Rasti mual-mual lagi,
kali ini morning sickness benar-benar
menyakitkan. Perutnya seperti terkuras dan tak ada isinya lagi. Junio dengan
lembut mengelus punggung Rasti dan membawa segelas air susu untuk ibu hamil. Rasti
hampir menangis saat perutnya melilit.
Junio memberikan gelas susu itu. “Minum ini dulu,
sayang...”
Jadi ibu hamil sungguh berat, banyak hal yang berubah
pada tubuh mereka, banyak kesulitan yang mendekati. Mereka tak kuat lagi
berdiri lama-lama, cepat lelah, atau perut yang tiba-tiba sakit.
Rasti meneguk susu itu sedikit, tapi lidahnya mengecap
rasa yang sangat aneh. “Rasanya aneh, Mas.”
“Tahan aja rasanya, Ras. Susu ini penting buat kamu dan
bayi kita.”
Junio merangkul Rasti dan menuntun istrinya duduk di
tempat tidur. Dia tak tahan melihat wajah Rasti yang pucat. Sekeliling tepi
rambut Rasti juga berkeringat. Junio membersihkan keringat Rasti dengan
tangannya.
“Aku nggak bisa tidur semalaman,” kata Rasti.
“Orang iseng itu masih ganggu lagi?” tanya Junio.
Rasti mengangguk. “Mau dibiarin, dia tetap mengganggu. Kalau
diladeni malah sembunyi.”
Junio meminta Rasti untuk menghirup nafas yang dalam dan
mengeluarkannya pelan. Bernafas sadar adalah cara menenangkan jiwa yang paling
mudah.
Sudah empat hari, Rasti diteror oleh seseorang. Dia
dikirimi sms-sms kosong yang membuat inbox
ponselnya penuh. Jika malam hari, orang itu menelpon, tapi tak menjawab jika
Rasti mengangkatnya. Berkali-kali Rasti mengirimkan sms yang mengatakan kalau
dia ingin tahu apa kesalahannya sehingga perlu diganggu.
Rasti kelelahan, tapi tak mau tidur.
Junio merasa dia tahu siapa pelakunya. Pasti Andy. Siapa
lagi yang bisa berbuat nekat seperti itu pada keluarganya? Beginilah kalau
orang jenis Andy itu sakit hati, perbuatan mereka bisa sangat nekat. Namun,
terlalu pengecut untuk menampakkan diri.
Junio sebenarnya juga di teror nomor asing, tapi dia
tidak memperdulikannya. Dia tak mau Rasti tahu dan malah membuat istrinya
semakin khawatir.
“Begini saja, nanti kita pergi ke kantor pelayanan
komunikasi untuk blokir nomor-nomor asing yang mengganggu. Oke?” ajak Junio.
Rasti hanya mengangguk lagi.
“Sekarang kamu tidur dulu, Ras. Nggak usah kerja dulu.
Biar aku yang bilang ke kantor kamu.”
Junio menidurkan Rasti pelan-pelan. Setelah Rasti merasa
nyaman, Junio memberinya sebuah kecupan.
“Aku sayang kamu, Ras. Sampai kapan pun...”
“Aku percaya itu, Mas.”
Junio tak bisa menemani
istrinya seharian di rumah karena harus bekerja. Dia tak tega meninggalkan Rasti
sebenarnya. Namun, Rasti mengatakan kalau dia sudah membaik.
“Mas pergi saja. Aku udah nggak apa-apa. Udah nggak
terlalu sakit.”
“Kamu yakin?” tanya Junio meragu.
Rasti mendorong suaminya ke kamar mandi untuk siap-siap. “Aku
akan menyiapkan baju, Mas. Mau pakai yang warna apa?”
“Terserah kamu saja, Ras. Kalau begitu, aku mandi dulu,
ya?”
Setelah Junio pergi barulah Rasti menyesal dia
ditinggalkan sendiri. Dia kesepian. Sebenarnya perempuan ini ingin Junio ada
bersamanya seharian, tapi dia tak mau dianggap jadi istri yang egois. Junio
juga punya kewajiban di luar sana.
Kemudian sebuah sms masuk ke ponsel Rasti. Dia malas
membacanya, tapi orang ini mengirim flash
message, dimana penerima sms langsung dapat membacanya tanpa membuka pesan
maupun inbox, isinya:
“Mbak Rasti, coba sekarang anda hidupkan TV di saluran K.”
Rasti membaca nama pengirimnya yang tertera di bawah
pesan: Andy. Rasti merasa asing
dengan nama ini. Orang iseng? Dia ingin mengabaikan tapi tak bisa. Jika
perempuan sekali penasaran dia akan mencari tahu lebih banyak. Dia hidupkan TV,
sebuah acara gosip hadir di layar kaca.
Rasti melihat seorang pria... sepertinya dia pernah
melihat pria ini! Ya, Rasti ingat, pria ini orang yang sama dengan orang yang
melihat Rasti dengan tatapan tajam menusuk. Rasti tak bisa melupakannya.
Dialah yang bernama Andy. Rasti tak mengira ternyata
orang itu memang sudah punya dendam padanya. Hanya saja Rasti belum tahu alasan
dia dibenci. Kenal saja tidak!
Presenter acara gosip itu terkenal dengan gaya bicaranya
yang berlebihan seakan-akan semua gosip adalah penting untuk diketahui. Kata-katanya
membius. Sebenarnya Rasti menonton acara seperti ini hanya untuk sekedar
hiburan. Kali ini apa yang akan dia ketahui sampai-sampai Andy memintanya untuk
menonton?
“Sekarang kita sudah bersama tamu kita siang ini. Andy
Vajriyan. Seorang pemain sinetron muda yang sedang menapak karir. Di sini dia
akan memberikan sebuah pengakuan mengenai jati dirinya,” kata sang presenter
dengan komat kamit mulutnya yang khas.
Pria muda yang tampan itu masuk dan duduk di samping
presenter. Wawancara dimulai dengan basa-basi tentang kabar mereka.
“Jadi, kenapa kamu mau mengatakan hal ini pada
orang-orang?” tanya si presenter.
Kamera di sorot penuh pada wajah Andy. Tak ada sedikit
pun sosok mengerikan padanya seperti saat dia menatap Rasti malam itu. Bagi
Rasti, Andy bagaikan seorang yang perlu diberikan kasih sayang, namun tak
memperolehnya.
“Karena kami walau berbeda, masih tetap manusia, makan,
minum, ke sekolah dan membutuhkan cinta,” kata Andy.
Si presenter kini disorot, “Andy yang baru dua tahun memasuki
dunia hiburan mengakui dirinya adalah seorang homoseksual. Pengakuan ini bukan
tanpa alasan. Dia merasa sudah cukup waktunya untuk masyarakat tahu bahwa gay bukanlah sesuatu yang buruk. Begitu
pendapat kamu, Andy?”
“Ya, orang-orang mengira kami bagai ‘telah’ melakukan
tindakan kriminal. Padahal kami tidak mengganggu siapa-siapa. Ini masalah hati.
Kalau ada salah satu dari kami... eh, misalnya membunuh, itu bukan karena dia gay.”
Presenter mengatakan bahwa mereka akan melihat sejenak
profil dari Andy. Dia seorang yang talentanya sudah terlihat sejak kecil. Namun,
keluarganya tidak terlalu bahagia—orangtuanya bercerai. Dia mengaku kalau
mengejar impiannya menjadi artis atas usahanya sendiri.
“Saya sudah tahu kalau dalam diri saya ada yang ganjil
sejak SD. Tanpa sadar saya suka mengamati tubuh pria dewasa yang menawan. Saya
dulu tak tahu apa namanya. Semakin remaja dan semakin dewasa, saya tahu... saya
gay.
Setiap gay pasti pernah merasakan masa ‘penolakan
terhadap diri sendiri’. Termasuk saya. Bertahun-tahun di SMA hingga awal
kuliah, saya menyangkal kalau orientasi seks saya berbeda. ‘Saya normal, saya
normal, saya normal.’ Itulah yang selalu saya ucapkan untuk mengurangi hasrat
ini. Tapi, ini seperti the basic instinct.
Saya tak bisa membohongi diri lagi.”
Kemudian acara di lanjutkan dengan berita lawas tentang
artis yang diberitakan sebagai gay,
yang mengaku, dan yang diduga gay.
Mata Rasti terpaku, tak bisa dialihkan dari televisi itu.
“Pemirsa, Anda bisa mengajukan pertanyaan pada kami
dengan menghubungi nomor di bawah ini,” kata presenter.
Seorang wanita menelpon, suaranya penuh kecaman. “Gay itu nggak pantes hidup. Tuhan nggak
pernah main-main menciptakan manusia. Kalau dia cowok, dia pasti akan menyukai
cewek!!” kata penelpon pertama. Dia berbicara dengan intonasi geram.
Andy hanya tersenyum mendengar itu, sudah terbiasa dengan
cacian orang barangkali.
“Kalau bagi tuhan kami nggak pantas hidup, kenapa harus
diciptakan?” tanya Andy santai.
Penelepon lain muncul. “Aku juga gay. Gue dukung lo, bro. Inilah saatnya kita bisa dipandang setara
sebagai manusia, bukan dipandang sebagai orang yang mesti dimusnahkan.”
Selain telpon, di layar juga di tampilkan cara
mengomentari acara lewat beberapa situs jejaring sosial.
Ada yang menulis: “Pengakuan lo cuma mau nyari sensasi
doang? Kasihan banget, pemain sinetron nggak laku pasti.”
“Setiap perbuatan yang kita nggak mau orang lain tahu
adalah perbuatan yang nggak baik!!!” Tulis yang lain.
Rasti mendengar dan membaca berbagai macam komentar. Ada
yang pro, ada yang kontra. Sepertinya acara berating tinggi ini telah berhasil
membuat sebuah berita lagi. Walau pun beberapa tahun lalu isu gay ini sempat hangat di bicarakan
kemudian redup, kali ini ada yang mengungkitnya lagi.
Rasti teringat pada Hani yang bilang kalau gay itu sudah sangat banyak.
“Ada cara tertentu biar kita mengetahui seorang adalah gay atau tidak?” tanya presenter
selanjutnya.
“Dulu kami punya beberapa tanda yang sangat khas, tapi di
masa sekarang gay lebih suka bersikap
netral dan tidak terlalu mencolok. Lagipula dulu kita harus mencari-cari
partner di mal atau kafe dengan mata sendiri. Sekarang sudah ada teknologi yang
memudahkan.”
“Internet?”
Andy mengangguk.
“Kami sudah memiliki situs jejaring sosial tersendiri. Malahan
sangat banyak. Rata-rata dimiliki perusahaan dari Eropa dan Amerika, sedangkan
yang di Indonesia sudah bermunculan walau belum efektif.”
“Bagaimana kalian memanfaatkan situs-situs tersebut?”
Andy menjelaskan kalau mereka saling menyepa lewat chatting dan fasilitas email situs tersebut.
“Pemilik akun di sana bisa browsing siapa saja yang ada. Jika mereka tertarik dengan seseorang
silakan sapa atau minta nomor ponselnya. Kalau tidak suka abaikan saja.”
Si presenter bertanya tentang akun Andy.
Layar kemudian dipenuhi sebuah halaman dari situs
jejaring sosial gay. Ada foto Andy di
sana sedang tersenyum. Tubuhnya bagian atasnya polos.
“Biasanya orang tetarik jika kita memasang foto yang ‘menantang’.”
Si presenter wanita cukup kaget melihatnya, mungkin dia
merasa pria tampan ini sangat mubazir jika harus menjadi homoseksual.
“Terlepas dari pro dan kontra di masyarakat, gay tak bisa dipungkiri ada dalam
kehidupan kita. Mereka mengharapkan agar kita bisa memandang mereka dari
perspektif sebagai manusia yang juga membutuhkan pengakuan.”
“Menyembunyikan jati diri sama saja dengan membohongi
diri,” tambah Andy. “Walau pun ada yang sudah menikah dengan wanita, seorang gay sulit melupakan siapa dirinya yang
asli. Tak sedikit yang selingkuh dengan pria dibelakang istri-istri mereka.”
“Apakah kamu sudah mempunyai pasangan Andy?”
“Kami menyebut pasangan kami ‘BF’, singkatan dari boyfriend,” kata Andy. “Aku sudah
memiliki BF walau pun akhir-akhir ini hubungan kami agak goyang karena dia
memutuskan menikah.”
Si presenter menunjukkan ekspresi terkejut lagi. “Apakah
kamu membawa fotonya?”
Andy mengangguk sambil mengeluarkan dompet dari sakunya. Kemudian
dia meminta kamera agar menyorot sebuah foto di dompet itu. Tampak dua orang
pria sedang berpelukan sangat mesra.
Tiba-tiba Rasti merasa bumi bergoncang. Rasanya rumah ini
rubuh menimpanya dan calon bayi yang tak bersalah. Rasti masti rasa.
Pria di foto itu.... pria yang berpelukan dengan Andy
itu...
“Junio...??” Rasti tak bisa mempercayai ini. Ini adalah
kebohongan. Fitnah. Acara gosip tak pernah mengatakan hal yang benar!
“Siapa namanya, Andy?” tanya si presenter.
“Junio Adihastoro.”
“Dia sangat tampan,” komentar si presenter.
Tak ada yang meragukan.
“Saya pernah mendengar ada istilah ‘the hot guy is a gay’. Sepertinya ini berlaku untuk kamu dan pacar
kamu,” kata presenter kemudian.
“Kami sedang bertengkar. Padahal kami sudah berjanji
untuk selalu bersama, namun dia malah menikah hanya agar dirinya diterima
masyarakat. Saya setuju untuk menantinya beberapa waktu sampai dia siap untuk
meninggalkan istrinya dan kembali pada saya.”
Rasti tak bisa bernafas lagi, dadanya sesak...
Junio akan meninggalkannya...?
Rasti menangis hingga acara itu habis dan berganti dengan
acara lain.
Junio juga mendapat sms
yang memintanya untuk menonton acara gosip itu. Dia tak habis pikir Andy begitu
nekat membeberkan semua tentangnya ditambah dengan fitnah pada Junio.
Dia sudah gila!
Junio tidak pernah ingin kembali ke pangkuan Andy. Junio
sudah meninggalkan pria itu dengan memberi penjelasan yang masuk akal. Dia tak
ingin meneruskan hasrat yang melawan Tuhan. Lagipula dia capek hidup di bawah
bayang-bayang. Dia letih bersembunyi dari semua orang.
Dia tak pernah lagi berhubungan dengan Andy, atau pria
mana pun. Dia hanya mencinta Rasti dan selalu setia. Dia tak akan pernah
mengkhianati janji pernikahannya di depan penghulu dulu. Dia tak akan menodai
sucinya pernikahan.
Junio takut jika Rasti menonton acara yang sama. Dia
menelpon ke rumah, tapi tak ada yang mengangkat. Alih-alih menelepon ke ponsel
Rasti, Junio menghubungi sahabatnya, Fiki.
Fiki bersedia menjadwal
ulang rapat kantornya demi tetap berada di samping Junio. Bisa dibilang hanya
Fiki yang bisa memahami perasaan Junio. Dia sudah menunggu kedatangan Junio di
kantornya.
“Lo juga nonton acara tadi?” tanya Junio sesampainya di
ruangan Fiki.
“Ya. Andy yang minta gue.”
Fiki menyuruh Junio duduk selagi dia menuangkan minuman untuk sahabatnya
itu.
“Gue nggak habis pikir. Nekat banget anak itu. Apa yang diharapkannya?”
“Popularitas,” kata Junio.
Fiki menggeleng. “Dia pengen membuat lo menderita.”
“Kenapa dia tak bisa mengerti, sih? Gue cinta dia tapi kami nggak bisa
bersatu! Itu faktanya! Gue laki harus nikah sama perempuan! Kenapa dia nggak
bisa menerima itu?”
Fiki menenangkan Junio dengan menepuk dadanya. “Lo minum dulu, deh.”
Junio
menerima gelas berisi air putih dan meneguknya. “Thanks, Fik.”
“Rasti udah bisa dihubungi?”
Junio tak menjawab. Dia menenggelamkan wajahnya di tangan. Tak tahu harus
bersikap apa. Dia pusing karena sedari tadi Rasti tidak mengangkat teleponnya. Juni
mengirim sms selalu tak terkirim. Namun, untuk menemui wanita itu sekarang
Junio jujur dia tak sanggup.
“Gue nggak mau lihat ekspresi kecewa Rasti. Gue udah bohongi dia selama
ini. Gue takut, Fiki, takut kehilangan Rasti.”
“Lo mau nggak mau harus hadapi Rasti, Jun. Dia berhak dapat pengakuan dari
lo. Gue yakin dia bakal mengerti.”
Junio menggeleng. “Gue nggak sanggup.”
Fiki setuju dia akan menemani Junio untuk berbicara pada Rasti. “Tapi gue
nggak mau ikut campur urusan rumah tangga kalian, Jun.”
“Gue ngerti. Makasi ya, Fik.”
Beberapa menit setelah
acara selesai, sebelum Junio menelpon, telepon rumah Rasti berdering. Dia
mengangkat telepon seperti seorang robot yang tak berjiwa.
“Halo, bisa bicara dengan Mbak Rasti?” tanya orang di
seberang sana.
“Ya, saya sendiri,” jawab Rasti tanpa gairah sama sekali.
“Kami dari tabloid Moem, Mbak. Apakah kita bisa membuat
janji temu untuk wawancara. Kami ingin tahu lebih banyak tentang perasaan Mbak setelah
mendengar pengakuan Andy.”
Perut Rasti tiba-tiba terasa seperti dililit tali dengan
erat. Dia melempar telepon itu kembali ke tampatnya. Tubuhnya lunglai ke sofa.
Kini dia akan menjadi buronan para wartawan gosip. Dia
akan jadi sasaran kejamnya fitnah (atau kenyataan?) yang ada di ranah hiburan. Pasti
selagi dia menderita di sini, seluruh Indonesia sedang tertawa melihatnya. Para
penonton akan mencemooh karena dia terlalu bodoh mau menerima lamaran orang
yang baru dikenalnya dua bulan.
Bayangkan! Dia hanya mengenal Junio dua bulan tapi
bodohnya dia menyangka Junio ditakdirkan untuknya. Maria salah. Junio bukan
jodoh Rasti. Junio hanya seorang yang pintar menyembunyikan identitasnya. Junio
hanya seorang penipu yang menggunakan Rasti sebagai tumbal demi mendapat
pengakuan di masyarakat!
Sakit kembali menyerang bagian bawah perutnya. Rasti
berteriak mengaduh.
Lihat, inilah bayi Junio. Bayi ini membuat Rasti semakin
menderita. Kenapa dia harus hamil dari benih orang yang telah membohonginya?
Telepon berdering lagi, namun suaranya membuat Rasti
takut. Pasti itu dari tabloid tadi. Tak berperikemanusiaan, batin Rasti, mereka
mengambil keuntungan dari kisah penderitaan orang lain.
Padahal itu adalah telepon dari suaminya, Junio.
Rasti menghubungi rumah orangtuanya. Di sana ternyata mama dan papanya
juga telah menonton acara tadi.
“Sabar, ya, Rasti... Anggap saja ini cobaan bagi
pernikahanmu,” kata mama Rasti menenangkan anaknya yang tak bisa berhenti
menangis.
Rasti merasa ini bukan cobaan, ini terungkapnya fakta
yang seharusnya dia tahu sebelum dia memutuskan menikah.
“Aku nggak tahu harus gimana lagi, Ma. Aku nggak tahu Mas
Junio sedang dimana. Lagipula, aku nggak sanggup jika harus bertemu dengannya.”
Mama Rasti memberi tahu kalau Rio, kakak Rasti, sedang
dalam perjalanan untuk menjemput Rasti. Tempat terbaik bagi Rasti sekarang
adalah di rumah keluarganya. Rasti memang sangat membutuhkan sang mama.
Tanpa disangka Rasti, di depan rumahnya sudah ada
beberapa wartawan. Mereka masih di balik pagar memencet bel berkali-kali. Rasti
tak tahu sudah berapa kali bel yang diabaikannya. Dia ketakutan.
Akhirnya Rio datang, setelah susah payah menghindari
kejaran wartawan yang memaksa ingin menemui Rasti, akhirnya Rio masuk ke rumah.
“Kak Rio...”
“Dasar wartawan tabloid gosip murahan, kalau memukul
mereka dihalalkan hukum, aku buat babak belur satu satu!” kata Rio, kemudian
dia melihat Rasti. “Ayo, aku bantu kamu berkemas.”
Rasti menuju ke kamarnya. Dia mangambil sebuah koper
kecil dan memasukkan beberapa pakaian. Tak peduli apakah rapi atau tidak.
“Ayo, Kak,” ajak Rasti.
Rio memeriksa isi koper Rasti, mengambil sebuah
selendang. “Pakai ini. Jangan sampai wajah kamu kelihatan.” Kemudian Rio
memberikan sebuah kacamata hitam.
“Siap, dek?”
Rasti mengangguk.
Mereka keluar dari pintu. Belasan blitz kamera menimpa mereka. Rio dengan galaknya memarahi mereka.
“Beri kami jalan!”
Namun, para wartawan itu seperti serigala yang haus akan
berita. Kali ini berita busuk!
Rasti menangis sepanjang perjalanan ke rumah orangtuanya.
Rio sengaja tidak mengajak adiknya berbincang lagi. Rasti pasti membutuhkan
kelapangan untuk berfikir. Padahal Rio ingin mengatakan makian tentang Junio.
Dia kecewa ternyata adik iparnya seseorang yang... dia malah tak ingin
menyebutkan apa itu.
Sesampai di rumah, tak ada yang dilakukan Rasti selain
menangis di pelukan mamanya.
Junio melihat depan
rumahnya sudah dipenuhi wartawan. Dia tidak mengerti kenapa dirinya yang bukan
siapa-siapa menjadi incaran untuk media.
“Mungkin sudah bosan dengan para selebritis. Mereka butuh
bahan baru,” komentar Fiki yang duduk di balik kemudi.
Junio masih mencoba menghubungi Rasti, tapi nihil. Dia
pun tak berani menembus kerumunan wartawan di sana.
Kemudian ponsel Junio berbunyi.
“Halo, Mas Junio. Ini Riana. Kak Rasti udah di rumah kami. Dia sedih banget dengar berita itu. Katanya, untuk sementara nggak usah temui dia. Kakak butuh waku untuk befikir, Mas.”
Tanpa diberi kesempatan bicara, sambungan telepon itu
sudah diputus Riana.
“Ada apa, Jun?”
“Rasti di rumah orangtuanya.”
“Kita langsung ke sana?” tanya Fiki sambil bersiap-siap
menghidupkan mesin mobil.
“Jangan! Rasti nggak pengen ketemu aku. Dia butuh waktu
berfikir.”
“Nggak bisa begitu, Jun. Kalian harus bicara padanya dan
selesaikan ini secepatnya.”
Junio membuang pandangannya dari kerumunan wartawan di
sana. “Gue akan lakuin apa pun asal Rasti senang. Kalau dia bilang bakal
ceraikan gue, gue rela. Gue jahat, kan?”
Fiki heran melihat semangat sahabatnya hilang. “Pernikahan
buat dipertahankan Jun kalau ditimpa masalah gini. Realistis! Jangan mikir yang
konyol.”
Junio mendorong bahu Fiki, emosinya tiba-tiba naik. “Konyol
apa maksud lo?”
“Tadi lo bilang bakal rela mesti Rasti minta cerai. Trus
kalian pisah? Mana bukti cinta lo dalam memperjuangkan cinta.”
“Lo nggak ngerti, Fiki! Lo belum pernah nikah!”
Fiki melajukan mobilnya tanpa minta persetujuan Junio. “Walau
pun gue belum nikah, cinta itu masalah hati. Nggak ada orang yang melepas cinta
kalau nantinya bakal sengsara.”
“Apa bedanya sama Andy?” tanya Junio. “Dia lakuin
kekacauan gara-gara cinta sama gue. Lo dukung dia memperjuangkan cinta?”
“Maksud gue bukan itu, Jun. Lo udah nikah sama Rasti. Hubungan
ini yang perlu diperjuangkan. Perceraian hal yang dibenci Tuhan, lo pasti tahu
itu,” kata Fiki sambil melirik Junio.
“Gue tahu! Gak usah sok ngajarin,” bentak Junio.
Akhirnya Fiki hanya diam. Dia memahami perubahan emosi
Junio yang menjadi tidak biasa.
Rasti terdiam di meja
makan, sedikit pun tak selera menyantap apa yang ada dihadapannya. Padahal ayam
bakar buatan mamanya adalah makanan favorit Rasti sepanjang masa.
Mama Rasti membelai pipi anaknya. “Ayam bakarnya nggak
enak, ya, Ras?” taya beliau lembut.
Papa, Rio, dan Riana menatap Rasti, tak berkomentar tapi
tatapan mereka menaruh kasih pada Rasti.
“Enak. Buatan mama pasti enak,” ucap Rasti tanpa tetes
semangat.
“Kalau enak kok nggak dimakan? Mama sedih kalau kamu
nggak makan, Sayang.”
Rasti masih bergeming.
“Nanti janin kamu kelaparan, Ras. Ayo makan.”
Rasti menatap ke perutnya. Apa dia sudah berlaku kejam
terhadap janin yang tidak bersalah ini? Rasti sempat menyesal telah mengandung
anak seorang pembohong. Tapi, pantaskah dia membuat bayi ini kelaparan?
Janin, sebejat apa pun orangtua mereka, tetaplah calon
bayi yang akan dilahirkan suci. Bayi akan ditiupkan roh yang suci tanpa
kesalahan.
Akhirnya Rasti mengangkat sendok dan menyantap
makanannya.
Mama Rasti bernafas lega. Begitu juga dengan anggota
keluarga yang lain.
Junio sendirian makan
malam di rumah Fiki. Setelah mengantar Junio, Fiki kembali ke kantornya dan
tidak pulang hingga jam sepuluh malam. Junio merasa bersalah telah berkata yang
agak kasar pada sahabatnya.
“Maafin gue, Fik. Gue tadi lagi kacau.”
Fiki duduk di sofa dan menghidupkan musik. Dia menyukai
musik klasik. Kali ini musik dari Mozart memenuhi ruangan.
Fiki seakan tidak mendengar Junio. Dia duduk bersandar
dan memejamkan mata. Juio tahu ini ritual Fiki jika sudah sangat kelelahan,
musik klasik memberinya kedamaian.
Junio tak ingin mengganggu Fiki, dia pergi ke ruangan
lain.
“Junio!”
Fiki menepuk sofa di sampingnya. Dia meminta Junio ikut
duduk di sana. Junio ikut saja karena ingin berdamai dengan Fiki.
“Gue min...”
Fiki meletakkan telunjuknya di bibir. “Diam. Dengerin
saja musiknya.”
Junio meniru Fiki, dia duduk bersandar senyaman mungkin
dan memejamkan mata. Hanya telinganya yang aktif mendengarkan musik.
Kedamaian datang.... musik yang dihadirkan dari perpaduan
berbagai alat, menyatu dalam harmoni. Junio merasa tidak berada di bumi. Dia
merasa ada di mana-mana. Menyatu dengan molekul benda di sekelilingnya.
Tak lama, dia terlelap. Lebih baik begitu, daripada Junio
terjaga hanya untuk memikirkan masalah keluarganya. Sementara waktu, melupakan
adalah hal yang baik.
Fiki menggendong Junio ke dalam kamar. Kemudian membiarkan
sahabatnya itu tidur hingga pagi menjelang.
Rasti kelelahan. Dia
sudah menerima puluhan telepon dari keluarga, rekan, sahabatnya, dan orang yang
bersimpati padanya. Semua mendoakan agar masalah ini cepat selesai. Rasti cukup
senang dirinya di perhatikan, tapi dia sudah lelah. Dia hanya ingin ketenangan.
Kesendirian.
Pagi itu, dia terbangun di kamarnya yang lama. Tanpa
sadar tangannya meraba-raba apakah ada Junio di sampingnya. Tidak ada. Tentu
saja. Rasti sendiri yang melarang Junio menemuinya. Mama Rasti sempat tidak
setuju keputusan untuk menunda menyelesaikan masalah ini, tapi karena Riana
mendukung Rasti—dan dia yang menelepon Junio—semua menerima saja apa yang
menurut Rasti terbaik untuk saat ini.
Hatinya tak bisa memungkiri, Rasti sangat merindukan
Junio. Saat dia muntah-muntah pagi ini, dia merasa Junio berdiri di sampingnya
sambil membawakan segelas susu. Junio tak ada kali ini. Membuat hatinya sakit.
Haruskah Rasti membenci Junio hanya karena suaminya
menyembunyikan jati dirinya? Seberapa besar arti masa lalu kalau dirinya yang
sekarang adalah manusia yang berbeda? Apakah Junio sudah berbeda dari masa
lalunya?
Rasti meraih gagang telepon ingin menghubungi Junio,
namun dia meragu. Dia takut Junio akan marah karena telah pergi dari rumah tanpa
bilang dan melarang suaminya yang sah itu untuk menemuinya.
“Apakah aku sudah begitu egois, Ma?” tanya Rasti pada
mamanya. “Aku berpikir akulah yang menderita sendiri. Aku lupa kalau Junio
juga...”
Mama Rasti mengelus pundak Rasti.
“Kamu sudah ingin bertemu Junio?”
Rasti tidak menjawab. Kadang bagi perempuan, diam adalah
jawaban untuk “iya”.
Junio terbangun setelah
matanya diterpa sinar matahari pagi. Dia tidur begitu lama. Jam sudah
menunjukkan pukul sepuluh siang. Dilihatnya pakaiannya masih lengkap. Junio
bangkit dari tidurnya, mencari Fiki.
“Bapak sudah pergi ke kantor, Pak Junio,” jawab pembantu
rumah Fiki saat Junio mencari-cari Fiki. “Saya sudah menyiapkan sarapan. Sebaiknya
Pak Junio langsung ke ruang makan saja.”
Junio duduk sendirian lagi seperti semalam. Dia hanya
ditemani sang pembantu yang siap siaga jika dia memerlukan sesuatu. Padahal dia
hanya perlu satu hal: Rasti.
Sosok yang dibutuhkannya dan bisa memenuhi kebutuhannya
hanya Rasti. Junio mengingkan kehadiran istrinya yang sangat dicintainya. Dia
tak pernah mengkhianati cinta ini. Junio sedikit pun tak pernah membiarkan Rasti
tersakiti.
Sayangnya, tak ada yang bisa mengendalikan keadaan. Junio
telah melukai perasaan Rasti sejak awal. Dia telah memendam rahasia yang besar.
Seharusnya dia bilang sejak mereka berkenalan.
Logikanya, adakah seorang wanita yang mau menikahi pria
yang baru dikenal dan mengaku pernah jadi gay?
“Rasti, sampai kapan aku harus menunggu agar aku bisa
menemui dan meminta maaf padamu?” Junio menyantap sarapannya dengan tangisan.
***
Andy mendapat banyak
pesan di ponsel, di akun jejaring sosial, bahkan media yang memberitakannya. Semua
berpendapat tentangnya dan bertanya tentang eksistensi gay. Mereka ada yang mendukung, ada yang menolak. Parahnya,
beberapa pasangan berpisah karena salah satu dari mereka mengakui jati diri
homoseksual mereka.
Andy cukup senang dengan efek yang dihasilkannya. Semua
itu hanya bonus, tujuan Andy yang utama adalah membuat Junio berpisah dari
istrinya. Kalau perlu membuat istri Junio menderita. Karenanya, Andy
membeberkan nomor telepon dan alamt rumah Junio pada para wartawan yang haus
akan berita.
Kini dia hanya menunggu saat perceraian Junio. Istri mana
yang akan membiarkan dirinya dibohongi selama ini. Rasti pasti kecewa pada
Junio.
Andy teringat, begitu banyak karya seni yang betemakan
hubungan dua orang pria yang telah diproduksi. Sebagian besar menyugughkan
cerita yang berakhir tidak bahagia. Tonton saja Brokeback Mountain, contohnya, penulis naskahnya mematikan salah
satu tokoh. Coba juga baca novel Lelaki
Terindah, si penulis sepertinya tak mau drama ini berakhir dengan
bersatunya pasangan gay. Salah satu
dari mereka harus mati. Itu yang diinginkan pembaca, cinta terlarang yang tidak
akan pernah bersatu dan menguras air mata.
Andy tak mau salah satu dari mereka meninggal. Dia akan
memperjuangkan cintanya demi Junio.
Seseorang menelepon Andy. Dia memberitahukan pada Andy
kalau Rasti sudah tidak ada di rumahnya, Junio pun tak kelihatan di rumah atau
di kantornya.
Andy menghentakkan kakinya. Dia meremas ponsel itu dan
kembali melemparnya ke dinding.
Sial, pergi bersembunyi ke mana mereka?
Pintu kamarnya di ketuk. “Andy!! Andy!!” Suara mamanya
memanggil dari dalam kamar.
“Berisik!!”
Gedoran pintu semakin menjadi-jadi. Dengan kesal, Andy
membukakan pintu juga akhirnya.
“Ada apa, Ma? Ganggu terus!” kata Andy.
Wajah mamanya sangat cemas. Tangannya terkepal di depan
dada. Perlahan-lahan air matanya mengalir. Andy tersentak. Mamanya menangis.
Dia bertanya dengan itonasi tak sekeras tadi. “Ada apa,
Ma?”
“Kamu sudah melakukan apa, Andy?” tanya mamanya terisak.
“Nggak ada.” Andy tidak mengerti maksud mamanya.
“Kamu sudah berbuat kriminal?”
Andy memegang bahu mamanya. “Memangnya kenapa, Ma?”
“Ada petugas berseragam di depan, ingin menyampaikan
bahwa seseorang sudah menuntutmu.”
Andy terkejut, tak di sangkanya akan menjadi begini. Pikiran
pendeknya tidak memperkirakan kalau Junio bisa saja menuntutnya. Dia akan di
penjara karena telah mencemarkan nama baik orang lain.
Andy akan di penjara... Dia ketakutan.
***
Fiki selesai dengan
pekerjaannya. Dia langsung menelpon pengacaranya untuk membantunya menangani
kasus Junio. Satu-satunya cara yang lebih efesien untuk menyelesaikan ini semua
hanya dengan memejahijaukan perbuatan Andy.
Andy harus menanggung semua yang telah dilakukannya pada
Rasti dan Junio. Kebodohan pria itu, pikir Fiki, adalah membuat bukti yang
begitu kuat. Saksi yang sangat banyak, yaitu penonton acara itu dari seluruh
Indonesia.
“Pak, sudah beres, tuntutan sudah diterima pengadilan. Kita
tinggal tunggu tanggapan dari pihak Andy.”
Laporan pengacara Fiki membuatnya tersenyum.
“Kalau berbuat sesuatu pikirkan matang-matang. Kalau kita
merugikan orang lain, siap-siap saja kita akan dirugikan,” kata Fiki pada
dirinya sendiri.
0 comments:
Post a Comment