chatting dan fasilitas email situs tersebut.
            “Pemilik akun di sana bisa browsing siapa saja yang ada. Jika mereka tertarik dengan seseorang silakan sapa atau minta nomor ponselnya. Kalau tidak suka abaikan saja.”
            Si presenter bertanya tentang akun Andy.
            Layar kemudian dipenuhi sebuah halaman dari situs jejaring sosial gay. Ada foto Andy di sana sedang tersenyum. Tubuhnya bagian atasnya polos.
            “Biasanya orang tetarik jika kita memasang foto yang ‘menantang’.”
            Si presenter wanita cukup kaget melihatnya, mungkin dia merasa pria tampan ini sangat mubazir jika harus menjadi homoseksual.
            “Terlepas dari pro dan kontra di masyarakat, gay tak bisa dipungkiri ada dalam kehidupan kita. Mereka mengharapkan agar kita bisa memandang mereka dari perspektif sebagai manusia yang juga membutuhkan pengakuan.”
            “Menyembunyikan jati diri sama saja dengan membohongi diri,” tambah Andy. “Walau pun ada yang sudah menikah dengan wanita, seorang gay sulit melupakan siapa dirinya yang asli. Tak sedikit yang selingkuh dengan pria dibelakang istri-istri mereka.”
            “Apakah kamu sudah mempunyai pasangan Andy?”
            “Kami menyebut pasangan kami ‘BF’, singkatan dari boyfriend,” kata Andy. “Aku sudah memiliki BF walau pun akhir-akhir ini hubungan kami agak goyang karena dia memutuskan menikah.”
            Si presenter menunjukkan ekspresi terkejut lagi. “Apakah kamu membawa fotonya?”
            Andy mengangguk sambil mengeluarkan dompet dari sakunya. Kemudian dia meminta kamera agar menyorot sebuah foto di dompet itu. Tampak dua orang pria sedang berpelukan sangat mesra.
            Tiba-tiba Rasti merasa bumi bergoncang. Rasanya rumah ini rubuh menimpanya dan calon bayi yang tak bersalah. Rasti masti rasa.
            Pria di foto itu.... pria yang berpelukan dengan Andy itu...
            “Junio...??” Rasti tak bisa mempercayai ini. Ini adalah kebohongan. Fitnah. Acara gosip tak pernah mengatakan hal yang benar!
            “Siapa namanya, Andy?” tanya si presenter.
            “Junio Adihastoro.”
            “Dia sangat tampan,” komentar si presenter.
            Tak ada yang meragukan.
            “Saya pernah mendengar ada istilah ‘the hot guy is a gay’. Sepertinya ini berlaku untuk kamu dan pacar kamu,” kata presenter kemudian.
            “Kami sedang bertengkar. Padahal kami sudah berjanji untuk selalu bersama, namun dia malah menikah hanya agar dirinya diterima masyarakat. Saya setuju untuk menantinya beberapa waktu sampai dia siap untuk meninggalkan istrinya dan kembali pada saya.”
            Rasti tak bisa bernafas lagi, dadanya sesak...
            Junio akan meninggalkannya...?
            Rasti menangis hingga acara itu habis dan berganti dengan acara lain.

Junio juga mendapat sms yang memintanya untuk menonton acara gosip itu. Dia tak habis pikir Andy begitu nekat membeberkan semua tentangnya ditambah dengan fitnah pada Junio.
            Dia sudah gila!
            Junio tidak pernah ingin kembali ke pangkuan Andy. Junio sudah meninggalkan pria itu dengan memberi penjelasan yang masuk akal. Dia tak ingin meneruskan hasrat yang melawan Tuhan. Lagipula dia capek hidup di bawah bayang-bayang. Dia letih bersembunyi dari semua orang.
            Dia tak pernah lagi berhubungan dengan Andy, atau pria mana pun. Dia hanya mencinta Rasti dan selalu setia. Dia tak akan pernah mengkhianati janji pernikahannya di depan penghulu dulu. Dia tak akan menodai sucinya pernikahan.
            Junio takut jika Rasti menonton acara yang sama. Dia menelpon ke rumah, tapi tak ada yang mengangkat. Alih-alih menelepon ke ponsel Rasti, Junio menghubungi sahabatnya, Fiki.

Fiki bersedia menjadwal ulang rapat kantornya demi tetap berada di samping Junio. Bisa dibilang hanya Fiki yang bisa memahami perasaan Junio. Dia sudah menunggu kedatangan Junio di kantornya.
            “Lo juga nonton acara tadi?” tanya Junio sesampainya di ruangan Fiki.
            “Ya. Andy yang minta gue.”
Fiki menyuruh Junio duduk selagi dia menuangkan minuman untuk sahabatnya itu.
“Gue nggak habis pikir. Nekat banget anak itu. Apa yang diharapkannya?”
“Popularitas,” kata Junio.
Fiki menggeleng. “Dia pengen membuat lo menderita.”
“Kenapa dia tak bisa mengerti, sih? Gue cinta dia tapi kami nggak bisa bersatu! Itu faktanya! Gue laki harus nikah sama perempuan! Kenapa dia nggak bisa menerima itu?”
Fiki menenangkan Junio dengan menepuk dadanya. “Lo minum dulu, deh.”
Junio menerima gelas berisi air putih dan meneguknya. “Thanks, Fik.”
“Rasti udah bisa dihubungi?”
Junio tak menjawab. Dia menenggelamkan wajahnya di tangan. Tak tahu harus bersikap apa. Dia pusing karena sedari tadi Rasti tidak mengangkat teleponnya. Juni mengirim sms selalu tak terkirim. Namun, untuk menemui wanita itu sekarang Junio jujur dia tak sanggup.
“Gue nggak mau lihat ekspresi kecewa Rasti. Gue udah bohongi dia selama ini. Gue takut, Fiki, takut kehilangan Rasti.”
“Lo mau nggak mau harus hadapi Rasti, Jun. Dia berhak dapat pengakuan dari lo. Gue yakin dia bakal mengerti.”
Junio menggeleng. “Gue nggak sanggup.”
Fiki setuju dia akan menemani Junio untuk berbicara pada Rasti. “Tapi gue nggak mau ikut campur urusan rumah tangga kalian, Jun.”
“Gue ngerti. Makasi ya, Fik.”

Beberapa menit setelah acara selesai, sebelum Junio menelpon, telepon rumah Rasti berdering. Dia mengangkat telepon seperti seorang robot yang tak berjiwa.
            “Halo, bisa bicara dengan Mbak Rasti?” tanya orang di seberang sana.
            “Ya, saya sendiri,” jawab Rasti tanpa gairah sama sekali.
            “Kami dari tabloid Moem, Mbak. Apakah kita bisa membuat janji temu untuk wawancara. Kami ingin tahu lebih banyak tentang perasaan Mbak setelah mendengar pengakuan Andy.”
            Perut Rasti tiba-tiba terasa seperti dililit tali dengan erat. Dia melempar telepon itu kembali ke tampatnya. Tubuhnya lunglai ke sofa.
            Kini dia akan menjadi buronan para wartawan gosip. Dia akan jadi sasaran kejamnya fitnah (atau kenyataan?) yang ada di ranah hiburan. Pasti selagi dia menderita di sini, seluruh Indonesia sedang tertawa melihatnya. Para penonton akan mencemooh karena dia terlalu bodoh mau menerima lamaran orang yang baru dikenalnya dua bulan.
            Bayangkan! Dia hanya mengenal Junio dua bulan tapi bodohnya dia menyangka Junio ditakdirkan untuknya. Maria salah. Junio bukan jodoh Rasti. Junio hanya seorang yang pintar menyembunyikan identitasnya. Junio hanya seorang penipu yang menggunakan Rasti sebagai tumbal demi mendapat pengakuan di masyarakat!
            Sakit kembali menyerang bagian bawah perutnya. Rasti berteriak mengaduh.
            Lihat, inilah bayi Junio. Bayi ini membuat Rasti semakin menderita. Kenapa dia harus hamil dari benih orang yang telah membohonginya?
            Telepon berdering lagi, namun suaranya membuat Rasti takut. Pasti itu dari tabloid tadi. Tak berperikemanusiaan, batin Rasti, mereka mengambil keuntungan dari kisah penderitaan orang lain.
            Padahal itu adalah telepon dari suaminya, Junio.
Rasti menghubungi rumah orangtuanya. Di sana ternyata mama dan papanya juga telah menonton acara tadi.
            “Sabar, ya, Rasti... Anggap saja ini cobaan bagi pernikahanmu,” kata mama Rasti menenangkan anaknya yang tak bisa berhenti menangis.
            Rasti merasa ini bukan cobaan, ini terungkapnya fakta yang seharusnya dia tahu sebelum dia memutuskan menikah.
            “Aku nggak tahu harus gimana lagi, Ma. Aku nggak tahu Mas Junio sedang dimana. Lagipula, aku nggak sanggup jika harus bertemu dengannya.”
            Mama Rasti memberi tahu kalau Rio, kakak Rasti, sedang dalam perjalanan untuk menjemput Rasti. Tempat terbaik bagi Rasti sekarang adalah di rumah keluarganya. Rasti memang sangat membutuhkan sang mama.
            Tanpa disangka Rasti, di depan rumahnya sudah ada beberapa wartawan. Mereka masih di balik pagar memencet bel berkali-kali. Rasti tak tahu sudah berapa kali bel yang diabaikannya. Dia ketakutan.
            Akhirnya Rio datang, setelah susah payah menghindari kejaran wartawan yang memaksa ingin menemui Rasti, akhirnya Rio masuk ke rumah.
            “Kak Rio...”
            “Dasar wartawan tabloid gosip murahan, kalau memukul mereka dihalalkan hukum, aku buat babak belur satu satu!” kata Rio, kemudian dia melihat Rasti. “Ayo, aku bantu kamu berkemas.”
            Rasti menuju ke kamarnya. Dia mangambil sebuah koper kecil dan memasukkan beberapa pakaian. Tak peduli apakah rapi atau tidak.
            “Ayo, Kak,” ajak Rasti.
            Rio memeriksa isi koper Rasti, mengambil sebuah selendang. “Pakai ini. Jangan sampai wajah kamu kelihatan.” Kemudian Rio memberikan sebuah kacamata hitam.
            “Siap, dek?”
            Rasti mengangguk.
            Mereka keluar dari pintu. Belasan blitz kamera menimpa mereka. Rio dengan galaknya memarahi mereka.
            “Beri kami jalan!”
            Namun, para wartawan itu seperti serigala yang haus akan berita. Kali ini berita busuk!
            Rasti menangis sepanjang perjalanan ke rumah orangtuanya. Rio sengaja tidak mengajak adiknya berbincang lagi. Rasti pasti membutuhkan kelapangan untuk berfikir. Padahal Rio ingin mengatakan makian tentang Junio. Dia kecewa ternyata adik iparnya seseorang yang... dia malah tak ingin menyebutkan apa itu.
            Sesampai di rumah, tak ada yang dilakukan Rasti selain menangis di pelukan mamanya.

Junio melihat depan rumahnya sudah dipenuhi wartawan. Dia tidak mengerti kenapa dirinya yang bukan siapa-siapa menjadi incaran untuk media.
            “Mungkin sudah bosan dengan para selebritis. Mereka butuh bahan baru,” komentar Fiki yang duduk di balik kemudi.
            Junio masih mencoba menghubungi Rasti, tapi nihil. Dia pun tak berani menembus kerumunan wartawan di sana.
            Kemudian ponsel Junio berbunyi.
            “Halo, Mas Junio. Ini Riana. Kak Rasti udah di rumah kami. Dia sedih  banget dengar berita itu. Katanya, untuk sementara nggak usah temui dia. Kakak butuh waku untuk befikir, Mas.”
            Tanpa diberi kesempatan bicara, sambungan telepon itu sudah diputus Riana.
            “Ada apa, Jun?”
            “Rasti di rumah orangtuanya.”
            “Kita langsung ke sana?” tanya Fiki sambil bersiap-siap menghidupkan mesin mobil.
            “Jangan! Rasti nggak pengen ketemu aku. Dia butuh waktu berfikir.”
            “Nggak bisa begitu, Jun. Kalian harus bicara padanya dan selesaikan ini secepatnya.”
            Junio membuang pandangannya dari kerumunan wartawan di sana. “Gue akan lakuin apa pun asal Rasti senang. Kalau dia bilang bakal ceraikan gue, gue rela. Gue jahat, kan?”
            Fiki heran melihat semangat sahabatnya hilang. “Pernikahan buat dipertahankan Jun kalau ditimpa masalah gini. Realistis! Jangan mikir yang konyol.”
            Junio mendorong bahu Fiki, emosinya tiba-tiba naik. “Konyol apa maksud lo?”
            “Tadi lo bilang bakal rela mesti Rasti minta cerai. Trus kalian pisah? Mana bukti cinta lo dalam memperjuangkan cinta.”
            “Lo nggak ngerti, Fiki! Lo belum pernah nikah!”
            Fiki melajukan mobilnya tanpa minta persetujuan Junio. “Walau pun gue belum nikah, cinta itu masalah hati. Nggak ada orang yang melepas cinta kalau nantinya bakal sengsara.”
            “Apa bedanya sama Andy?” tanya Junio. “Dia lakuin kekacauan gara-gara cinta sama gue. Lo dukung dia memperjuangkan cinta?”
            “Maksud gue bukan itu, Jun. Lo udah nikah sama Rasti. Hubungan ini yang perlu diperjuangkan. Perceraian hal yang dibenci Tuhan, lo pasti tahu itu,” kata Fiki sambil melirik Junio.
            “Gue tahu! Gak usah sok ngajarin,” bentak Junio.
            Akhirnya Fiki hanya diam. Dia memahami perubahan emosi Junio yang menjadi tidak biasa.
           
Rasti terdiam di meja makan, sedikit pun tak selera menyantap apa yang ada dihadapannya. Padahal ayam bakar buatan mamanya adalah makanan favorit Rasti sepanjang masa.
            Mama Rasti membelai pipi anaknya. “Ayam bakarnya nggak enak, ya, Ras?” taya beliau lembut.
            Papa, Rio, dan Riana menatap Rasti, tak berkomentar tapi tatapan mereka menaruh kasih pada Rasti.
            “Enak. Buatan mama pasti enak,” ucap Rasti tanpa tetes semangat.
            “Kalau enak kok nggak dimakan? Mama sedih kalau kamu nggak makan, Sayang.”
            Rasti masih bergeming.
            “Nanti janin kamu kelaparan, Ras. Ayo makan.”
            Rasti menatap ke perutnya. Apa dia sudah berlaku kejam terhadap janin yang tidak bersalah ini? Rasti sempat menyesal telah mengandung anak seorang pembohong. Tapi, pantaskah dia membuat bayi ini kelaparan?
            Janin, sebejat apa pun orangtua mereka, tetaplah calon bayi yang akan dilahirkan suci. Bayi akan ditiupkan roh yang suci tanpa kesalahan.
            Akhirnya Rasti mengangkat sendok dan menyantap makanannya.
            Mama Rasti bernafas lega. Begitu juga dengan anggota keluarga yang lain.
           
Junio sendirian makan malam di rumah Fiki. Setelah mengantar Junio, Fiki kembali ke kantornya dan tidak pulang hingga jam sepuluh malam. Junio merasa bersalah telah berkata yang agak kasar pada sahabatnya.
            “Maafin gue, Fik. Gue tadi lagi kacau.”
            Fiki duduk di sofa dan menghidupkan musik. Dia menyukai musik klasik. Kali ini musik dari Mozart memenuhi ruangan.
            Fiki seakan tidak mendengar Junio. Dia duduk bersandar dan memejamkan mata. Juio tahu ini ritual Fiki jika sudah sangat kelelahan, musik klasik memberinya kedamaian.
            Junio tak ingin mengganggu Fiki, dia pergi ke ruangan lain.
            “Junio!”
            Fiki menepuk sofa di sampingnya. Dia meminta Junio ikut duduk di sana. Junio ikut saja karena ingin berdamai dengan Fiki.
            “Gue min...”
            Fiki meletakkan telunjuknya di bibir. “Diam. Dengerin saja musiknya.”
            Junio meniru Fiki, dia duduk bersandar senyaman mungkin dan memejamkan mata. Hanya telinganya yang aktif mendengarkan musik.
            Kedamaian datang.... musik yang dihadirkan dari perpaduan berbagai alat, menyatu dalam harmoni. Junio merasa tidak berada di bumi. Dia merasa ada di mana-mana. Menyatu dengan molekul benda di sekelilingnya.
            Tak lama, dia terlelap. Lebih baik begitu, daripada Junio terjaga hanya untuk memikirkan masalah keluarganya. Sementara waktu, melupakan adalah hal yang baik.
            Fiki menggendong Junio ke dalam kamar. Kemudian membiarkan sahabatnya itu tidur hingga pagi menjelang.

Rasti kelelahan. Dia sudah menerima puluhan telepon dari keluarga, rekan, sahabatnya, dan orang yang bersimpati padanya. Semua mendoakan agar masalah ini cepat selesai. Rasti cukup senang dirinya di perhatikan, tapi dia sudah lelah. Dia hanya ingin ketenangan. Kesendirian.
            Pagi itu, dia terbangun di kamarnya yang lama. Tanpa sadar tangannya meraba-raba apakah ada Junio di sampingnya. Tidak ada. Tentu saja. Rasti sendiri yang melarang Junio menemuinya. Mama Rasti sempat tidak setuju keputusan untuk menunda menyelesaikan masalah ini, tapi karena Riana mendukung Rasti—dan dia yang menelepon Junio—semua menerima saja apa yang menurut Rasti terbaik untuk saat ini.
            Hatinya tak bisa memungkiri, Rasti sangat merindukan Junio. Saat dia muntah-muntah pagi ini, dia merasa Junio berdiri di sampingnya sambil membawakan segelas susu. Junio tak ada kali ini. Membuat hatinya sakit.
            Haruskah Rasti membenci Junio hanya karena suaminya menyembunyikan jati dirinya? Seberapa besar arti masa lalu kalau dirinya yang sekarang adalah manusia yang berbeda? Apakah Junio sudah berbeda dari masa lalunya?
            Rasti meraih gagang telepon ingin menghubungi Junio, namun dia meragu. Dia takut Junio akan marah karena telah pergi dari rumah tanpa bilang dan melarang suaminya yang sah itu untuk menemuinya.
            “Apakah aku sudah begitu egois, Ma?” tanya Rasti pada mamanya. “Aku berpikir akulah yang menderita sendiri. Aku lupa kalau Junio juga...”
            Mama Rasti mengelus pundak Rasti.
            “Kamu sudah ingin bertemu Junio?”
            Rasti tidak menjawab. Kadang bagi perempuan, diam adalah jawaban untuk “iya”.

Junio terbangun setelah matanya diterpa sinar matahari pagi. Dia tidur begitu lama. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh siang. Dilihatnya pakaiannya masih lengkap. Junio bangkit dari tidurnya, mencari Fiki.
            “Bapak sudah pergi ke kantor, Pak Junio,” jawab pembantu rumah Fiki saat Junio mencari-cari Fiki. “Saya sudah menyiapkan sarapan. Sebaiknya Pak Junio langsung ke ruang makan saja.”
            Junio duduk sendirian lagi seperti semalam. Dia hanya ditemani sang pembantu yang siap siaga jika dia memerlukan sesuatu. Padahal dia hanya perlu satu hal: Rasti.
            Sosok yang dibutuhkannya dan bisa memenuhi kebutuhannya hanya Rasti. Junio mengingkan kehadiran istrinya yang sangat dicintainya. Dia tak pernah mengkhianati cinta ini. Junio sedikit pun tak pernah membiarkan Rasti tersakiti.
            Sayangnya, tak ada yang bisa mengendalikan keadaan. Junio telah melukai perasaan Rasti sejak awal. Dia telah memendam rahasia yang besar. Seharusnya dia bilang sejak mereka berkenalan.
            Logikanya, adakah seorang wanita yang mau menikahi pria yang baru dikenal dan mengaku pernah jadi gay?           
            “Rasti, sampai kapan aku harus menunggu agar aku bisa menemui dan meminta maaf padamu?” Junio menyantap sarapannya dengan tangisan.

***

Andy mendapat banyak pesan di ponsel, di akun jejaring sosial, bahkan media yang memberitakannya. Semua berpendapat tentangnya dan bertanya tentang eksistensi gay. Mereka ada yang mendukung, ada yang menolak. Parahnya, beberapa pasangan berpisah karena salah satu dari mereka mengakui jati diri homoseksual mereka.
            Andy cukup senang dengan efek yang dihasilkannya. Semua itu hanya bonus, tujuan Andy yang utama adalah membuat Junio berpisah dari istrinya. Kalau perlu membuat istri Junio menderita. Karenanya, Andy membeberkan nomor telepon dan alamt rumah Junio pada para wartawan yang haus akan berita.
            Kini dia hanya menunggu saat perceraian Junio. Istri mana yang akan membiarkan dirinya dibohongi selama ini. Rasti pasti kecewa pada Junio.
            Andy teringat, begitu banyak karya seni yang betemakan hubungan dua orang pria yang telah diproduksi. Sebagian besar menyugughkan cerita yang berakhir tidak bahagia. Tonton saja Brokeback Mountain, contohnya, penulis naskahnya mematikan salah satu tokoh. Coba juga baca novel Lelaki Terindah, si penulis sepertinya tak mau drama ini berakhir dengan bersatunya pasangan gay. Salah satu dari mereka harus mati. Itu yang diinginkan pembaca, cinta terlarang yang tidak akan pernah bersatu dan menguras air mata.
            Andy tak mau salah satu dari mereka meninggal. Dia akan memperjuangkan cintanya demi Junio.
            Seseorang menelepon Andy. Dia memberitahukan pada Andy kalau Rasti sudah tidak ada di rumahnya, Junio pun tak kelihatan di rumah atau di kantornya.
            Andy menghentakkan kakinya. Dia meremas ponsel itu dan kembali melemparnya ke dinding.
            Sial, pergi bersembunyi ke mana mereka?
            Pintu kamarnya di ketuk. “Andy!! Andy!!” Suara mamanya memanggil dari dalam kamar.
            “Berisik!!”
            Gedoran pintu semakin menjadi-jadi. Dengan kesal, Andy membukakan pintu juga akhirnya.
            “Ada apa, Ma? Ganggu terus!” kata Andy.
            Wajah mamanya sangat cemas. Tangannya terkepal di depan dada. Perlahan-lahan air matanya mengalir. Andy tersentak. Mamanya menangis.
            Dia bertanya dengan itonasi tak sekeras tadi. “Ada apa, Ma?”
            “Kamu sudah melakukan apa, Andy?” tanya mamanya terisak.
            “Nggak ada.” Andy tidak mengerti maksud mamanya.
            “Kamu sudah berbuat kriminal?”
            Andy memegang bahu mamanya. “Memangnya kenapa, Ma?”
            “Ada petugas berseragam di depan, ingin menyampaikan bahwa seseorang sudah menuntutmu.”
            Andy terkejut, tak di sangkanya akan menjadi begini. Pikiran pendeknya tidak memperkirakan kalau Junio bisa saja menuntutnya. Dia akan di penjara karena telah mencemarkan nama baik orang lain.
            Andy akan di penjara... Dia ketakutan.

***

Fiki selesai dengan pekerjaannya. Dia langsung menelpon pengacaranya untuk membantunya menangani kasus Junio. Satu-satunya cara yang lebih efesien untuk menyelesaikan ini semua hanya dengan memejahijaukan perbuatan Andy.
            Andy harus menanggung semua yang telah dilakukannya pada Rasti dan Junio. Kebodohan pria itu, pikir Fiki, adalah membuat bukti yang begitu kuat. Saksi yang sangat banyak, yaitu penonton acara itu dari seluruh Indonesia.
            “Pak, sudah beres, tuntutan sudah diterima pengadilan. Kita tinggal tunggu tanggapan dari pihak Andy.”
            Laporan pengacara Fiki membuatnya tersenyum.
            “Kalau berbuat sesuatu pikirkan matang-matang. Kalau kita merugikan orang lain, siap-siap saja kita akan dirugikan,” kata Fiki pada dirinya sendiri.

0 comments:

Post a Comment

 

Pertemuan Cinta Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos